Opinion
Beranda » Berita » Riya’ adalah Cermin Retak: Wajahmu Tak Pernah Puas Menatap Dirinya

Riya’ adalah Cermin Retak: Wajahmu Tak Pernah Puas Menatap Dirinya

Wajah manusia dalam cermin retak, simbol riya’ dan kehilangan keikhlasan
Cermin retak sebagai simbol riya’, memperlihatkan wajah manusia yang tidak utuh, terbelah antara cahaya ikhlas dan

Sejak langkah pertama, mari kita resapi: riya’ adalah cermin retak yang memantulkan wajah kita, tapi tak pernah utuh. Dalam kitab al-Tawbīkh, Imam Ibn Ḥibbatillāh al-Makkī menegur manusia yang terjebak dalam pencitraan spiritual. Mereka beribadah bukan untuk Allah, melainkan untuk tepuk tangan manusia.

Beliau menulis:

«الرياء شرك خفي، يحبط العمل كما تأكل النار الحطب»
Riya’ adalah syirik tersembunyi, ia menghapus amal sebagaimana api melahap kayu kering.

Riya’ bagaikan mengejar bayangan, wajah tak pernah puas menatap dirinya sendiri. Semakin dilihat, semakin retak.

Senyum yang Tak Tulus di Balik Tirai

Pernahkah kau bertemu seseorang yang tampak sibuk beramal, namun getarannya hampa? Di masjid-masjid Indonesia, terkadang kita mendengar orang berbisik, “MasyaAllah, dia rajin sekali.” Tetapi jika ditelisik, sering kali amal itu hanya topeng sosial.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Imam al-Makkī menulis:

«من عمل للناس ضاع عند الله، ومن عمل لله كفاه الله الناس»
Barangsiapa beramal karena manusia, amalnya hilang di sisi Allah. Barangsiapa beramal karena Allah, maka Allah mencukupkan urusan manusia darinya.

Bukankah kita sering melihat postingan amal di media sosial? Menolong fakir miskin sambil memastikan kamera merekam. Riya’ hadir halus, seperti bayangan senja yang masuk tanpa suara.

Wajah yang Hilang di Balik Cermin

Riya’ adalah haus yang tak pernah kenyang. Semakin ditatap, semakin kabur. Imam Ibn Ḥibbatillāh al-Makkī menegaskan:

«المرائي يطلب بعمله حظاً عاجلاً، فيفوته الأجر الآجل»
Orang yang berbuat riya’ mencari keuntungan cepat, maka ia kehilangan pahala abadi.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Riset psikologi sosial menyebutkan, orang yang sangat bergantung pada validasi eksternal akan mengalami tingkat stres dan kecemasan lebih tinggi (Deci & Ryan, Self-Determination Theory, 2000). Artinya, riya’ bukan hanya menggerogoti akhirat, tetapi juga merusak kesehatan jiwa di dunia.

“Aku ingin orang melihatku sebagai orang saleh.”
“Apakah Allah belum cukup sebagai saksi?”
“Tapi aku butuh dipuji…”
“Lalu untuk siapa kau shalat tadi, untuk Tuhan atau untuk cermin retak itu?”

Al-Qur’an telah memperingatkan:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ۝ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ۝ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (الماعون: 4–6)
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari shalatnya, yang berbuat riya’.”

Ayat ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk membangunkan. Shalat yang lahirnya indah tapi hatinya kering, hanyalah cermin retak.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Saat engkau beramal, tanyakan dalam hati: “Jika tak ada yang melihat, apakah aku tetap melakukannya?”

Jaga momen pribadi bersama Allah—amal yang tak pernah diketahui siapapun.

Ingat sabda Nabi ﷺ:

«إن الله لا ينظر إلى صوركم وأموالكم ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم»
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)

Amal yang Tidak Butuh Sorotan

Imam al-Makkī menulis kalimat yang menembus hati:

«من سر عمله نفعه، ومن سره رياؤه أضرّه»
Barangsiapa amalnya tersembunyi, amal itu bermanfaat baginya. Barangsiapa riya’nya tersembunyi, ia akan mencelakakannya.

Di sebuah desa, saya mengenal seorang kakek yang tiap malam bangun untuk shalat tahajud. Tidak ada yang tahu, kecuali satu kali listrik padam dan lampu minyak di rumahnya tampak menyala dari kejauhan. Amal tersembunyi seperti itu menumbuhkan keindahan batin.

Sebaliknya, dunia modern sering mendorong kita tampil, memperlihatkan segalanya. Padahal, amal yang paling murni adalah yang hanya Allah lihat.

Jalan Menuju Cermin yang Jernih

Riya’ adalah penyakit halus, tapi bisa diobati dengan keikhlasan. Ilmu tasawuf mengajarkan muraqabah—kesadaran bahwa Allah selalu hadir. Ilmu psikologi menyebutnya intrinsic motivation: melakukan sesuatu karena makna, bukan karena pujian. Dua bahasa berbeda, namun maknanya satu: kembali kepada hati yang jernih.

Riya’ adalah cermin retak. Semakin kau pandangi, semakin kau kehilangan wajahmu sendiri. Maka, jangan biarkan hidupmu menjadi bayangan yang hancur karena lapar pujian.

Ya Allah, bersihkan hati kami dari riya’. Jadikan amal kami murni untuk-Mu, tidak bercampur dengan pandangan manusia.

Lalu kini, pertanyaan itu kembali padamu: apakah kau masih menatap cermin retak, ataukah mulai mencari cahaya wajah sejati?

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement