SURAU.CO. Islam sejak awal bukan hanya agama yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga memberi panduan dalam kehidupan sosial dan politik. Nabi Muhammad ﷺ sendiri tidak hanya berperan sebagai seorang rasul, tetapi juga sebagai pemimpin masyarakat yang mengatur pemerintahan di Madinah. Sejak saat itu, politik dan Islam selalu berjalan beriringan, meski dalam bentuk dan praktik yang berbeda sesuai konteks zaman. Dalam sejarahnya, Islam pernah melahirkan peradaban besar yang mengintegrasikan agama, ilmu pengetahuan, dan pemerintahan.
Di era kontemporer, hubungan Islam dan politik menjadi semakin kompleks. Globalisasi, perubahan geopolitik, serta dinamika internal umat Islam menghadirkan tantangan sekaligus peluang baru. Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, memiliki posisi penting dalam percaturan ini. Islam Indonesia sering dipandang sebagai contoh bagaimana agama dapat beriringan dengan demokrasi, toleransi, dan keberagaman.
Era Kontemporer Islam
Era kontemporer Islam dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia II. Banyak negara Muslim yang saat itu berhasil merdeka dari penjajahan Barat, termasuk Indonesia. Kemerdekaan ini membawa umat Islam pada tantangan baru, bagaimana membangun negara bangsa modern. Sistem negara yang berbangsa berbeda dengan tatanan tradisional Islam karena menekankan kewarganegaraan yang bersifat sekuler. Sementara Islam secara historis membawa klaim universal yang melampaui batas wilayah dan etnis. Dari sinilah muncul perdebatan: apakah Islam harus menjadi dasar negara, ataukah cukup hadir sebagai inspirasi moral dalam kehidupan politik?
Pada saat yang sama, gelombang migrasi besar-besaran umat Islam ke negara Barat semakin memperluas peta demografi dunia Muslim. Kini, Islam bukan hanya identik dengan Timur Tengah, melainkan juga bagian dari Eropa, Amerika, hingga Asia Tenggara. Kondisi ini membuat unat Islam semakin tidak terpisahkan dari dinamika global, baik dalam aspek politik, ekonomi, maupun sosial.
Islam dan Perubahan Politik Global
Beberapa peristiwa besar memengaruhi wajah Islam di kancah internasional. Revolusi Iran pada 1979 menghidupkan kembali semangat politik Islam sekaligus memperkuat rivalitas Sunni-Syiah. Revolusi Iran memunculkan semangat baru untuk menegakkan Islam sebagai dasar negara. Di sisi lain, konflik Sunni-Syiah dan rivalitas Arab Saudi–Iran memperlihatkan bagaimana mereka sering menggunakan agama sebagai instrumen politik. Kemudian runtuhnya Uni Soviet pada 1989 membawa gelombang demokratisasi di berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara Muslim.
Tragedi 11 September 2001 semakin menempatkan Islam di sorotan dunia. Saat terjadi serangkaian serangan bunuh diri terhadap beberapa target di New York City dan Washington DC. Pembajakan pesawat oleh kelompok militan al-Qaeda dan sengaja menabrakkannya ke gedung yang sudah ditargetkan. Menurut laporan tim investigasi 911, sekitar 3000 jiwa tewas dan menjadikan serangan ini sebagai serangan teroris dengan korban terbanyak sepanjang sejarah.
Islam kerap dipersepsikan negatif karena dikaitkan dengan terorisme. Padahal, wajah Islam sejatinya sangat beragam, ada yang moderat, ada yang reformis, dan ada pula kelompok ekstremis. Sayangnya, media dan politik global sering mereduksi keberagaman ini hanya pada kelompok radikal.
Al-Qur’an menegaskan pentingnya posisi umat Islam sebagai penengah. Allah ﷻ berfirman, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu….” (QS. Al-Baqarah: 143).
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam seharusnya hadir sebagai kekuatan moderat, bukan sumber perpecahan. Moderasi inilah yang menjadi kunci dalam menghadapi tantangan politik global.
Islamisme, Demokrasi dan Tantangan Kontemporer
Salah satu fenomena penting dalam politik Islam kontemporer adalah munculnya Islamisme, yaitu ideologi yang berusaha menjadikan Islam tidak hanya sebagai agama, tetapi juga dasar negara (al-din wa al-daulah). Para pendukungnya meyakini bahwa Islam memiliki sistem yang lengkap untuk mengatur kehidupan, termasuk politik dan pemerintahan.
Di Indonesia, jejak Islamisme sudah terlihat sejak masa kolonial melalui Sarekat Islam (SI), kemudian muncul Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII), hingga Partai Masyumi. Pada masa Orde Baru, gerakan Islam politik ditekan, tetapi tetap bertahan melalui jalur dakwah dan pendidikan. Setelah reformasi 1998, Islamisme kembali mendapat ruang. Beberapa kelompok memilih politik formal melalui partai seperti PKS, sementara yang lain melalui ormas.
Namun, dukungan umat Islam Indonesia tidak selalu mengarah ke partai Islam. Banyak Muslim justru memilih partai nasionalis, menunjukkan sikap kritis bahwa Islam tidak harus diwujudkan dalam bentuk negara Islam. Bagi mereka, Islam tidak harus diwujudkan dalam bentuk negara Islam, melainkan cukup sebagai nilai moral yang menuntun politik agar lebih adil, bersih, dan menyejahterakan.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad). Hadis ini memberi pesan bahwa politik dalam Islam harus berorientasi pada kemaslahatan, bukan hanya simbol atau label agama.
Menjalankan politik Islam dalam demokrasi, memunculkan pertanyaan besar: apakah Islam kompatibel dengan demokrasi? Pengalaman Indonesia menjawab pertanyaan ini dengan positif. Setelah reformasi, Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia. Meski ada tantangan berupa radikalisme, intoleransi, dan isu sektarian, demokrasi tetap berjalan dengan melibatkan umat Islam di dalamnya.
Namun, demokrasi bukan berarti tanpa batas. Dalam Islam, kebebasan harus selalu dibingkai oleh nilai moral dan keadilan. Allah ﷻ berfirman,“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90).
Kebebasan politik harus selalu dibingkai oleh keadilan. Demokrasi yang sesuai dengan nilai Islam bukan sekadar kebebasan tanpa batas, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab dan berorientasi pada kebaikan bersama.
Kontribusi Islam Indonesia dalam Politik Global
Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sering menjadi rujukan dalam menunjukkan bahwa Islam bisa berjalan seiring dengan demokrasi, toleransi, dan kemajemukan. Dunia memandang Indonesia sebagai model Islam moderat. Model Islam Nusantara yang moderat membuat Indonesia dihormati dalam percaturan politik internasional.
Salah satu kontribusi nyata adalah peran Indonesia dalam isu Palestina. Sejak awal kemerdekaannya, Indonesia konsisten mendukung perjuangan rakyat Palestina. Presiden Soekarno menegaskan bahwa selama Palestina belum merdeka, Indonesia tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Hingga kini, Indonesia terus aktif di forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk memperjuangkan hak-hak bangsa Palestina.
Sikap ini sejalan dengan firman Allah ﷻ, “Dan mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak…” (QS. An-Nisa: 75). Ayat ini menjadi pengingat bahwa umat Islam berkewajiban memperjuangkan keadilan bagi mereka yang tertindas.
Selain Palestina, Indonesia juga berperan aktif dalam isu Rohingya di Myanmar. Pemerintah bersama organisasi kemanusiaan Islam di Indonesia menggalang bantuan dan diplomasi untuk melindungi Muslim Rohingya yang mengalami diskriminasi. Langkah ini memperlihatkan bahwa politik luar negeri Indonesia tidak hanya berorientasi pada kepentingan nasional, tetapi juga membawa misi kemanusiaan.
Indonesia juga aktif dalam diplomasi perdamaian global. Melalui pendekatan soft diplomacy, Indonesia berusaha membangun dialog antaragama dan antarperadaban. Misalnya, Forum Demokrasi Bali (Bali Democracy Forum) sering dijadikan ruang diskusi internasional untuk membahas demokrasi yang inklusif, dengan melibatkan berbagai negara Muslim dan non-Muslim.
Peran ini menunjukkan bahwa Islam Indonesia bukan hanya berfokus ke dalam negeri, tetapi juga memberikan kontribusi penting di kancah internasional. Dengan modal moderasi, toleransi, dan semangat kebangsaan, Islam di Indonesia tampil sebagai wajah Islam yang damai, solutif, dan berdaya guna.
Masa Depan Islam dan Politik
Melihat perkembangan saat ini, masa depan Islam dalam politik tidak bisa dilepaskan dari dua hal penting. Pertama, Islam harus terus menyesuaikan diri dengan dinamika global tanpa kehilangan esensi ajarannya. Modernitas memang membawa tantangan, tetapi juga membuka peluang besar untuk menampilkan wajah Islam yang rahmatan lil-‘alamin. Kedua, umat Islam harus menjaga keseimbangan antara identitas keagamaan dan identitas kebangsaan. Keduanya bukan untuk dipertentangkan, tetapi saling melengkapi.
Dalam konteks Indonesia, Islam memiliki peluang besar menjadi kekuatan moral yang memperkuat demokrasi. Selama umat Islam mampu menampilkan politik yang santun, adil, dan menyejahterakan, maka Islam akan terus berkontribusi positif bagi bangsa dan dunia.
Hubungan Islam dan politik di era kontemporer memang penuh dinamika. Dari revolusi Iran hingga demokrasi Indonesia, dari tragedi 11 September hingga isu Islamofobia, semuanya menunjukkan bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dari politik global. Namun, tantangan ini juga membuka peluang.
Kunci keberhasilan umat Islam adalah dengan mempraktikkan moderasi (wasathiyah), mengedepankan keadilan, serta menjadikan politik sebagai sarana untuk kemaslahatan umat. Dengan demikian, Islam tidak akan dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai solusi bagi dunia yang sedang mencari keseimbangan antara nilai spiritual dan modernitas.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
