Setiap tahun, jutaan manusia berbondong menuju Tanah Suci. Mereka menyebutnya haji, sebuah perjalanan yang secara lahiriah tampak sebagai rihlah lintas negara. Namun, sejatinya ia adalah perjalanan pulang ke dalam diri. Dalam Mukhtashar Quduri karya Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad al-Qudūrī al-Baghdādī, haji dijelaskan sebagai kewajiban syar‘i. Akan tetapi, maknanya jelas melampaui sekadar ritual.
Di Indonesia, berita tentang antrean panjang keberangkatan haji sering menghiasi media. Banyak orang menabung puluhan tahun, menjual sawah, bahkan menggadaikan perhiasan demi menunaikan rukun Islam kelima. Namun demikian, sebuah pertanyaan kecil selalu berbisik: apakah perjalanan itu hanya sebatas ziarah geografis, atau sungguh-sungguh perjalanan batin?
Tanah Suci sebagai Panggilan Jiwa
Dalam Mukhtashar Quduri disebutkan:
“وَالْحَجُّ فَرْضٌ مَرَّةً فِي الْعُمْرِ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ بَالِغٍ عَاقِلٍ مُسْتَطِيعٍ”
“Haji adalah kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap Muslim yang baligh, berakal, dan mampu.”
Dasar kewajiban ini juga ditegaskan Al-Qur’an:
﴿وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا﴾ (Āli ‘Imrān: 97)
“Dan kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.”
Tampak sederhana: bila mampu, berangkatlah. Tetapi jika ditelusuri lebih jauh, “mampu” di sini tidak hanya berarti ongkos dan fisik. Ia juga menuntut kesiapan jiwa. Betapa banyak orang memiliki kemampuan finansial, namun pulang tanpa perubahan berarti.
Perjalanan Tubuh yang Menuntun Hati
Seorang kawan saya, seorang sopir angkot, bercerita usai berhaji. Katanya, “Di sana saya belajar, ternyata Allah tidak butuh saya. Justru saya yang butuh Allah. Ka’bah itu diam, tapi hati saya yang berputar.”
Kalimat itu menampar. Haji, pada akhirnya, mengajarkan tentang pusat gravitasi: Ka’bah hanya simbol, sedangkan yang sejatinya mengelilingi adalah hati manusia.
Dalam Mukhtashar Quduri juga dijelaskan mengenai ihram:
“وَالإِحْرَامُ أَنْ يُلَبِّيَ بِالْحَجِّ أَوْ الْعُمْرَةِ مِنَ الْمِيقَاتِ”
“Ihram adalah berniat dengan haji atau umrah dari miqat yang telah ditentukan.”
Maka, ihram bukan hanya pakaian putih tanpa jahitan. Lebih dari itu, ia menjadi simbol pelepasan identitas duniawi. Seorang presiden, pedagang, atau buruh—semuanya sama di hadapan Allah. Seolah-olah Allah berfirman: “Lepaskan segala topengmu, datanglah sebagaimana engkau diciptakan.”
Melempar Batu, Melempar Ego
Momen melempar jumrah sering kali menjadi perbincangan jamaah. Dalam Mukhtashar Quduri dijelaskan:
“وَيَرْمِي الْجِمَارَ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ”
“Dan ia melempar jumrah pada hari-hari tasyriq dengan tujuh butir kerikil.”
Kerikil kecil tampak remeh, namun sejatinya berat. Sebab yang dilempar bukan sekadar simbol setan, melainkan juga ego, kesombongan, nafsu, serta keinginan yang membelenggu.
Seorang jamaah asal kampung pernah bercanda, “Waktu melempar jumrah, saya bayangkan muka bos saya.” Semua tertawa. Akan tetapi, di balik kelakar itu, tersimpan kebenaran: kita sering kali menaruh wajah-wajah dunia pada simbol-simbol akhirat.
Pulang yang Sebenarnya Bukan ke Rumah
Haji ditutup dengan thawaf wada’, perpisahan dengan Baitullah. Banyak jamaah menangis, seakan merasa ditinggalkan. Namun, sebenarnya haji bukan soal meninggalkan Ka’bah, melainkan membawa Ka’bah ke dalam hati.
Renungan ini diperkuat sabda Nabi ﷺ:
“الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ”
“Haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga.” (HR. Bukhari & Muslim)
Maka, pulang dari haji seharusnya tidak hanya membawa oleh-oleh air zamzam, kurma, atau tasbih. Lebih jauh dari itu, pulanglah dengan hati yang lebih jernih, lebih lapang, serta lebih siap mengasihi sesama.
Langkah Praktis
-
Sebelum berangkat: persiapkan hati, bukan hanya logistik.
-
Saat berhaji: jadikan setiap rukun sebagai simbol perubahan batin.
-
Setelah pulang: rawat semangat haji dalam keseharian—sabar, ikhlas, rendah hati.
Dengan demikian, haji menjadi perjalanan pulang ke Tanah Suci sekaligus pulang ke kesucian hati.
Penutup
Mari kita berdoa: Ya Allah, jadikan setiap langkah haji kami—atau kerinduan kami yang belum sampai—sebagai perjalanan pulang ke dalam diri. Bimbing kami agar tak hanya mengenakan pakaian ihram di tubuh, tetapi juga di hati. Aamiin.
Lalu saya ingin bertanya, baik untuk Anda maupun untuk diri saya sendiri: Apakah kita sudah benar-benar siap untuk pulang, bukan hanya ke Tanah Suci, melainkan juga ke dalam diri kita sendiri?
* Sugianto al-Jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
