Opinion
Beranda » Berita » Utang-Piutang: Janji yang Lebih Berat daripada Batu

Utang-Piutang: Janji yang Lebih Berat daripada Batu

Beban utang digambarkan sebagai batu besar di punggung manusia.
Ilustrasi simbolis utang sebagai beban moral dan spiritual.

Ada yang bilang, utang terasa ringan saat tangan menerima, tetapi berubah jadi batu besar yang menekan dada ketika waktunya membayar. Frasa kunci utang-piutang tidak hanya berkaitan dengan angka di kertas, melainkan juga tentang janji, amanah, serta hubungan manusia dengan Allah. Kitab Mukhtashar Quduri karya Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad al-Qudūrī al-Baghdādī—yang sejak lama dipelajari di pesantren—menegaskan betapa seriusnya urusan ini.

Di warung kopi pinggir jalan, seorang bapak bercerita lirih kepada kawannya,
“Sudah seminggu ini aku dikejar penagih utang. Padahal aku memang ingin bayar, cuma belum ada uangnya.”
Kawannya menepuk pundaknya sambil berucap, “Utang itu, Le, bukan cuma angka. Itu janji yang menunggu ditepati.”

Begitulah, realitas sosial di Indonesia menyuguhkan fenomena utang-piutang yang kerap melahirkan konflik. Kadang ia bahkan meretakkan persahabatan atau merusak hubungan keluarga.

Janji yang Menyisakan Jejak di Langit

Al-Qur’an menegaskan dengan lugas:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji.” (QS. al-Māidah: 1)

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Pesannya jelas: perjanjian, termasuk utang, adalah amanah. Janji itu bukan sekadar catatan di kertas, melainkan ikatan di hadapan Allah.

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

« نَفْسُ المُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ »
“Ruh seorang mukmin tergantung karena utangnya hingga dilunasi untuknya.” (HR. Tirmidzi)

Betapa berat konsekuensinya! Seakan-akan ruh tidak bisa bebas melangkah karena beban janji yang belum terpenuhi.

Hukum yang Menopang Keadilan

Dalam Mukhtashar Quduri, utang-piutang dipahami bukan sekadar transaksi angka, tetapi juga penjaga martabat manusia:

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

« وَالْقَرْضُ مَشْرُوعٌ لِحَاجَةِ النَّاسِ إِلَيْهِ »
“Utang itu disyariatkan karena kebutuhan manusia kepadanya.”

Islam memberi ruang bagi manusia untuk saling membantu lewat utang. Namun, Quduri mengingatkan secara tegas bahwa peminjam wajib mengembalikan sesuai kesepakatan:

« وَيَجِبُ عَلَى الْمُسْتَقْرِضِ رَدُّ مِثْلِهِ »
“Wajib atas orang yang berutang untuk mengembalikan yang semisal dengannya.”

Dengan demikian, utang pada akhirnya bukan transaksi kehilangan, melainkan pertukaran amanah yang harus dijaga.

Wajah Sosial Utang di Negeri Kita

Di kampung, orang sering berkata, “Hidup itu gotong royong, termasuk soal utang.” Betul, namun gotong royong itu kadang berubah menjadi kerikil tajam. Data OJK tahun 2023 mencatat lebih dari 17 juta orang Indonesia terjerat pinjaman online. Banyak dari mereka yang awalnya hanya berniat menutup kebutuhan sehari-hari, tetapi akhirnya justru dikejar bunga mencekik.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Fenomena ini mengingatkan kembali pada pesan Quduri:

« وَيَحْرُمُ الْقَرْضُ الَّذِي يَجُرُّ مَنْفَعَةً »
“Haram hukumnya utang yang mendatangkan keuntungan (tambahan) bagi pemberi pinjaman.”

Sungguh, apa yang diingatkan kitab kuning ratusan tahun lalu kini terasa sangat relevan.

Seorang ibu di pasar pernah berkata dengan getir, “Utang itu bukan sekadar uang, tapi rasa malu yang menempel setiap kali bertemu pemberi pinjaman.” Saya pun terdiam, menyadari betapa dalam luka batin yang ditimbulkan.

Namun, di sisi lain, Islam juga mendorong pemberi pinjaman untuk berlapang dada. Rasulullah ﷺ bersabda:

« مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ لَهُ، أَظَلَّهُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ »
“Barangsiapa memberi tenggang waktu kepada orang yang kesulitan atau menghapuskan sebagian hutangnya, Allah akan menaunginya di bawah naungan-Nya.” (HR. Muslim)

Betapa indah bila kedua belah pihak sama-sama menjaga kelapangan hati.

Utang sebagai Amanah

Utang bukan sekadar angka, melainkan janji. Dan janji adalah amanah yang akan ditagih bukan hanya di dunia, tetapi juga di hadapan Tuhan.

Langkah Praktis

  1. Catat dengan jelas setiap transaksi utang-piutang, sekecil apa pun.

  2. Niatkan sungguh-sungguh untuk melunasi, jangan menunda bila sudah mampu.

  3. Hindari pinjaman berbunga yang jelas mendatangkan mudarat.

  4. Pemberi pinjaman, berlapang dadalah dengan memberi tenggang waktu jika mampu.

  5. Peminjam, jangan menganggap utang sebagai rezeki, melainkan sebagai titipan yang harus dikembalikan.

Pulang ke Diri Sendiri

Akhirnya, kita kembali pada pesan sederhana dari Mukhtashar Quduri:

« وَيُسْتَحَبُّ الْإِشْهَادُ فِي الْقَرْضِ »
“Disunnahkan menghadirkan saksi dalam utang.”

Artinya, utang bukan sekadar urusan dua orang, tetapi jejak sosial yang berpotensi menjadi masalah besar. Menjaga janji dalam utang berarti menjaga keadilan, martabat, dan juga jalan ruhani kita.

Maka mari kita bertanya kepada diri sendiri: Apakah ada janji yang masih menggantung di langit karena utang yang belum kita lunasi?

Semoga Allah menjadikan kita hamba yang amanah, ringan menepati janji, dan diberi kelapangan dalam memberi maupun menerima.

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement