Di antara dentuman hiruk-pikuk kota dan sepi ladang di desa, doa tetap menjadi bahasa paling tua manusia kepada Tuhannya. Doa adalah burung: ia tidak memiliki rantai besi, melainkan sayap rindu yang membawa hati menuju langit. Abu Thalib al-Makki, ulama sufi abad ke-10 yang menulis Qūt al-Qulūb (Santapan Hati), menggambarkan doa bukan sekadar lisan, melainkan napas yang mengikat manusia dengan samudra kasih Allah.
Abu Thalib al-Makki—nama lengkapnya Abu Thalib Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Athiyyah al-Makki—hidup di masa Baghdad sebagai pusat ilmu. Kitab Qūt al-Qulūb adalah karya monumentalnya, berisi renungan tasawuf, doa, zikir, dan ajaran cinta Ilahi. Dari kitab inilah lahir pemahaman bahwa doa bukan sekadar ritual, tetapi sebuah perjalanan jiwa.
Bisikan Hati yang Melampaui Kata
Doa sering kali dimulai dari lidah, tetapi berakhir di kedalaman jiwa. Abu Thalib menulis:
اَلدُّعَاءُ سِلَاحُ الْمُؤْمِنِ وَرَاحَةُ النَّفْسِ وَمَفْزَعُ الْقَلْبِ
“Doa adalah senjata orang beriman, ketenangan bagi jiwa, dan tempat berlari bagi hati.”
Betapa sering kita berlari, bukan dengan kaki, melainkan dengan rintihan hati yang sunyi. Di terminal penuh penumpang, di ruang rumah sakit, bahkan di tikungan sawah saat petani memandang langit yang mendung. Doa tidak pernah kering. Ia mencari jalan pulang, bahkan saat manusia tak sanggup mengucapkan satu kata.
Seorang ibu di kampung pernah berkata kepada saya:
“Nak, kadang saya tidak tahu harus berdoa dengan bahasa apa. Saya hanya meneteskan air mata. Apakah itu juga doa?”
Saya menjawab lirih, “Tangisanmu lebih fasih daripada kalimat siapa pun.”
Tidak semua doa dijawab dengan jawaban cepat. Abu Thalib al-Makki mengingatkan:
إِذَا أَبْطَأَ عَنْكَ الْجَوَابُ فَلا تَتَّهِمْ رَبَّكَ بَلِ اتَّهِمْ نَفْسَكَ
“Apabila jawaban doa terasa lambat, jangan engkau curigai Tuhanmu, melainkan curigailah dirimu sendiri.”
Di Indonesia, banyak orang mendoakan hujan berhenti saat hajatan, sementara yang lain di desa tetangga memohon hujan agar sawah tidak kering. Kedua doa sama-sama tulus, tetapi langit menimbang dengan kebijaksanaan yang tak mampu dijangkau logika.
Doa sebagai Nafas Rindu
Ada kalanya doa tidak untuk meminta, melainkan untuk mengingat. Rumi menyebut doa sebagai musik hati yang tak pernah habis. Dalam Qūt al-Qulūb tertulis:
مَنْ لَمْ يَكُنْ دُعَاؤُهُ ذِكْرًا فَلَيْسَ بِدُعَاءٍ
“Barangsiapa doanya tidak menjadi zikir, maka ia belum berdoa.”
Seorang sahabat pernah berkata dalam obrolan malam:
“Aku berdoa bukan lagi untuk meminta rezeki atau kesehatan. Aku berdoa agar aku tidak lupa kepada-Nya.”
Kalimat itu menusuk, sebab bukankah sering kita mendekat hanya ketika sakit atau bangkrut, lalu lupa saat sehat dan kaya?
Langkah Praktis: Menjadikan Doa Sebagai Jalan Hidup
Jadikan doa sebagai ritme harian
Bukan hanya setelah shalat, tapi juga saat berjalan, makan, atau sebelum tidur.
Sertakan rasa syukur dalam doa
Doa bukan hanya memohon, tetapi juga mengingat nikmat yang sudah diberikan.
Terima jawaban doa dengan lapang
Kadang doa dijawab “ya”, kadang “belum”, kadang “ada yang lebih baik”.
Biarkan doa menjadi energi sosial
Doakan orang lain, tetangga, bangsa, dan bumi yang kita pijak.
Doa yang Menyatukan Sesama
Dalam masyarakat Indonesia yang penuh perbedaan, doa sering kali menjadi jembatan. Saat bencana melanda Lombok, Palu, atau Cianjur, orang-orang dari agama dan latar berbeda mengirim doa. Ada yang mengucapkannya dengan tasbih, ada dengan salib, ada dengan diam menunduk. Semua berharap kebaikan yang sama.
Al-Qur’an mengingatkan:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186)
Dekat: itulah kata kunci. Tak ada birokrasi, tak ada jarak, tak ada protokol yang rumit.
Doa adalah burung. Kadang ia terbang tinggi menembus kabut, kadang ia hanya mengitari dada. Tetapi setiap kepakan sayapnya adalah energi rindu yang mendekatkan kita dengan Allah. Abu Thalib al-Makki menulis:
اَلدُّعَاءُ هُوَ الْحَيَاةُ لِلْقَلْبِ كَمَا أَنَّ الْمَاءَ هُوَ الْحَيَاةُ لِلْجَسَدِ
“Doa adalah kehidupan bagi hati sebagaimana air adalah kehidupan bagi jasad.”
Membiarkan Burung Itu Terbang
Setiap kali kita berdoa, sesungguhnya kita sedang membiarkan burung rindu itu mengepakkan sayap. Mungkin ia kembali membawa jawaban, mungkin ia sekadar membawa ketenangan. Tetapi yang pasti, ia tidak pernah sia-sia.
Ya Allah, jadikan doa kami bukan hanya sekadar suara, tetapi napas hidup yang menyatukan kami dengan-Mu. Amin.
Lalu, saudaraku, burung apa yang terbang dari dadamu hari ini?
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
