Surau.co. Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī adalah sebuah kitab yang terus hidup dalam hati umat Islam, khususnya di Indonesia. Dari langgar kecil di pedesaan hingga masjid di perkotaan, bacaan manāqib telah menjadi tradisi yang menyuburkan jiwa. Frasa kunci Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī tidak sekadar teks yang diulang-ulang, tetapi cahaya yang menembus generasi, mengajarkan bahwa doa bukan sekadar kata, melainkan akar yang menembus bumi dan menjulang ke langit.
Dalam manāqib diriwayatkan:
“دُعَاءُ الْأَوْلِيَاءِ سِهَامٌ تُصِيبُ سَرِيعًا، لَا تَخْطِئُ الْمَرْمَى.”
“Doa para wali itu laksana anak panah yang cepat mengenai sasaran, ia tidak pernah meleset.”
Kisah ini membuat kita mengerti: doa seorang wali tidak berhenti di langit-langit rumah, melainkan menembus ke ruang gaib, mengetuk pintu rahmat Allah.
Pohon Rindang di Tengah Kegersangan Sosial
Fenomena sosial di Indonesia hari ini memperlihatkan kerapuhan iman sebagian generasi muda. Di satu sisi, teknologi membawa kemudahan, tetapi di sisi lain, ia sering menjauhkan manusia dari rasa syukur. Banyak orang mengukur kebahagiaan dengan layar ponsel, bukan lagi dengan ketenangan hati.
Pada titik inilah, Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī menghadirkan keteladanan. Sosoknya seperti pohon rindang di tengah padang gersang. Akar doanya menembus bumi, batangnya tegak kokoh, dan daunnya menaungi siapa saja yang kepanasan oleh panasnya dunia.
Dalam manāqib, beliau berkata:
“الطَّرِيقُ إِلَى اللهِ مَزْرُوعٌ بِالصِّدْقِ، فَمَنْ لَمْ يَكُنْ صَادِقًا ضَلَّ عَنِ الطَّرِيقِ.”
“Jalan menuju Allah ditanami dengan kejujuran. Barangsiapa tidak jujur, ia akan tersesat dari jalan itu.”
Bukankah ini relevan dengan kondisi Indonesia saat berita tentang korupsi dan kebohongan masih mengisi layar televisi kita? Jalan yang benar hanya bisa ditempuh dengan kejujuran, bukan kepura-puraan.
Murid yang Menjadi Daun, Menyebar Membawa Kehidupan
Tradisi membaca manāqib di Indonesia juga melahirkan murid-murid yang tekun. Mereka tidak sekadar membaca kisah, tetapi menjadikannya pedoman hidup. Dalam masyarakat, murid yang mendapat keberkahan dari doa sang Syaikh menjadi seperti daun yang jatuh ke tanah, lalu menyuburkan kehidupan di sekitarnya.
Al-Qur’an mengingatkan:
﴿وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ﴾
(QS. Hūd: 88)
“Dan tidak ada taufik bagiku kecuali dengan pertolongan Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya aku kembali.”
Ayat ini selaras dengan napas manāqib. Murid yang berjalan di bawah naungan doa sang wali akan senantiasa belajar tawakal, bukan sekadar berambisi.
Doa yang Menembus Zaman
Sejarah mencatat, doa Syaikh Abdul Qadir bukan hanya untuk muridnya di Baghdad, tetapi juga untuk umat yang datang berabad-abad setelah beliau. Maka tidak heran, di surau-surau Nusantara, orang tua masih membacakan manāqib dengan linangan air mata. Mereka percaya bahwa doa wali adalah jembatan yang menyambungkan hati mereka dengan Allah.
Dalam manāqib, beliau berkata:
“إِذَا أَرَدْتَ أَنْ يُسْمَعَ دُعَاؤُكَ، فَطَهِّرْ قَلْبَكَ.”
“Jika engkau ingin doamu didengar, maka sucikanlah hatimu.”
Petuah ini seakan mengajarkan: doa bukan tentang panjangnya kata-kata, melainkan kejernihan hati yang memantulkan cahaya langit.
Rindu yang Tumbuh Menjadi Doa
Masyarakat Indonesia, dengan segala tantangannya, seolah diajak untuk tidak hanya membaca manāqib sebagai ritual, tetapi sebagai ruang untuk menyalakan rindu kepada Allah. Setiap kalimat yang dibacakan adalah getaran cinta, setiap kisah yang disebutkan adalah ajakan untuk pulang.
Seperti doa yang tumbuh menjadi pohon, manāqib menegaskan bahwa kerinduan kepada Allah bisa menjelma kekuatan. Bahkan di tengah hiruk pikuk kota, di antara klakson dan polusi, doa itu tetap menemukan jalannya menuju langit.
Dalam manāqib, beliau berkata:
“مَنْ أَخْلَصَ لِلَّهِ صَارَ دُعَاؤُهُ مِفْتَاحًا لِلرَّحْمَةِ.”
“Barangsiapa yang ikhlas kepada Allah, maka doanya menjadi kunci bagi rahmat.”
Penutup: Akar yang Menyentuh Langit
Syaikh Abdul Qadir adalah pohon yang doa-doanya masih meneduhkan kita hingga kini. Akar doanya menembus bumi, batangnya kokoh, dan cabangnya menjulang ke langit, menyentuh rahmat Ilahi.
Pertanyaannya kini: maukah kita menjadi tanah yang subur, tempat pohon itu menanamkan akarnya? Ataukah kita hanya menjadi batu keras, yang tak mampu menampung benih doa?
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
