Opinion
Beranda » Berita » Ikhlas: Memberi Tanpa Mengharap Balas

Ikhlas: Memberi Tanpa Mengharap Balas

Ilustrasi ikhlas memberi tanpa mengharap balas, pria berzikir dalam cahaya masjid.
Ilustrasi suasana ikhlas, manusia dalam keheningan spiritual.

Ikhlas bukan sekadar kata di bibir. Ia hidup sebagai rahasia terdalam dalam jiwa. Dalam al-Arba‘īn fī Uṣūl al-Dīn, Imam al-Ghazālī menegaskan bahwa ikhlas muncul sebagai amalan hati yang sangat halus. Sering kali orang sulit membedakannya dari riya. Terlebih lagi, di era sosial media yang penuh godaan pujian dan “likes”, setiap orang harus berjuang keras menjaga keikhlasan.

Frasa kunci ikhlas memberi tanpa mengharap balas terdengar sederhana. Namun demikian, praktiknya menuntut pergumulan panjang. Misalnya, kita melihat masyarakat Indonesia yang berbagi sembako saat bencana, bergotong royong di kampung, atau memberi donasi diam-diam di masjid. Meski begitu, bayangan ego kerap muncul: “Semoga ada yang tahu, semoga ada yang memuji.”

Imam al-Ghazālī menulis:

وَالْإِخْلَاصُ أَنْ يَكُونَ الْعَمَلُ لِلَّهِ تَعَالَى خَالِصًا لَا يُشَارِكُهُ فِيهِ غَيْرُهُ
Ikhlas berarti amal perbuatan hanya tertuju kepada Allah Ta‘ala, tanpa sekutu lain di dalamnya.

Jejak Sunyi yang Menguatkan Jiwa

Dalam keseharian, kita menemukan banyak kisah menyentuh. Seorang ibu di desa kecil Trenggalek, misalnya, setiap subuh memasak bubur untuk anak-anak yatim. Ia melakukannya tanpa menyebut namanya. Sambil tersenyum, ia berkata, “Saya hanya takut kalau Allah menanyakan, apa yang sudah kamu berikan dari rezeki-Ku?”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Kisah itu sejalan dengan sabda Nabi ﷺ:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya amal bergantung pada niatnya. (HR. Bukhari & Muslim)

Dengan demikian, sebesar apa pun amal, bila niatnya tidak ikhlas, amal itu lenyap seperti bayangan tertiup angin.

Pernahkah hati Anda berdialog seperti ini?

  • “Mengapa aku bersedekah hari ini?”

    Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

  • “Agar orang lain melihatku dermawan.”

  • “Tapi bukankah aku ingin ridha Allah?”

  • “Jika Allah ridha, mengapa aku masih menunggu tepuk tangan manusia?”

Dialog batin semacam itu menunjukkan bahwa ikhlas tidak datang instan. Ia hadir sebagai jalan panjang yang penuh muhasabah.

Bayangan Ego yang Membisik

Imam al-Ghazālī menulis dalam al-Arba‘īn:

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

وَالرِّيَاءُ شِرْكٌ خَفِيٌّ يَسْرِي فِي الْقَلْبِ سَرَيَانَ الدَّمِ فِي الْعُرُوقِ
Riya merupakan syirik tersembunyi. Ia meresap ke dalam hati sebagaimana darah mengalir di urat.

Orang yang menolong hanya demi pujian sejatinya menukar keabadian dengan fatamorgana. Ia menanam benih di tanah gersang. Benih itu tidak tumbuh dan tidak berbuah.

Sebaliknya, ikhlas hadir sebagai cahaya yang menyembuhkan luka ego. Riset psikologi sosial (Deci & Ryan, 2017, tentang Self-Determination Theory) membuktikan bahwa motivasi intrinsik—dorongan bertindak karena makna, bukan pujian—lebih tahan lama dan menumbuhkan kepuasan batin. Jadi, hakikat ikhlas yang Islam ajarkan sejak awal: bekerja, beramal, dan memberi dengan tulus.

Al-Qur’an pun menegaskan:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Allah memerintahkan manusia untuk beribadah dengan ikhlas menegakkan agama. (QS. Al-Bayyinah: 5)

Ikhlas ibarat air bening. Air itu tidak terlihat, tetapi tetap menghidupkan. Begitu bercampur sedikit kotoran riya, air menjadi keruh. Karena itu, hanya hati yang selalu berzikir yang mampu menjaga kejernihannya.

Langkah Praktis

Untuk menumbuhkan ikhlas, lakukan hal-hal berikut:

  1. Tanya diri sebelum beramal: Untuk siapa aku melakukan ini?

  2. Sembunyikan sebagian amal: Biarkan hanya Allah yang mengetahuinya.

  3. Lawan bisikan riya: Saat hati menunggu pujian, segera ucapkan istighfar.

  4. Biasakan syukur: Ingatlah bahwa Allah-lah yang memberi kemampuan beramal.

Pelukan Sunyi di Ujung Perjalanan

Imam al-Ghazālī menutup penjelasannya dengan kalimat yang mengguncang hati:

وَالْإِخْلَاصُ سِرٌّ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ لَا يَطَّلِعُ عَلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكْتُبَهُ، وَلَا شَيْطَانٌ فَيُفْسِدُهُ
Ikhlas merupakan rahasia antara hamba dan Tuhannya. Tidak ada malaikat yang mencatatnya, dan tidak ada setan yang mampu merusaknya.

Kalimat itu menuntun kita untuk menaruh amal di ruang paling sunyi: hati yang hanya berharap kepada Allah.

Pada akhirnya, ikhlas menjadi pelukan sunyi yang menenangkan. Oleh karena itu, di tengah dunia yang bising oleh citra dan pencitraan, mari belajar memberi tanpa berharap balasan, sebab balasan terbaik hanya datang dari-Nya.

اللهم اجعل أعمالنا خالصة لوجهك الكريم، ونجنا من الرياء والسمعة

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement