Opinion
Beranda » Berita » Riya dan Ujub: Menyembuhkan Luka Ego

Riya dan Ujub: Menyembuhkan Luka Ego

Ilustrasi filosofis riya dan ujub sebagai bayangan ego, berlawanan dengan cahaya ikhlas.
Ilustrasi reflektif tentang riya dan ujub sebagai bayangan ego yang menipu, berlawanan dengan cahaya ikhlas yang menenangkan.

Di balik wajah yang tersenyum dan doa yang terucap, ada bisikan halus yang kadang tak terdengar. Ia bernama riya dan ujub. Keduanya seperti luka ego yang tersembunyi: tampak kecil, namun bila dibiarkan bisa meracuni hati. Imam al-Ghazālī dalam al-Arba‘īn fī Uṣūl al-Dīn menyingkap tabir sifat ini dengan lembut namun tajam, mengingatkan kita bahwa penyakit hati jauh lebih berbahaya daripada penyakit tubuh.

Bayangan di Balik Amal

Manusia sering melakukan amal saleh. Shalat, puasa, sedekah, mengajar, bahkan menulis. Namun di balik itu, terkadang muncul dorongan halus: ingin dipuji, ingin dikenal, ingin dianggap. Imam al-Ghazālī menulis:

“الرِّياءُ شِركٌ خَفِيٌّ يَسري في النُّفوسِ كَسَريانِ السُّمِّ في العُروق”
“Riya adalah syirik tersembunyi yang merayap dalam jiwa seperti racun yang mengalir di pembuluh darah.”

Fenomena ini terasa nyata dalam realitas Indonesia hari ini. Media sosial sering menjadi panggung riya modern. Seseorang bersedekah sambil direkam, atau beribadah sambil menunggu jumlah “likes”. Apa yang seharusnya murni untuk Allah, justru ternodai oleh tatapan manusia.

Ego sering membuat kita terjebak pada perasaan ujub—merasa lebih baik, lebih saleh, lebih berharga daripada orang lain. Padahal, Imam al-Ghazālī mengingatkan:

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

“العُجبُ يَستَعظِمُ العَبدُ فيهِ نَفسَهُ ويَستَصغِرُ مَن سِواه”
“Ujub adalah ketika seorang hamba membesarkan dirinya dan meremehkan orang lain.”

Di sebuah pengajian kampung, saya pernah menyaksikan seorang jamaah yang rajin hadir setiap malam. Ia mengaku, “Saya paling konsisten dibanding yang lain.” Ucapannya terdengar ringan, tapi menyisakan rasa getir. Bukankah konsistensi itu seharusnya hadiah dari Allah, bukan piala untuk memandang rendah sesama?

Seorang santri: “Ustadz, bagaimana saya tahu kalau ibadah saya sudah bercampur riya?”
Ustadz: “Jika hatimu menoleh ke manusia, maka amalmu sudah tidak lagi sepenuhnya untuk Allah.”

Ucapan sederhana ini menggema seperti gema di gua hati.

Al-Ghazālī pun berkata:

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

“مَن راقَبَ النّاسَ فَقَد عَبَدَهُم، ومَن أخلَصَ للهِ فَقَد حَرَّرَ نَفسَهُ”
“Barangsiapa memperhatikan manusia, maka ia telah menyembah mereka; dan barangsiapa ikhlas kepada Allah, maka ia telah memerdekakan dirinya.”

Luka Ego yang Menyakitkan

Riya dan ujub bukan sekadar dosa batin. Ia adalah luka ego yang membuat jiwa rapuh. Dalam riset psikologi modern, orang yang terlalu fokus pada validasi eksternal rentan mengalami stres, kecemasan, bahkan depresi. Sebaliknya, mereka yang berorientasi pada makna batin dan keikhlasan cenderung lebih tenang, resilien, dan bahagia (Ryan & Deci, Self-Determination Theory, 2017).

Maka, jalan penyembuhan luka ego ini bukan dengan menghapus amal, melainkan menyucikan niat.

Apabila manusia sibuk melihat kita, jangan lupa bahwa Allah selalu lebih dekat dari urat leher.

Langkah Praktis Menyembuhkan Riya dan Ujub

  1. Periksa niat sejak awal. Tanyakan: “Untuk siapa aku melakukan ini?”
  2. Sembunyikan sebagian amal. Biarkan ada ibadah yang hanya Allah tahu.
  3. Ingat kelemahan diri. Semua amal hanyalah anugerah, bukan prestasi pribadi.
  4. Perbanyak istighfar. Mohon ampun atas amal yang ternodai.
  5. Bergaul dengan orang ikhlas. Hati yang jernih menular seperti aroma bunga.

Cahaya di Ujung Jalan

Pada akhirnya, hanya Allah yang menjadi tujuan. Imam al-Ghazālī menutup pesannya dengan kalimat lembut yang menenangkan:

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

“الإخلاصُ سرٌّ بينَ العَبدِ وربِّهِ لا يَطَّلِعُ عليهِ مَلَكٌ فيَكتُبُه، ولا شيطانٌ فيُفسِدُه”
“Ikhlas adalah rahasia antara hamba dan Tuhannya; tidak ada malaikat yang menuliskannya, tidak ada setan yang merusaknya.”

Betapa indah jika amal kita kembali pada keheningan ini—murni, tanpa bayangan riya, tanpa aroma ujub.

Riya dan ujub adalah luka ego yang tak terlihat, tetapi bisa disembuhkan dengan ikhlas. Semoga hati kita dijauhkan dari pandangan manusia, dan dituntun hanya pada pandangan Allah.

“Ya Allah, sucikan amal kami dari riya, jauhkan hati kami dari ujub, dan tuntun kami pada jalan ikhlas hingga akhir hayat. Amin.”

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement