Kedudukan dan puji-pujian sering tampak manis, bagai angin sepoi yang menyejukkan. Namun, dalam pandangan Imam Ibn Ḥibbatillāh al-Makkī dalam al-Tawbīkh, keduanya bisa menjelma angin kencang yang membawa debu, sehingga mata menjadi buta melihat kebenaran. Dengan tegas, beliau menulis bahwa hati yang terpaut pada sanjungan akan kehilangan rasa ikhlas.
Pujian sebagai Candu
Di Indonesia, fenomena ini terasa nyata. Dari pejabat yang mengejar jabatan demi gengsi, hingga selebritas media sosial yang rela kehilangan diri demi “likes” dan komentar manis. Memang benar, puji-pujian bagaikan candu. Sekali meneguk, ia memanggil tegukan berikutnya. Namun pada akhirnya, yang tersisa hanyalah haus tanpa ujung.
Bayangan yang Memikat, Tapi Menipu
Imam Ibn Ḥibbatillāh al-Makkī mengingatkan:
مَنْ فَرِحَ بِمَدْحِ النَّاسِ غَفَلَ عَنْ ذَمِّ اللهِ
“Barangsiapa gembira dengan pujian manusia, ia lalai dari celaan Allah.”
Betapa halus racunnya. Di satu sisi, pujian tampak mengangkat. Namun di sisi lain, ia menipu. Kita mungkin merasa tinggi di mata manusia, padahal rendah di sisi Allah.
Peringatan dari Al-Qur’an
Al-Qur’an pun mengingatkan:
فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ (النجم: 32)
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia-lah yang paling tahu siapa yang bertakwa.”
Dengan demikian, manusia tidak punya hak untuk menilai dirinya suci. Allah sajalah yang mengetahui isi hati dan ketakwaan.
Sebuah Dialog Imajiner
Dalam sebuah percakapan imajiner, seorang murid bertanya:
“Guru, apakah salah jika aku senang dipuji?”
Sang guru menjawab:
“Tidak salah merasa senang. Tetapi yang salah ialah ketika hatimu bergantung pada itu. Pujian seperti angin, bila kau kejar, ia hanya meninggalkan debu di matamu.”
Pandangan Orang Berakal
Imam al-Makkī menulis:
الْمَحْبُوبُ عِنْدَ الْجُهَّالِ مَذْمُومٌ عِنْدَ الْعُقَلَاءِ
“Apa yang dicintai orang-orang jahil (pujian dan sanjungan), justru tercela di sisi orang-orang berakal.”
Dengan kata lain, sanjungan yang dianggap indah oleh orang awam justru tampak hina di mata para bijak.
Cermin dari Kehidupan Kita
Di kampung-kampung, seorang tokoh sering dielu-elukan. Sementara itu, di kota, seorang selebgram dihujani komentar “kamu keren banget!”. Namun pertanyaannya, berapa lama cahaya itu bertahan? Berita baru datang, sanjungan pindah ke wajah lain, dan hati pun ditinggalkan sepi.
Selain itu, riset psikologi sosial (Harvard, 2018) menunjukkan bahwa ketergantungan pada validasi eksternal meningkatkan risiko depresi dan menurunkan kepuasan hidup. Dengan kata lain, sanjungan yang dikejar justru menimbulkan kekosongan batin.
Imam al-Makkī menulis lagi:
مَنْ طَلَبَ الْمَنْزِلَةَ عِنْدَ النَّاسِ سَقَطَ عِنْدَ اللهِ
“Siapa yang mencari kedudukan di sisi manusia, ia akan jatuh di sisi Allah.”
Kalimat itu menusuk hati. Oleh karena itu, setiap orang perlu bertanya pada dirinya: apakah aku beramal demi Allah atau demi tepuk tangan?
Hakikat Pujian
Pujian adalah cermin retak: ia memantulkan gambarmu, tapi tak pernah utuh.
Kedudukan di mata manusia tak lebih dari bayangan yang hilang saat matahari bergeser.
Ikhlas, sebaliknya, merupakan kemerdekaan sejati dari penjara sanjungan.
Langkah Praktis
-
Pertama, latih niat sebelum amal: tanyakan pada diri, “untuk siapa aku melakukan ini?”
-
Kedua, belajar menolak pujian: jawab dengan doa, “Alhamdulillah, semua dari Allah.”
-
Ketiga, cari ruang sepi: amal tersembunyi menumbuhkan keikhlasan.
-
Keempat, ingat kefanaan: pujian manusia cepat hilang, sementara ridha Allah abadi.
Kedudukan dan puji-pujian hanyalah angin yang membawa debu. Jika kita membiarkannya, mata hati menjadi buta. Namun bila kita menundukkan kepala dan mengikat niat pada Allah, debu itu akan jatuh ke tanah, lalu pandangan hati kita kembali jernih.
Doa Penutup
Rasulullah ﷺ berdoa:
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي فِي عَيْنِي صَغِيرًا وَفِي أَعْيُنِ النَّاسِ كَبِيرًا
“Ya Allah, jadikanlah aku kecil di mataku sendiri, dan besar di mata manusia.” (HR. al-Bayhaqī)
Akhirnya, doa ini mengajarkan keseimbangan: rendah hati di hadapan Allah, mulia di hadapan sesama. Semoga kita terhindar dari jebakan pujian, dan hanya mencari ridha Allah yang tak pernah pudar.
Apakah kita siap melepas candu sanjungan, demi keikhlasan yang murni?
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
