Fenomena Job Hugging: Memeluk Erat Pekerjaan di Tengah Ketidakpastian.
SURAU.CO – Dalam satu bulan terakhir, istilah job hugging mulai ramai diperbincangkan di pasar kerja global dan kini juga masuk ke percakapan publik di Indonesia. Istilah ini pertama kali populer di Amerika Serikat, merujuk pada fenomena pekerja yang memilih bertahan di pekerjaannya selama mungkin—meski terkadang mereka merasa tidak bahagia atau tidak berkembang.
Menurut laporan Korn Ferry yang dikutip CNBC, job hugging adalah tindakan mempertahankan pekerjaan dengan erat, seakan tidak rela melepaskannya. Fenomena ini semakin terlihat setelah Departemen Tenaga Kerja AS merilis data pada Agustus 2025: tingkat pekerja yang secara sukarela berhenti dari pekerjaannya hanya sekitar 2 persen sejak awal tahun. Angka ini terendah sejak 2016, kecuali pada masa pandemi Covid-19.
Mengapa Orang Memilih Bertahan?
Ada beberapa alasan yang membuat pekerja enggan pindah:
1. Ketidakpastian Ekonomi – Inflasi, kenaikan biaya hidup, dan ancaman resesi membuat orang takut kehilangan sumber penghasilan.
2. Persaingan Kerja Ketat – Banyaknya kandidat berkualitas membuat mencari pekerjaan baru terasa lebih sulit.
3. Keamanan dan Stabilitas – Pekerjaan yang ada dianggap “aman”, meski tidak memberi kepuasan batin atau jenjang karier yang jelas.
Cermin bagi Pekerja Indonesia
Di Indonesia, kondisi serupa juga dapat kita lihat. Banyak karyawan bertahan di pekerjaan yang sebenarnya tidak lagi memberi kebahagiaan atau ruang berkembang, semata karena faktor keamanan finansial. Fenomena ini erat kaitannya dengan biaya hidup yang terus naik, keterbatasan lapangan kerja formal, dan tingginya risiko jika memulai karier baru.
Dampak Psikologis dan Produktivitas: Memeluk pekerjaan erat-erat bisa membawa ketenangan sesaat, tetapi dalam jangka panjang bisa menimbulkan kejenuhan, stres, bahkan burnout.
Perusahaan pun perlu waspada: karyawan yang “bertahan karena terpaksa” bisa kehilangan motivasi, berdampak pada produktivitas dan iklim kerja.
Jalan Tengah: Bertahan Sambil Berkembang
Job hugging bukan selalu hal negatif. Bagi sebagian orang, bertahan di pekerjaan bisa menjadi strategi sambil mempersiapkan keterampilan baru atau membangun usaha sampingan. Yang penting, jangan sampai sikap ini membuat kita berhenti belajar dan beradaptasi dengan perubahan.
Refleksi: Fenomena job hugging adalah potret nyata bagaimana ketidakpastian ekonomi memengaruhi pilihan hidup manusia.
Kita bisa memeluk pekerjaan sebagai bentuk syukur dan tanggung jawab, tetapi jangan sampai lupa membuka ruang bagi pertumbuhan diri. Karena pekerjaan sejati bukan hanya yang memberi gaji, tetapi juga yang menumbuhkan nilai, makna, dan keberkahan dalam hidup.
Psikologi Keluarga: Membangun Harmoni dalam Rumah Tangga.
Keluarga adalah sekolah pertama bagi setiap manusia. Di sanalah anak belajar berbicara, merasakan kasih sayang, memahami nilai, bahkan membentuk pola pikir dan kepribadian. Karena itu, dalam psikologi keluarga, peran setiap anggota sangat menentukan suasana batin dan kesehatan mental rumah tangga.
1. Suami sebagai Pemimpin dan Penopang Emosi
Suami bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga pemimpin emosional. Istri dan anak-anak membutuhkan kehadiran seorang ayah yang menenangkan, bukan hanya hadir secara fisik tetapi juga secara psikologis. Dalam Islam, suami adalah qawwam (pemimpin dan penanggung jawab). Artinya, ia harus mampu menjadi teladan, penyemai kasih, sekaligus penguat iman keluarganya.
2. Istri sebagai Penyejuk dan Pengatur Kehangatan
Istri dalam rumah tangga diibaratkan taman yang meneduhkan. Psikologi keluarga mengajarkan, seorang ibu yang bahagia akan menurunkan kebahagiaan pada anak-anaknya. Karena itu, seorang suami hendaknya memperhatikan kesehatan mental istrinya: mendengar keluh kesahnya, menghargai usahanya, dan membantu meringankan bebannya.
3. Anak sebagai Amanah dan Cermin Orangtua
Anak-anak belajar lebih banyak dari sikap orangtua daripada nasihat yang diucapkan. Jika orangtua tenang, penuh kasih, anak cenderung tumbuh dengan jiwa yang stabil. Jika orangtua keras, penuh amarah, anak berisiko tumbuh dengan luka batin. Karena itu, pola asuh penuh cinta (parenting with love and respect) menjadi pondasi penting dalam psikologi keluarga.
4. Komunikasi Keluarga: Obat bagi Luka Batin
Banyak keluarga retak bukan karena kekurangan materi, melainkan karena miskinnya komunikasi. Psikologi keluarga menekankan pentingnya mendengar dengan empati, berbicara dengan lembut, dan menghindari kata-kata yang melukai. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi).
Spiritualitas sebagai Terapi Keluarga
Keluarga yang dibangun di atas dzikir dan doa memiliki benteng psikologis yang kuat. Shalat berjamaah, membaca Al-Qur’an bersama, atau sekadar mendoakan anak-anak sebelum tidur dapat menjadi terapi jiwa yang menjaga kehangatan rumah.
Penutup: Psikologi keluarga mengajarkan kita bahwa rumah bukan sekadar tempat beristirahat, tetapi juga ruang penyembuhan jiwa. Dengan komunikasi, kasih sayang, dan nilai spiritual yang kuat, keluarga menjadi benteng dari stres kehidupan modern.
Rumah tangga yang bahagia bukan rumah yang tanpa masalah, melainkan rumah yang mampu mengelola masalah dengan sabar, cinta, dan iman. Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat, (Tengku Iskandar, M. Pd)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
