Opinion
Beranda » Berita » Jihad: Lebih Sulit Melawan Diri daripada Musuh di Luar

Jihad: Lebih Sulit Melawan Diri daripada Musuh di Luar

Jihad melawan nafsu sebagai perjuangan terbesar menurut Islam.
Ilustrasi jihad batin menurut Mukhtashar Quduri: melawan nafsu lebih berat daripada mengangkat senjata.

Surau.co. Ketika kita mendengar kata jihad, bayangan yang sering muncul adalah perang, pedang, dan pertempuran sengit. Padahal, kitab Mukhtashar Quduri karya Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad al-Qudūrī al-Baghdādī justru mengingatkan kita bahwa jihad tidak hanya soal mengangkat senjata, tetapi juga pergulatan batin melawan hawa nafsu. Di Indonesia, istilah jihad sering disalahpahami, dijadikan jargon politik, bahkan kadang alat legitimasi kekerasan. Padahal, jihad terbesar adalah menundukkan ego, keserakahan, dan amarah kita sendiri.

Orang Jawa bilang, “ngalah urip luwih mulya.” Mengalah demi kebaikan sering dianggap kalah, padahal di situlah kemenangan sejati. Mukhtashar Quduri mencatat:

«وَالْجِهَادُ فَرْضُ كِفَايَةٍ، فَإِذَا قَامَ بِهِ قَوْمٌ سَقَطَ عَنِ الْبَاقِينَ»
“Jihad adalah fardu kifayah. Jika telah dilakukan oleh sebagian orang, gugurlah kewajiban dari yang lainnya.”

Kalimat itu sederhana, tetapi maknanya dalam. Bahwa jihad tidak melulu perang frontal, melainkan tanggung jawab sosial yang cukup diwakili sebagian, asalkan esensinya terjaga: melindungi yang lemah, menegakkan keadilan, menjaga kehormatan hidup.

Seorang kawan pernah berbisik di warung kopi:
“Kadang aku merasa jihadku bukan melawan orang lain, tapi melawan keinginan menjelekkan orang di media sosial.”
Saya tertawa kecil, lalu menjawab,
“Itu malah jihad paling berat. Kalau kalah, bisa jadi dosa bertubi-tubi.”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Nafsu: Musuh Abadi yang Selalu Membayang

Jihad terhadap nafsu disebut oleh ulama sebagai al-jihād al-akbar. Mukhtashar Quduri pun menyinggung etika jihad, bukan sekadar teknis peperangan:

«وَلَا يُقَاتَلُ النِّسَاءُ وَلَا الصِّبْيَانُ، وَلَا الشُّيُوخُ الْفَانُونَ»
“Tidak diperangi perempuan, anak-anak, dan orang tua renta.”

Kalau musuh di luar saja ada batasnya, bagaimana dengan musuh di dalam diri? Nafsu tidak mengenal belas kasihan. Ia menjerat manusia lewat gengsi, dendam, juga kerakusan.

Riset psikologi modern bahkan menyebut bahwa kemampuan menahan diri (self-control) berkorelasi langsung dengan kebahagiaan jangka panjang (Mischel, 2014). Jadi, apa yang diajarkan Quduri sejalan dengan sains kontemporer: melawan diri sendiri lebih menentukan masa depan daripada melawan musuh eksternal.

Sering kita mendengar orang berkata: “Aku siap mati berjihad di medan perang.” Tapi, di sisi lain, ia tak kuasa menahan lidah untuk tidak memfitnah.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

«وَمَنْ قَتَلَ ذِمِّيًّا غَيْرَ حَقٍّ لَمْ يَشُمَّ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ»
“Barangsiapa membunuh seorang dzimmi tanpa alasan yang sah, maka ia tidak akan mencium bau surga.”

Kalau nyawa orang yang dilindungi saja begitu berharga, bagaimana dengan harga diri sesama Muslim yang sering kita robek dengan ucapan? Lidah bisa lebih tajam daripada pedang, dan di situlah jihad sunyi kita diuji.

Melihat Cermin di Tengah Hiruk Pikuk Sosial

Di Indonesia, jihad sering ditafsirkan sempit. Padahal, realitas sosial kita membutuhkan jihad moral: memberantas korupsi, menjaga lingkungan, merawat toleransi.

Mukhtashar Quduri kembali mengingatkan:

«إِذَا فُتِحَتْ بِلَادٌ بِالْعُنْوَةِ فَهِيَ فَيْءٌ لِلْمُسْلِمِينَ»
“Jika sebuah negeri dibuka dengan kekuatan, maka ia menjadi milik kaum Muslimin.”

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Kalimat itu sering disalahgunakan untuk pembenaran ekspansi. Namun, bila dibaca dengan hati, ia justru menekankan tanggung jawab setelah berkuasa: kekayaan negeri itu bukan milik pribadi, melainkan amanah bersama.

Bayangkan bila semangat itu diterapkan pada negeri kita: kekuasaan bukan untuk memperkaya diri, melainkan untuk membahagiakan rakyat. Bukankah itu jihad yang paling nyata?

Jihad bukan hanya perang fisik, tetapi juga perang batin melawan nafsu.

Musuh di luar bisa terlihat, tapi musuh di dalam hati lebih licik.

Menahan lidah dari fitnah lebih berat daripada mengangkat senjata.

Kekuasaan adalah amanah jihad yang hakiki, bukan sarana kerakusan.

Akhirnya, jihad terbesar adalah perjalanan panjang menuju diri yang lebih tenang, sabar, dan penuh kasih. Kalau di medan perang orang bisa gugur sekali, di medan hawa nafsu orang bisa gugur berkali-kali.

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِكَ الَّذِينَ يُجَاهِدُونَ أَنْفُسَهُمْ قَبْلَ أَعْدَائِهِمْ
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk pejuang di jalan-Mu, yang berjuang melawan diri mereka sebelum melawan musuh-musuhnya.

Mungkin kini saatnya kita bertanya: apakah kita sudah benar-benar berjihad, atau jangan-jangan kita masih sibuk menunduk di hadapan nafsu sendiri?

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement