SURAU.CO.Kita hidup di zaman ketika hampir semua orang punya media sosial. Dari anak sekolah yang baru belajar bikin konten, mahasiswa yang suka upload foto nongkrong, sampai pekerja kantoran yang memajang pencapaian kariernya. Mereka semua berbagi momen, cerita, dan pencapaian di platform seperti Instagram, Facebook, dan TikTok. Media sosial jadi semacam panggung, tempat berbagi momen, cerita, bahkan pencapaian. Namun, di balik semua manfaat itu, ada satu fenomena yang makin terasa kuat: budaya narsis.
Awalnya mungkin terlihat sepele—sekadar hobi selfie atau suka upload momen bahagia. Tapi lambat laun, sebagian orang menjadikannya candu. Dalam psikologi, kondisi ini dikenal sebagai Narcissistic Personality Disorder (NPD): gangguan kepribadian di mana seseorang merasa dirinya paling penting, haus akan pujian, dan sulit peduli pada orang lain. Ia bukan hanya soal ingin diperhatikan, tapi bisa merusak hubungan sosial bahkan kesehatan mental.
Panggung Digital: Antara Manfaat dan Jebakan Narsis
Media sosial adalah panggung bagi jutaan orang. Kita bisa dengan mudah berbagi momen bahagia, menyampaikan pendapat, atau bahkan membangun karier. Namun, kemudahan ini seringkali membuka pintu bagi perilaku narsisistik. Orang-orang cenderung mencari validasi diri melalui likes, komentar, dan followers.
Psikologi modern mengidentifikasi kondisi ini sebagai NPD. Individu dengan NPD memiliki kebutuhan yang berlebihan untuk diperhatikan, merasa dirinya paling penting, dan kurang memiliki empati. Mereka cenderung mudah tersinggung jika postingannya tidak mendapatkan perhatian yang cukup.
Di dunia digital, gejala NPD semakin terlihat jelas. Kita melihat orang-orang flexing gaya hidup mewah, pamer amal ibadah, atau bahkan merasa lebih unggul karena jumlah pengikut. Hal ini menunjukkan kebutuhan yang tak henti-hentinya akan validasi eksternal. Validasi semacam itu bersifat menipu. Pujian dapat membuat kita merasa hebat, tetapi ketika perhatian menghilang, kita bisa jatuh dalam rasa minder dan bahkan depresi. Inilah yang saya sebut sebagai “narsis digital,” sebuah jebakan halus di era media sosial.
Narsis Digital dalam Perspektif Islam: Penyakit Hati yang Mengakar
Ajaran Islam memberikan perspektif yang mendalam tentang fenomena narsis digital. Dalam Islam, narsis bukan hanya sekadar perilaku, tetapi merupakan manifestasi dari penyakit hati. Penyakit hati ini telah lama diperingatkan oleh para ulama.
- Takabbur: Kesombongan yang membuat seseorang merasa lebih tinggi dari orang lain. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan meskipun sebesar biji sawi.” (HR. Muslim).
- Ujub: Bangga berlebihan terhadap diri sendiri. Ibnul Qayyim menyebutnya sebagai penyakit hati yang menghancurkan.
- Riya’: Amal yang dilakukan bukan karena Allah Swt, melainkan untuk dilihat manusia. Praktik flexing dan pamer ibadah di media sosial sangat mirip dengan riya. Ini adalah bentuk mencari pengakuan dari manusia, bukan mencari ridha Allah Swt.
Secara esensial, NPD dalam psikologi modern dan penyakit hati dalam Islam memiliki kesamaan. Keduanya berakar pada rasa penting diri yang berlebihan, kebutuhan akan pengakuan, dan hilangnya empati.
Solusi Islami: Menyucikan Jiwa dan Mengendalikan Nafsu
Islam menawarkan solusi komprehensif untuk mengatasi narsis digital. Solusi ini berfokus pada penyucian jiwa dan pengendalian nafsu.
- Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa): Setiap kali kita ingin memposting sesuatu, tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini bermanfaat? Apakah ini mendekatkan diri kepada Allah? Atau hanya untuk mencari pujian?
- Tawadhu’ (Rendah Hati): Rasulullah Saw adalah teladan utama dalam hal kerendahan hati. Beliau tidak pernah mencari sorotan dan hidup sederhana. Jika beliau saja rendah hati, mengapa kita berlebihan menuntut pengakuan dari manusia?
- Empati: Gunakan media sosial untuk menolong orang lain. Bagikan informasi bermanfaat, inspirasi, atau membuka pintu donasi. Hal ini jauh lebih mulia daripada sekadar pamer diri.
Refleksi Diri: Menggunakan Media Sosial dengan Bijak
Mungkin ada di antara kita yang merasa tidak separah itu. Namun, budaya narsis digital bisa merayap tanpa kita sadari. Dari sekadar update, menjadi kebiasaan pamer. Dari berbagi, menjadi candu akan validasi. Mari kita bertanya pada diri sendiri: Apakah kita menggunakan media sosial untuk membangun citra, atau untuk memberi manfaat? Apakah kita lebih peduli dengan jumlah likes, atau ridha Allah Swt?
Media sosial adalah alat di mana kita bisa memilih untuk menggunakannya sebagai panggung narsis atau sebagai ladang amal. Yang terpenting adalah niat dan keikhlasan kita. Mari fokus pada amal ibadah dan mencari ridha Allah, bukan popularitas dunia maya. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
