Opinion
Beranda » Berita » Jual-Beli: Kita Sering Lupa Bahwa Tuhan Ikut Transaksi

Jual-Beli: Kita Sering Lupa Bahwa Tuhan Ikut Transaksi

Ilustrasi pedagang pasar tradisional menimbang cabai dengan cahaya religius.
Pedagang pasar menimbang dagangan dengan wajah ikhlas, menggambarkan transaksi sebagai ibadah.

Di pasar tradisional Indonesia, kita sering mendengar kalimat sederhana, “Semoga berkah, ya.” Kalimat itu terdengar sepele, tetapi di baliknya ada doa, ada niat baik, ada pengingat bahwa jual-beli tidak hanya sekadar urusan uang dan barang. Dalam kitab Mukhtashar Quduri karya Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad al-Qudūrī al-Baghdādī, fiqh muamalah dibahas dengan detail, menegaskan bahwa setiap transaksi melibatkan bukan hanya dua pihak manusia, melainkan juga Allah sebagai saksi.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

“التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ”
“Pedagang yang jujur dan amanah kelak akan bersama para nabi, shiddiqin, dan syuhada.” (HR. Tirmidzi)

Kalimat itu seakan mengangkat timbangan di pasar menjadi mihrab, dan etalase toko menjadi ruang ibadah.

Di balik timbangan yang jujur

Kitab Mukhtashar Quduri menegaskan:

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

“وَصِحَّةُ الْبَيْعِ بِالإِيجَابِ وَالْقَبُولِ”
“Jual-beli sah dengan adanya ijab dan qabul.”

Fiqh memandang ijab-qabul bukan sekadar formalitas. Di balik kata “saya jual” dan “saya beli”, tersimpan janji yang diikat oleh Allah. Maka ketika seorang pedagang mengurangi timbangan, sejatinya ia bukan menipu pembeli, melainkan mengkhianati janji dengan Tuhannya.

Fenomena di Indonesia masih sering memperlihatkan kecurangan: timbangan beras diselundupi, minyak goreng dicampur, atau harga dinaikkan saat kebutuhan pokok melonjak. Semua itu membuat kita lupa, bahwa Tuhan ikut menonton transaksi kita.

Saya teringat cerita seorang pedagang sayur di kampung. Ia selalu menambahkan sedikit lebih banyak daripada yang ditimbang. Suatu kali pembeli bertanya, “Bu, ini kok lebih?”

Sambil tersenyum ia menjawab,
“Biar Allah ikut ridha, Nak. Dagangan saya bukan cuma untuk untung, tapi juga untuk tenang.”

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Jawaban itu seperti menampar banyak dari kita yang kadang masih menganggap remeh kejujuran.

Dalam Mukhtashar Quduri, ada keterangan tentang larangan menipu:

“وَلا يَجُوزُ بَيْعُ الْمَغْصُوبِ وَلا الْمَجْهُولِ”
“Tidak sah menjual barang yang digasak (dirampas) atau yang tidak jelas (tidak diketahui keadaannya).”

Artinya, transparansi adalah ruh jual-beli. Menyembunyikan cacat barang sama saja menanam racun dalam rezeki.

Tuhan hadir di setiap akad

Al-Qur’an mengingatkan dengan tegas:

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

﴿وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ﴾ (الأنعام: ١٥٢)
“Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.” (QS. Al-An‘ām: 152)

Ayat ini bukan hanya regulasi ekonomi, melainkan perintah spiritual. Seorang pembeli yang pulang dengan hati puas dan senyum lega adalah cermin bahwa Allah hadir di transaksi itu.

Mukhtashar Quduri juga menegaskan:

“وَلا يَجُوزُ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَهُ”
“Tidak sah menjual sesuatu yang tidak dimiliki.”

Betapa relevan dengan fenomena hari ini: praktik jual angin di dunia online, janji palsu pre-order tanpa barang, hingga investasi bodong. Semua kembali pada satu hal: kita sering lupa bahwa Tuhan ikut transaksi.

Ketika keuntungan bertemu keberkahan

Laba besar tanpa berkah hanya melahirkan resah. Tapi keuntungan kecil dengan kejujuran justru menumbuhkan damai.

Dialog sederhana di warung kopi kampung menggambarkan ini:

“Untungmu hari ini berapa, Pak?”
“Sedikit, tapi Alhamdulillah, bisa tidur nyenyak.”

Jawaban yang tampak sederhana, tetapi mengandung makna dalam. Keuntungan sejati bukan angka, melainkan keberkahan yang membuat hati tentram.

Setiap uang yang masuk adalah saksi. Ia bisa menjadi doa, bisa juga menjadi kutukan.
Transaksi adalah ibadah. Ijab qabul bukan sekadar formalitas, melainkan ikatan suci.
Keberkahan lebih berharga dari keuntungan. Karena keberkahan menghidupkan hati, bukan sekadar menambah saldo.

Jual-beli sebagai jalan pulang

Pada akhirnya, jual-beli bukan semata urusan dunia. Ia adalah salah satu jalan pulang kepada Allah.

Bayangkan bila setiap pedagang, pembeli, distributor, hingga pemilik pasar sadar bahwa Tuhan ikut transaksi. Barangkali pasar-pasar kita akan menjadi masjid kedua, tempat orang bukan hanya mencari kebutuhan, tapi juga menemukan ketenangan.

Mari kita berdoa: Ya Allah, jadikan setiap transaksi kami jalan menuju keberkahan-Mu. Ajari kami agar tidak silau dengan untung, tetapi rindu pada ridha-Mu. Aamiin.

Lalu, pertanyaan untuk kita renungkan: Apakah setiap rupiah yang kita dapat hari ini, sudah benar-benar Allah restui?

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement