Opinion
Beranda » Berita » Ridha Itu Matahari, Menyinari Tanpa Memilih

Ridha Itu Matahari, Menyinari Tanpa Memilih

Matahari ridha menyinari pedesaan Indonesia
Cahaya matahari keemasan menyinari desa, simbol ridha yang menyapa semua tanpa membedakan

Ridha adalah cahaya yang menenangkan hati, seakan matahari yang menyinari tanpa memilih siapa yang akan menerima hangatnya. Dalam kitab Qūt al-Qulūb karya Abu Thalib al-Makki, ridha ditempatkan sebagai salah satu maqam tertinggi dalam perjalanan ruhani. Abu Thalib, seorang ulama besar abad ke-4 Hijriah, lahir di Makkah sekitar tahun 338 H/948 M dan wafat pada 386 H/996 M di Baghdad. Karyanya menjadi rujukan penting dalam dunia tasawuf klasik, memadukan keindahan spiritual dengan kedalaman ilmiah.

Beliau menekankan bahwa ridha bukan sekadar pasrah, melainkan menerima dengan lapang dada segala ketentuan Allah. Tidak ada rasa iri, tidak ada keluh kesah berlebihan, hanya ada keyakinan bahwa di balik setiap peristiwa, tersimpan hikmah.

Cahaya yang Lembut, Menembus Kegelisahan

Hidup di Indonesia hari ini penuh dengan kontradiksi: kemajuan teknologi yang cepat, tetapi di sisi lain meningkat pula kecemasan sosial. Anak muda sibuk mengejar validasi di media sosial, orang tua gelisah memikirkan biaya hidup, petani resah karena harga hasil panen tidak menentu.

Di tengah riuh itu, ridha menjadi lentera. Dalam Qūt al-Qulūb, Abu Thalib menuliskan:

الرِّضَا أَنْ يَسْتَوِيَ عِنْدَ الْعَبْدِ الْمَنْعُ وَالْعَطَاءُ

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

“Ridha adalah ketika bagimu sama saja antara diberi atau ditahan.”

Maknanya, jiwa yang ridha tidak diikat oleh untung-rugi dunia. Ia tetap tenang walau rezeki seret, dan tetap bersyukur walau nikmat datang deras.

Ketika Doa dan Air Mata Bertemu

Suatu sore di mushalla kecil, seorang bapak buruh tani duduk dengan wajah letih. Ia berkata kepada temannya:

Bapak A: “Kenapa ya, doa saya seolah tak pernah dijawab?”
Bapak B: “Mungkin jawabannya bukan yang kau mau, tapi yang kau perlu.”
Bapak A: (terdiam, matanya basah) “Mungkin itu yang dinamakan ridha…”

Dialog sederhana ini adalah potret banyak jiwa di negeri kita. Ridha bukan berarti berhenti berdoa, melainkan percaya bahwa Allah mengatur lebih baik daripada apa yang bisa kita bayangkan.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Allah berfirman:

وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Gelombang Pasrah yang Menjadi Samudra

Abu Thalib al-Makki menulis lagi dalam Qūt al-Qulūb:

الرِّضَا ثَمَرَةُ الْمَحَبَّةِ وَمِفْتَاحُ السُّلُوكِ

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

“Ridha adalah buah dari cinta dan kunci perjalanan spiritual.”

Cinta kepada Allah menumbuhkan ridha, sebab hati yang mencinta tidak banyak menuntut. Seperti samudra yang menerima setiap sungai yang masuk, ridha menjadikan hati luas menampung setiap takdir.

Ridha tidak lahir dari kepasrahan kosong, melainkan dari pengenalan mendalam kepada Allah. Menjadi ridha bukan berarti berhenti berusaha, tetapi berusaha tanpa terikat pada hasil. Hasil akhir dari ridha adalah membuat hati lapang, meski dunia sempit.

Menapaki Jalan dengan Senyum

Riset psikologi modern menyebutkan bahwa sikap menerima keadaan (acceptance) dapat mengurangi stres dan meningkatkan ketahanan emosional (Journal of Positive Psychology, 2018). Seakan ilmu modern membenarkan hikmah klasik: ridha membuat jiwa lebih tenang.

Abu Thalib juga menuliskan:

مَنْ رَضِيَ بِقَضَاءِ اللَّهِ سَخَتْ نَفْسُهُ وَاسْتَرَاحَ قَلْبُهُ

“Barangsiapa ridha dengan ketentuan Allah, jiwanya akan lapang dan hatinya beristirahat.”

Bayangkan bila ini hidup di setiap keluarga Indonesia: orang tua tidak hanya bekerja keras, tapi juga lapang dalam menerima hasilnya; anak-anak tidak hanya mengejar cita, tapi juga belajar ikhlas menghadapi jatuh-bangun. Karena itu;

  1. Syukuri yang kecil – catat setiap nikmat harian, sekecil apapun.
  2. Belajar dari doa Nabi – “Allahumma qanni‘ni bimā razaqtanī” (Ya Allah, cukupkanlah aku dengan rezeki yang Engkau berikan).
  3. Jangan bandingkan hidupmu dengan orang lain. Matahari tetap bersinar meski awan menutupinya.
  4. Lakukan ikhtiar terbaik, lalu serahkan hasilnya dengan doa.

Pada akhirnya, ridha adalah matahari. Ia menyinari hati tanpa memandang kelas sosial, tanpa membedakan kaya dan miskin. Semoga kita termasuk hamba yang mampu merasakan cahaya itu.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ قُلُوبَنَا رَاضِيَةً بِقَضَائِكَ، مُطْمَئِنَّةً بِذِكْرِكَ، وَمُسْتَبْشِرَةً بِلِقَائِكَ

Ya Allah, jadikan hati kami ridha pada keputusan-Mu, tenang dengan mengingat-Mu, dan gembira menanti perjumpaan dengan-Mu.

Apakah Ridha adalah cahaya hati kita, dan siap menjemput hari esok dengan hati yang lapang, secerah matahari yang tidak pernah pilih kasih?

 

* Reza Andik Setiawan

Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement