Pekerja migran adalah wajah dari doa-doa panjang yang dikirimkan dari kampung halaman. Mereka bukan sekadar tenaga kerja yang menyeberangi batas negara, tetapi juga pelita keluarga, harapan desa, dan jembatan ekonomi bangsa. Ibn ‘Arabi dalam Al-Futūḥāt al-Makkiyah menyinggung betapa manusia dalam perjalanan hidupnya adalah musafir, baik secara jasmani maupun rohani. Maka, pekerja migran sesungguhnya bukan hanya “buruh”, tetapi juga peziarah yang membawa doa melintasi samudra.
Langkah yang Menyisakan Rindu
Di terminal keberangkatan, wajah seorang ibu saya lihat penuh haru. Di tangannya tergenggam erat paspor baru. Anak-anaknya memeluk erat, seakan takut kehilangan. Ia berbisik lirih pada suaminya:
“Jaga anak-anak ya, Abah. Doakan aku kuat.”
Sang suami menunduk, menahan air mata, “Doa kita ikut ke sana, Bu. Jangan pernah merasa sendirian.”
Ibn ‘Arabi mengingatkan dalam Al-Futūḥāt:
السَّفَرُ يُظْهِرُ مَا فِي النَّفْسِ، فَمَنْ صَحِبَهُ بِاللَّهِ لَمْ يَضِعْ
“Perjalanan menampakkan apa yang ada di dalam jiwa. Barang siapa menjalaninya bersama Allah, ia tidak akan tersia-sia.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyah)
Antara Keringat dan Doa yang Menetes
Data Bank Dunia (2022) mencatat remitansi pekerja migran Indonesia mencapai lebih dari 10 miliar dolar per tahun. Angka itu bukan sekadar uang, tetapi simbol kerja keras yang dibalut doa. Namun, di balik itu ada kisah-kisah getir: perlakuan tidak adil, kerinduan yang tak bertepi, bahkan rasa kehilangan jati diri.
Al-Qur’an meneguhkan:
وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً
“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya ia akan mendapati di bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (QS. An-Nisā’: 100)
Hijrah bukan hanya soal jarak, tetapi juga keberanian menaruh diri di medan asing dengan keyakinan bahwa Allah selalu menjaga.
Hati yang Menjadi Rumah Sejati
Banyak pekerja migran yang tubuhnya berada di negeri orang, tetapi hatinya selalu pulang ke tanah air. Ibn ‘Arabi menulis:
إِنَّ الْقَلْبَ هُوَ الْوَطَنُ الْحَقِيقِيُّ، فَإِذَا عَمَرَهُ ذِكْرُ اللَّهِ كَانَ الْمُسَافِرُ فِي أَمَانٍ
“Sesungguhnya hati adalah tanah air yang sejati. Apabila ia dipenuhi zikir kepada Allah, maka musafir berada dalam keamanan.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyah)
Artinya, sejauh apa pun kaki melangkah, rumah sejati selalu ada di dalam hati yang dipenuhi oleh Allah.
Renungan Singkat
Kadang, pekerja migran hanyalah nama di rekening, tetapi tidak pernah hadir di meja makan. Namun, doa mereka berkelindan bersama doa keluarga yang ditinggalkan. Ibn ‘Arabi menulis:
إِذَا اجْتَمَعَتِ الدُّعَاءَاتُ مِنَ الْبُعْدِ كَانَتْ أَقْرَبَ إِلَى الْإِجَابَةِ
“Apabila doa-doa dari kejauhan saling bertemu, ia lebih dekat kepada terkabulnya.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyah)
Peluh yang Menjadi Cahaya
Meski sering terabaikan dalam percakapan elit, pekerja migran sesungguhnya adalah pahlawan. Mereka menanggung beban sosial dan ekonomi yang tak kecil. Dalam ilmu sosiologi, migrasi disebut sebagai social remittance, bukan hanya transfer uang, tetapi juga nilai, pengalaman, dan pengetahuan baru. Itulah yang kemudian kembali membentuk wajah komunitas di tanah air.
Seorang buruh migran pernah berkata kepada saya:
“Bang, aku ke luar negeri bukan hanya cari uang. Aku ingin anakku sekolah lebih tinggi, biar dia tidak harus mengulang nasibku.”
Saya menjawab, “Itu bukan hanya cita-cita, itu doa yang sedang engkau biayai dengan keringatmu.”
Langkah Praktis
Membawa zikir sebagai bekal utama – agar hati tetap tenang meski tanah asing terasa keras.
Menjaga komunikasi sehat dengan keluarga – sebab doa dan kabar sederhana adalah energi yang menyambung rindu.
Mengakses perlindungan hukum – memahami hak pekerja migran agar tidak mudah terjebak eksploitasi.
Membangun komunitas di perantauan – sebagai ruang berbagi, menolong, dan menguatkan.
Pekerja migran adalah doa yang berangkat jauh, lalu kembali dalam bentuk rezeki, pengetahuan, dan harapan baru. Mereka bukan sekadar tenaga kerja, tetapi juga musafir rohani yang mengajarkan kita arti sabar, ikhlas, dan cinta yang menyeberangi jarak.
اللَّهُمَّ احْفَظْ عُمَّالَنَا فِي غُرْبَتِهِمْ، وَرُدَّهُمْ إِلَى أَهْلِهِمْ سَالِمِينَ، وَاجْعَلْ كُلَّ خُطُوَاتِهِمْ فِي مِيزَانِ الْحَسَنَاتِ
“Ya Allah, jagalah pekerja kami di negeri asing, kembalikan mereka dengan selamat, dan jadikan setiap langkah mereka sebagai amal kebaikan.”
Maka pertanyaan yang tertinggal: beranikah kita melihat pekerja migran bukan hanya sebagai pencari nafkah, melainkan juga sebagai pengingat bahwa hidup ini sendiri adalah perjalanan pulang?
* Reza Andik Setiawan
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
