Opinion
Beranda » Berita » Snouck Hurgronje dan Cermin Pandangannya tentang Nabi Muhammad Saw

Snouck Hurgronje dan Cermin Pandangannya tentang Nabi Muhammad Saw

nouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda, meninggalkan jejak kontroversial dalam sejarah kolonial Indonesia

SURAU.CO. Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda, meninggalkan jejak kontroversial dalam sejarah kolonial Indonesia. Ia bukan hanya sarjana yang menekuni studi Islam, tetapi juga penasihat pemerintah kolonial yang pandangannya banyak memengaruhi kebijakan terhadap umat Muslim. Salah satu sisi paling sensitif dari warisan intelektualnya adalah pandangannya tentang Nabi Muhammad Saw, yang hingga kini terus menjadi perdebatan.

Bagi Snouck, Nabi Muhammad Saw dipandang semata sebagai pemimpin sosial-politik yang cerdas dan strategis. Ia menafsirkan kehebatan Nabi sebagai hasil kemampuan manusia biasa, bukan sebagai buah dari wahyu Ilahi. Cara pandang ini tentu sejalan dengan misi kolonial: melemahkan semangat keagamaan umat Islam yang kala itu menjadi sumber kekuatan perlawanan. Dari sinilah muncul pertanyaan: apakah pandangan Snouck murni ilmiah, atau sekadar alat politik kolonial?

Siapa Snouck Hurgronje

Christiaan Snouck Hurgronje (1857–1936) adalah orientalis yang menekuni dunia Islam sejak masa kuliah di Universitas Leiden. Ia mendalami bahasa Arab, teologi, dan menulis disertasi tentang ibadah haji. Pada 1884–1885, ia tinggal di Mekkah dengan menyamar sebagai seorang Muslim bernama Abdul Ghaffar. Dari pengalaman itu lahirlah karya Mekka, yang menyingkap detail kehidupan keagamaan umat Islam di kota suci. Karya ini membuat namanya melambung sebagai ahli Islam di Barat.

Pada 1889, Snouck datang ke Hindia Belanda dan menjadi penasihat kolonial urusan pribumi dan Islam. Pandangannya dirumuskan dalam “politik Islam Snouck”: membiarkan Islam berkembang di ranah ibadah pribadi, tetapi membatasi keras pengaruhnya dalam politik. Pandangan ini juga tercermin dalam tafsirnya terhadap Nabi Muhammad Saw, yang ia reduksi menjadi figur pemimpin politik, bukan utusan Allah. Karena itulah Snouck dikenang secara ambivalen: seorang sarjana brilian, namun juga simbol bagaimana pengetahuan bisa dijadikan alat kekuasaan.

Menggali Makna di Balik Pandangan Snouck

Sekilas, tafsir Snouck terasa merendahkan karena meniadakan sisi kenabian Nabi Muhammad Saw. Ia mengabaikan dimensi spiritual, seolah-olah kerasulan hanyalah ilusi. Namun, di balik itu, kita bisa memandangnya sebagai cermin: begitulah Islam dipahami dari luar, dengan kacamata orientalis dan kepentingan kolonial. Pertanyaannya, bagaimana umat Islam sendiri memandang Nabi dari dalam? Apakah kita menghadirkan beliau secara utuh, atau justru ikut mereduksi Nabi menjadi sekadar simbol budaya atau ikon politik?

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Respons Umat: Antara Penolakan dan Refleksi

Ulama tradisional dengan tegas menolak pandangan Snouck, karena sadar betul bahwa tafsir itu adalah strategi kolonial untuk melemahkan jihad. Sementara tokoh pembaharu seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha mengakui ketelitian ilmiah orientalis, tetapi menilai mereka gagal memahami dimensi wahyu. Kritik para orientalis justru menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad Saw terus menjadi pusat perhatian dunia.

Di Indonesia, respons juga beragam. Haji Agus Salim mengakui kecerdasan Snouck, tetapi menilai pandangannya tidak objektif karena sarat kepentingan kolonial. Buya Hamka lebih keras: orientalis dianggap penuh kecurigaan dan merendahkan Islam. Sementara Nurcholish Madjid memilih pendekatan reflektif. Ia menilai ketelitian penelitian Snouck penting untuk diapresiasi, tetapi umat Islam tidak boleh berhenti di situ. Nabi harus dikaji secara ilmiah sekaligus rohaniah, agar pemahaman yang lahir lebih utuh.

Menghadirkan Nabi secara Utuh

Refleksi atas pandangan Snouck mengingatkan kita bahwa penolakan semata tidak cukup. Pandangan itu menyinggung, tetapi sekaligus menyadarkan bahwa kita sendiri harus menghadirkan sosok Nabi secara utuh. Nabi Muhammad Saw bukan hanya tokoh sejarah yang mahir berpolitik, bukan pula sekadar simbol kebanggaan. Beliau adalah rahmat bagi seluruh alam, pembawa keseimbangan, adab, dan kasih sayang.

Dengan demikian, Snouck Hurgronje meninggalkan warisan ganda: di satu sisi, warisan akademis yang tak bisa diabaikan; di sisi lain, tantangan bagi umat Islam untuk tidak berhenti pada polemik, tetapi menjadikan kritik luar sebagai momentum memperdalam iman. Pada akhirnya, tugas kita adalah memastikan bahwa Nabi tetap dipandang sebagaimana mestinya: seorang rasul yang membawa cahaya, bukan sekadar sosok yang direduksi dalam bingkai politik sempit.

Menghadapi Tantangan: Memperdalam Pemahaman

Dengan begitu, umat Islam tidak perlu gamang menghadapi kritik. Di situlah kesempatan untuk memperdalam pemahaman. Kita bisa memperbaiki praktik dan menghadirkan keteladanan Nabi Muhammad Saw. Hanya dengan cara itu, kita bisa menjawab pandangan reduktif. Kita bisa menjawabnya, baik dari orientalis seperti Snouck maupun dari budaya populer masa kini.(kareemustofa)

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement