Surau.co. Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, frasa qishas sering terdengar seperti cerita masa lalu yang menakutkan. Padahal, bila kita menelusuri jejaknya dalam Mukhtashar Quduri karya Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad bin Ahmad al-Qudūrī al-Baghdādī, qishas bukan sekadar balas dendam berdarah, melainkan sistem keadilan yang menempatkan manusia pada martabatnya. Qishas hadir untuk menegaskan bahwa nyawa manusia terlalu berharga untuk ditukar dengan emas atau kekuasaan.
Saya teringat obrolan warung kopi antara dua bapak paruh baya di desa saya:
“Kalau ada orang tega bunuh orang lain, cukup bayar uang selesai urusan. Adil, ya?”
“Adil gimana? Emangnya nyawa bisa dibeli di pasar?”
“Nah itu, makanya Allah bikin qishas. Supaya orang mikir ribuan kali sebelum main hakim sendiri.”
Dialog sederhana itu lebih dalam maknanya daripada khutbah panjang di mimbar.
Nyawa yang Dijaga, Bukan Dihapus
Kitab Mukhtashar Quduri menegaskan:
وَإِذَا قَتَلَ رَجُلٌ رَجُلًا عَمْدًا قُتِلَ بِهِ
“Apabila seorang laki-laki membunuh laki-laki lain dengan sengaja, maka ia dibunuh karenanya.”
Aturan ini tidak lahir untuk menambah darah, tetapi untuk menghentikan banjirnya. Qishas menjadi pagar agar manusia tidak merasa berhak mencabut nyawa sesamanya semaunya.
Al-Qur’an mengingatkan dalam firman-Nya:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة: 179)
“Dan dalam qishas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.”
Qishas bukanlah kematian, tapi kehidupan. Karena dengan qishas, orang jahat berpikir ulang, dan orang baik merasa terlindungi.
Luka yang Tak Bisa Ditutup dengan Harta
Dalam kehidupan sosial kita di Indonesia, sering muncul berita: keluarga korban pembunuhan diberi “uang damai” untuk mencabut laporan. Tapi, apakah uang benar-benar menyembuhkan luka batin?
Dalam Mukhtashar Quduri tertulis:
وَلَا يُقْبَلُ الْعَفْوُ فِي الْقَتْلِ الْعَمْدِ إِلَّا مِنْ وَلِيِّ الدَّمِ
“Tidak diterima pengampunan dalam kasus pembunuhan sengaja kecuali dari wali darah (keluarga korban).”
Artinya, bukan negara, bukan hakim, bukan pula uang yang menentukan. Hanya keluarga korban yang berhak memutuskan: apakah qishas ditegakkan atau dimaafkan. Inilah keadilan yang memberi ruang pada hati, bukan hanya hukum kaku.
Ketika Memaafkan Jadi Lebih Agung
Walaupun qishas adalah hak, Islam selalu membuka jalan maaf. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ: إِمَّا يُفْدَى وَإِمَّا يُقْتَلُ
“Barang siapa keluarganya terbunuh, maka ia berhak memilih salah satu dari dua kebaikan: menuntut diyat (tebusan) atau qishas.” (HR. Bukhari-Muslim)
Mukhtashar Quduri menambahkan:
وَإِنْ عَفَوْا عَنْهُ عَلَى دِيَةٍ صَحَّ
“Jika mereka memaafkan dengan menerima diyat (tebusan), maka itu sah.”
Inilah wajah lembut hukum Islam: tegas menjaga nyawa, tapi tetap membuka pintu kasih.
Di televisi kita sering menyaksikan drama persidangan kasus pembunuhan. Ada keluarga korban yang menuntut hukuman mati, ada pula yang menangis sambil berkata: “Kami maafkan dia.” Dua-duanya sah. Dua-duanya manusiawi.
Namun, betapa sering hukum modern lebih memihak pada prosedur daripada rasa keadilan. Uang bisa menutup kasus, tapi tidak menutup luka. Qishas mengajarkan: keadilan harus lahir dari hati yang paling luka, bukan dari meja yang paling tinggi.
Qishas bukan tentang menumpahkan darah, tapi menahan tangan manusia dari berlumuran darah. Uang bisa membeli banyak hal, tapi tidak bisa membeli kedamaian hati keluarga korban. Di balik qishas ada ruang besar untuk maaf, dan di balik maaf ada cahaya yang lebih luas daripada pembalasan.
Langkah Praktis
- Merenungi harga nyawa – Sadari bahwa setiap nyawa manusia tidak bisa ditukar dengan materi.
- Belajar dari kasus sosial – Ketika melihat berita kejahatan, tanyakan pada diri: apa yang lebih adil, pembalasan atau pemaafan?
- Mengedukasi generasi muda – Tanamkan nilai bahwa kekerasan hanya melahirkan kekerasan, sementara kasih melahirkan kehidupan.
- Menghidupkan dialog hati – Dalam konflik keluarga atau sosial, duduklah bersama dan dengarkan yang paling terluka.
Qishas adalah hukum, tapi ia juga doa. Ia mengajarkan kita bahwa nyawa bukan barang dagangan. Ia menegaskan bahwa ada saatnya manusia harus memilih: membalas dengan darah, atau menyembuhkan dengan maaf.
Semoga kita selalu diberi hati yang berani menegakkan keadilan, tapi juga lapang untuk memberi maaf. Karena pada akhirnya, darah tidak pernah bisa dibalas dengan emas, kecuali dengan cinta yang lebih dalam.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
