Surau.co. Puasa bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga, melainkan latihan kejujuran yang paling sunyi. Di balik perut yang keroncongan, hati diuji: apakah ia mampu jujur pada Allah, jujur pada dirinya sendiri, dan jujur pada sesama? Kitab Mukhtashar Quduri karya Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad al-Qudūrī al-Baghdādī—sebuah kitab klasik fiqh Hanafi—menyuguhkan panduan ibadah puasa yang tak sekadar teknis, tetapi juga menyingkap makna batin yang dalam.
Dalam realitas sosial Indonesia, kita sering menjumpai ironi: orang berpuasa, tapi lidahnya tetap ringan berbohong; perutnya kosong, tapi tangannya tetap penuh mengambil hak orang lain. Maka, pertanyaannya: untuk apa perut lapar jika hati tetap kenyang oleh dusta?
Lapar yang Menggugah Nurani
Di sebuah warung kecil di pojok kampung, saya pernah menyaksikan obrolan dua bapak menjelang Maghrib.
“Wes tak kuat, perutku krucuk-krucuk, tapi ya seneng, Mas. Rasane iso nahan.”
“Iyo, Pak. Nek dipikir, Allah iku maringi cobaan sing nyenengke. Luwe, ning nggawa tentrem.”
Lapar memang sakit, tapi ada kejujuran yang tumbuh dari rasa sakit itu. Kitab Mukhtashar Quduri menulis:
وَإِذَا أَمْسَكَ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَالْجِمَاعِ فَهُوَ صَائِمٌ
(Jika seseorang menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami-istri, maka ia sedang berpuasa).
Terjemahannya sederhana, tetapi maknanya menohok: puasa bukan sekadar menahan, melainkan sebuah “keberanian” untuk berkata cukup pada diri sendiri.
Sunyi yang Menjadi Cermin
Dalam sunyi, orang berpuasa bisa saja curang. Tidak ada yang melihat kalau ia meneguk seteguk air di kamar. Tapi justru di situ letak ujian: puasa adalah kejujuran tanpa saksi.
Nabi ﷺ bersabda:
قَالَ اللَّهُ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
(Allah berfirman: Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya) – HR. Bukhari Muslim.
Betapa indah: puasa adalah dialog rahasia antara hamba dan Tuhannya. Tidak ada panggung, tidak ada sorot kamera, hanya kejujuran yang murni.
Kitab Mukhtashar Quduri kembali menegaskan:
وَإِذَا أَكَلَ أَوْ شَرِبَ عَامِدًا فَسَدَ صَوْمُهُ
(Jika seseorang makan atau minum dengan sengaja, maka batal puasanya).
Kejujuran di sini diuji bukan oleh orang lain, melainkan oleh Allah yang Maha Melihat.
Puasa dan Luka Sosial Kita
Di negeri ini, puasa kadang hanya menjadi ritual tahunan, tetapi kejujuran tetap langka. Korupsi masih merajalela, politik penuh dusta, bisnis dipenuhi tipu daya.
Di sisi lain, masyarakat kecil menunaikan puasa dengan penuh kesungguhan, meski lauknya sekadar tempe goreng. Saya teringat seorang ibu penjual sayur yang berkata lirih, “Rezeki saya sedikit, tapi saya tetap puasa. Semoga Allah jujur kepada saya sebagaimana saya mencoba jujur kepada-Nya.”
Kitab Mukhtashar Quduri mengingatkan:
وَمَنْ جَامَعَ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ
(Siapa yang berhubungan suami-istri di siang hari Ramadhan, wajib baginya qadha dan kafarah).
Hukuman kafarah di sini bukan sekadar beban, tapi juga pendidikan sosial: bahwa melanggar kejujuran puasa berarti juga melukai tatanan masyarakat yang sedang beribadah bersama.
Saat Perut Mengajarkan Kasih
Lapar itu mengajarkan empati. Saat perut kita kosong, kita merasakan sedikit saja dari derita orang miskin. Bukankah tujuan puasa juga melatih solidaritas?
Mukhtashar Quduri menyebutkan:
وَعَلَى الْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ الْفِطْرُ وَيَقْضِيَانِ
(Orang sakit dan musafir boleh berbuka, lalu menggantinya di hari lain).
Fikih mengajarkan keringanan, tetapi juga mengajarkan kasih. Allah tidak membebani hamba-Nya melebihi kemampuannya. Justru dari keringanan itu lahir rasa cinta: Allah ingin kita sehat, bukan sekadar lapar.
Puasa adalah sekolah kejujuran, karena hanya Allah yang tahu apa yang kita lakukan di balik pintu tertutup.
Lapar melatih empati, bukan hanya menahan diri.
Fikih bukan sekadar hukum kaku, tetapi cermin kasih Allah kepada hamba-Nya.
Jejak yang Harus Kita Tinggalkan
Puasa bukan hanya ibadah individual. Ia adalah latihan sosial agar setelah Ramadhan, kejujuran tetap terjaga. Kalau perut bisa diajak jujur, mestinya hati pun bisa diajak jujur.
Mari kita tanyakan pada diri sendiri: setelah puasa, apakah kita lebih jujur kepada pasangan? Kepada anak-anak? Kepada rakyat yang kita pimpin?
Semoga Ramadhan ini bukan sekadar angka dalam kalender, tetapi jejak kejujuran dalam hidup kita.
اللهم اجعل صيامنا صيامًا مقبولًا، وقلوبنا قلوبًا صادقةً.
(Ya Allah, jadikanlah puasa kami puasa yang Engkau terima, dan hati kami hati yang jujur).
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang konteplatif Serambi Bedoyo ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
