Riya’ adalah bayangan tipis yang sering tak kita sadari. Ia muncul di balik cahaya amal, seolah ikut bersinar, padahal hanya menipu. Dalam kitab Qūt al-Qulūb, Abu Thalib al-Makki menempatkan riya’ sebagai penyakit hati yang berbahaya, karena mampu menghapus keikhlasan yang menjadi ruh ibadah.
Abu Thalib al-Makki, ulama besar kelahiran Makkah sekitar abad ke-4 Hijriah (338 H/948 M), hidup pada masa peralihan ketika Baghdad menjadi pusat ilmu. Karyanya, Qūt al-Qulūb, adalah ensiklopedia tasawuf awal yang membahas tentang hati, amal, dan perjalanan menuju Allah. Beliau wafat pada 386 H/996 M, meninggalkan warisan ilmu yang hingga kini masih menjadi rujukan.
Cahaya yang Terkotori Bayangan
Di tengah kehidupan modern Indonesia, riya’ bisa muncul dalam bentuk yang halus. Amal ibadah dipamerkan di media sosial, sedekah difoto agar mendapat pujian, atau kebaikan diceritakan dengan detail supaya terlihat lebih mulia. Padahal, cahaya amal yang seharusnya murni, bisa redup karena bayangan riya’.
Abu Thalib menuliskan:
الرِّيَاءُ شِرْكٌ خَفِيٌّ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
“Riya’ adalah syirik kecil yang tersembunyi, ia memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”
Maknanya jelas: amal yang dikerjakan demi pandangan manusia, meski tampak bercahaya, pada hakikatnya habis tanpa bekas di hadapan Allah.
Seorang pemuda berkata dalam hatinya setelah bersedekah di depan banyak orang:
Hati: “Apakah engkau memberi karena Allah atau karena ingin dipuji?”
Diri: “Aku hanya ingin mereka tahu agar termotivasi.”
Hati: “Atau engkau sebenarnya ingin dipuji, lalu motivasi hanyalah alasan?”
Dialog batin ini sering kita alami. Itulah tanda betapa tipisnya batas antara ikhlas dan riya’.
Allah memperingatkan dalam firman-Nya:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari shalatnya, dan mereka yang berbuat riya’.” (QS. Al-Ma’un: 4–6)
Bayangan yang Menjadi Belenggu
Abu Thalib juga menulis:
مَنْ طَلَبَ بِعَمَلِهِ غَيْرَ وَجْهِ اللَّهِ، حُجِبَ قَلْبُهُ عَنْ نُورِ الْإِخْلَاصِ
“Siapa yang dengan amalnya mencari selain wajah Allah, hatinya akan terhalang dari cahaya ikhlas.”
Hidup tanpa ikhlas ibarat berjalan dalam lorong panjang dengan lilin kecil yang tertiup angin. Riwayat amal tampak panjang, tapi cahayanya redup, tak mampu menerangi perjalanan.
Fenomena sosial di negeri ini memperlihatkan bagaimana riya’ menjelma: lomba-lomba kebaikan yang lebih menonjolkan panggung daripada niat, sedekah yang diiringi kamera, bahkan doa yang ditulis panjang di status media sosial agar terlihat saleh.
Riya’ adalah bayangan amal, ia tampak mengikuti cahaya, tapi tidak pernah memberi terang. Ikhlas adalah cahaya sejati, meski tak terlihat orang, Allah Maha Mengetahui. Hati perlu terus diawasi, sebab niat bisa berubah sehalus helai rambut.
Riset psikologi spiritual (Journal of Religious Health, 2020) menunjukkan bahwa praktik ibadah dengan motivasi internal (ikhlas) lebih meningkatkan kebahagiaan batin dibanding motivasi eksternal (pujian sosial). Ilmu modern seakan membenarkan pesan klasik tasawuf: ikhlas menyelamatkan jiwa dari kerapuhan sosial.
Abu Thalib mengingatkan:
الْعَمَلُ بِغَيْرِ نِيَّةٍ صَالِحَةٍ لَا يَنْفَعُ صَاحِبَهُ، وَإِنْ كَثُرَ
“Amal tanpa niat yang benar tidak akan bermanfaat bagi pelakunya, meski banyak jumlahnya.”
Menjaga Amal dari Bayangan Riya’
- Periksa niat sebelum amal – tanyakan kepada hati: “Untuk siapa aku melakukan ini?”
- Sembunyikan sebagian amal – tidak semua harus terlihat orang.
- Perbanyak doa ikhlas – sebagaimana doa Nabi: “Allahumma inni a‘ūdzu bika an usyrika bika wa ana a‘lam, wa astaghfiruka limā lā a‘lam.”
- Ingat kefanaan pujian manusia – pujian cepat berlalu, sementara ridha Allah abadi
Riya’ hanyalah bayangan, sedangkan ikhlas adalah matahari. Bayangan hilang bersama waktu, tetapi matahari tetap menyinari bumi. Semoga Allah menjauhkan hati kita dari riya’ dan meneguhkan langkah kita dalam keikhlasan.
اللَّهُمَّ طَهِّرْ قُلُوبَنَا مِنَ الرِّيَاءِ وَاجْعَلْ أَعْمَالَنَا خَالِصَةً لِوَجْهِكَ الْكَرِيمِ
Ya Allah, sucikan hati kami dari riya’, dan jadikan amal kami tulus hanya karena-Mu.
Apakah kita siap menjaga amal agar tetap bercahaya, meski tanpa sorot mata manusia?
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
