Surau.co. Di antara anugerah paling mulia sekaligus paling berbahaya adalah lidah. Dari lidah lahir janji, doa, sumpah, dan nazar. Sering kali manusia tidak sadar, satu kalimat yang terucap bisa lebih berat daripada seribu kilogram batu. Kitab Mukhtashar Quduri karya Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad al-Qudūrī al-Baghdādī menyinggung persoalan sumpah dan nazar sebagai pintu hukum yang wajib dijaga.
Fenomena sumpah dan nazar tetap hidup di Indonesia. Ada orang yang bersumpah di pengadilan untuk membela diri, ada yang bernazar di makam wali ketika berharap hajatnya terkabul, bahkan ada pula yang berjanji ringan kepada keluarga: “Kalau rezeki lancar, kita pergi haji tahun depan.” Namun, ketika waktunya tiba, janji itu sering berubah menjadi luka.
Kata yang Ringan, Beban yang Berat
Al-Qur’an memperingatkan:
﴿وَٱحْفَظُوٓا۟ أَيْمَـٰنَكُمْ﴾
“Dan jagalah sumpah-sumpahmu.” (QS. Al-Mā’idah: 89)
Ayat ini tampak sederhana, tetapi maknanya sangat dalam. Allah menegaskan bahwa sumpah bukan sekadar kata di mulut, melainkan janji yang akan dipertanggungjawabkan.
Dalam Mukhtashar Quduri tertulis:
«وَمَنْ حَلَفَ عَلَى شَيْءٍ وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَمَا حَلَفَ فَتَبَيَّنَ غَيْرَهُ فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ»
“Barang siapa bersumpah atas sesuatu dengan keyakinan bahwa itu benar, lalu ternyata tidak demikian, maka ia tidak wajib membayar kafarat.”
Dengan demikian, Allah memberi keringanan bagi sumpah yang lahir dari ketidaktahuan. Akan tetapi, bagaimana jika seseorang bersumpah dengan sadar lalu melanggarnya tanpa rasa bersalah?
Nazar yang Menjadi Jerat
Di desa saya, seorang ibu pernah bernazar: jika anaknya sembuh dari sakit, ia akan puasa tiga hari. Anak itu sembuh, tetapi si ibu melupakan nazarnya. Bertahun-tahun kemudian, setiap kali anak itu jatuh sakit, ia menangis: “Mungkin ini karena nazarku belum kutunaikan.”
Quduri menulis:
«النَّذْرُ يَكُونُ فِي الطَّاعَةِ، فَإِذَا نَذَرَ فِي مَعْصِيَةٍ فَلَا يَلْزَمُهُ»
“Nazar itu berlaku pada ketaatan. Jika seseorang bernazar dalam kemaksiatan, maka nazar itu tidak wajib ditunaikan.”
Syariat memberi keringanan. Meskipun demikian, nazar tetap bisa menjadi jerat bila sengaja diabaikan. Lidah yang mengucapkan janji, hati yang akhirnya menanggung.
Dialog di Pinggir Warung Kopi
“Mas, kalau orang bersumpah palsu, apa hukumannya?”
“Jelas berat, apalagi jika dilakukan di pengadilan. Itu dosa besar.”
“Kalau bernazar lalu lupa menunaikan?”
“Itu janji dengan Allah. Bagaimana mungkin kita tega menunda janji kepada-Nya, sementara janji kepada manusia saja kita malu bila melanggar?”
Percakapan sederhana ini menggambarkan bahwa masyarakat paham betapa beratnya janji. Beban terbesarnya bukan hanya pada hukum, melainkan pada rasa bersalah yang terus menghantui.
Antara Ringan di Mulut dan Berat di Hisab
Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ يَرَى أَنَّهُ فِيهَا بَرٌّ فَلَمْ يَأْتِهَا، فَعَلَيْهِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ»
“Barang siapa bersumpah pada suatu kebaikan namun tidak melaksanakannya, maka ia wajib menunaikan kafarat sumpah.” (HR. Abu Dawud)
Kafarat bukan sekadar denda, tetapi pelajaran agar manusia tidak bermain-main dengan lidah. Dalam Quduri juga ditegaskan:
«وَإِذَا نَذَرَ صَوْمَ يَوْمٍ مُعَيَّنٍ فَلَمْ يَصُمْهُ، قَضَاهُ بَعْدُ»
“Jika seseorang bernazar puasa pada hari tertentu lalu tidak melakukannya, maka ia wajib menggantinya setelah itu.”
Janji yang diucapkan mulut berubah menjadi utang di hadapan Allah. Dan utang itu pasti akan ditagih cepat atau lambat.
Langkah Praktis
Agar lidah terjaga, beberapa langkah ini bisa ditempuh:
-
Jangan mudah bersumpah atas nama Allah untuk perkara remeh.
-
Pastikan mampu menunaikan bila bernazar.
-
Bila melanggar sumpah, segera tunaikan kafarat sebagai tebusan.
-
Ingat selalu: janji kepada Allah jauh lebih berat daripada janji kepada manusia.
Menjadi Bijak dengan Lidah
Fenomena sosial di Indonesia memperlihatkan bahwa sumpah sering dijadikan alat politik, alat cinta, bahkan alat tipu. Janji kampanye yang tak pernah ditepati, sumpah cinta yang berakhir pengkhianatan—semuanya lahir dari lidah.
Padahal lidah bisa menjadi jalan menuju surga bila dipakai untuk doa dan dzikir. Sebaliknya, lidah juga bisa menyeret ke neraka bila digunakan untuk sumpah palsu.
Quduri menutup dengan penjelasan:
«وَالْيَمِينُ عَلَى نِيَّةِ الْحَالِفِ إِلَّا أَنْ يَسْتَحْلِفَهُ الْقَاضِي»
“Sumpah itu mengikuti niat orang yang bersumpah, kecuali bila ia disumpah oleh hakim.”
Artinya, sumpah bukan sekadar kata, tetapi cerminan niat. Dan niat itu akan diminta pertanggungjawaban di akhirat.
Lidah yang Patut Dijaga
Mari kita bertanya pada diri sendiri: seberapa sering lidah kita mengucapkan janji tanpa berpikir? Berapa banyak nazar yang terlupakan, dan berapa kali sumpah yang kita langgar?
Semoga Allah menjadikan lidah kita ringan untuk dzikir, tetapi berat untuk janji palsu. Semoga kita wafat tanpa meninggalkan utang sumpah kepada manusia maupun kepada Allah. آمين.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
