SURAU.CO – Dinasti Ayyubiyah dikenal sebagai salah satu pemerintahan Islam yang memberi perhatian besar terhadap pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pemimpinnya adalah Salahuddin al-Ayyubi, seorang panglima besar keturunan Kurdi yang berhasil mendirikan kekuasaan pada tahun 1171 M setelah runtuhnya Dinasti Fatimiyah di Mesir. Sejak awal berdirinya, Ayyubiyah tidak hanya fokus pada bidang militer dan politik, tetapi juga pada pembangunan intelektual umat. Damaskus, sebagai salah satu kota utama dalam kekuasaan mereka, menjadi pusat pendidikan yang melahirkan berbagai lembaga keilmuan dan tokoh besar.
Menurut Saufi dan Fadillah (2015), terdapat sejumlah langkah strategi yang dilakukan Dinasti Ayyubiyah untuk memajukan pendidikan, mulai dari pembentukan departemen khusus, pendirian madrasah, reformasi Al-Azhar, hingga pengalokasian anggaran pendidikan.
Membentuk Departemen Pendidikan dan Penerjemahan
Salah satu kebijakan penting yang dilakukan Ayyubiyah adalah membentuk lembaga khusus untuk mengelola pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pada masa Dinasti Fatimiyah, berdiri sebuah lembaga bernama Darul Hikam yang berfungsi sebagai pusat keilmuan. Daulah Ayyubiyah kemudian berubah menjadi Departemen Pendidikan dan Penerjemahan.
Departemen ini memainkan peran besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan, terutama melalui kegiatan penerjemahan. Banyak kitab-kitab penting dari bahasa asing, seperti Yunani, Persia, dan Latin, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Usaha ini memperluas akses ke berbagai bidang ilmu, termasuk filsafat, kedokteran, matematika, dan ilmu alam. Dengan demikian, masyarakat Muslim dapat terus belajar dari khazanah ilmu dunia sekaligus mengembangkan pemikiran baru.
Mendirikan Madrasah di Setiap Kota
Kemajuan pendidikan pada masa Dinasti Ayyubiyah juga terlihat dari pembangunan madrasah dan kuliyat (lembaga pendidikan tinggi). Hampir setiap kota besar di bawah kekuasaan mereka memiliki lembaga pendidikan yang aktif. Selain Damaskus, pusat-pusat keilmuan juga berkembang di Kairo, Yaman, dan Palestina.
Madrasah pada masa itu tidak hanya berfungsi sebagai sekolah dasar agama, tetapi juga tempat mendalami hadis dan berbagai cabang ilmu. Menariknya, meski Ayyubiyah bermazhab Syafi’i, pemerintah tetap memberikan ruang bagi mazhab lain, seperti Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Hal ini menunjukkan sikap inklusif mereka dalam bidang keilmuan.
Di tingkat pendidikan tinggi, Ayyubiyah berhasil membangun sekitar 25 kuliyat. Beberapa kuliyat terkenal antara lain Kuliyat Manazizul Izza, Arsufiyah, dan Fadiliyah. Lembaga-lembaga ini tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga ilmu umum yang mendukung perkembangan masyarakat.
Mereformasi Pengajaran di Al-Azhar
Salah satu langkah monumental Dinasti Ayyubiyah adalah mereformasi pengajaran di Masjid Al-Azhar, Kairo. Al-Azhar awalnya didirikan oleh Dinasti Fatimiyah sebagai pusat pendidikan Syiah. Namun, ketika kekuasaan Ayyubiyah, organisasi Al-Azhar diubah menjadi pusat pendidikan Sunni.
Reformasi ini tidak sekadar mengubah arah teologi, tetapi juga memperluas kurikulum. Selain fikih, hadis, dan tafsir, Al-Azhar mulai mengajarkan ilmu-ilmu rasional seperti fisika, kimia, biologi, dan ilmu hitung. Akibatnya, Al-Azhar tumbuh pesat dan mulai menarik murid-murid dari berbagai wilayah Islam. Dengan perubahan ini, Ayyubiyah berhasil menjadikan Al-Azhar sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam paling berpengaruh hingga saat ini.
Mengalokasikan Anggaran Khusus untuk Pendidikan
Perhatian besar Dinasti Ayyubiyah terhadap pendidikan terlihat jelas dari kebijakan pengalokasian anggaran negara. Para khalifah Ayyubiyah menyediakan dana khusus untuk membiayai kebutuhan pendidikan. Anggaran tersebut digunakan untuk membayar biaya pendidikan siswa, memberikan gaji layak kepada guru, serta membangun fasilitas pendukung.
Guru kesejahteraan mendapat perhatian serius. Mereka tidak hanya digaji besar, tetapi juga mendapatkan fasilitas berupa tempat tinggal. Hal yang sama juga berlaku bagi para siswa. Pemerintah menyediakan asrama agar kegiatan belajar dapat berlangsung lebih intensif. Dukungan ini menjadikan atmosfer pendidikan pada masa itu sangat kondusif dan memungkinkan lahirnya banyak cendekiawan.
Damaskus sebagai Pusat Pendidikan
Damaskus menempati posisi penting dalam jaringan pendidikan Dinasti Ayyubiyah. Kota ini menjadi pusat intelektual yang menghubungkan berbagai tradisi keilmuan. Banyak ulama besar datang dan menetap di Damaskus untuk mengajar maupun menulis karya. Dengan dukungan penuh dari pemerintah, madrasah dan perpustakaan di kota ini berkembang pesat.
Damaskus juga berperan sebagai tempat bertemunya berbagai mazhab dan aliran pemikiran. Perbedaan mazhab tidak menjadi penghalang bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan, justru memperkaya dinamika intelektual. Kehadiran madrasah-madrasah besar di kota ini menjadi bukti nyata komitmen Ayyubiyah terhadap pendidikan.
Kesimpulan
Perkembangan pendidikan pada masa Dinasti Ayyubiyah, khususnya di Damaskus, menunjukkan betapa besarnya perhatian pemerintah Islam terhadap dunia ilmu pengetahuan. Melalui pembentukan departemen khusus, pendirian madrasah dan kuliyat, reformasi Al-Azhar, serta pengalokasian anggaran khusus, Ayyubiyah berhasil membangun sistem pendidikan yang maju.
Kebijakan mereka tidak hanya melahirkan lembaga-lembaga pendidikan yang bertahan hingga berabad-abad kemudian, tetapi juga memperkuat posisi umat Islam sebagai peradaban yang berilmu. Damaskus, dengan segala kemajuan intelektualnya, menjadi bukti bahwa investasi dalam bidang pendidikan mampu mengangkat martabat bangsa dan memperkokoh fondasi peradaban Islam.
Referensi:
Saufi, Akhmad dan Hasmi Fadillah. (2015). Sejarah Peradaban Islam . Yogyakarta: Penerbit Deepublish.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
