Kisah
Beranda » Berita » Kisah Haru Rasulullah Menyayangi Anak Yatim

Kisah Haru Rasulullah Menyayangi Anak Yatim

SURAU.CO – Hari Raya Idul Fitri tiba, membawa serta suasana suka cita yang merangkul Kota Madinah. Sejak pagi buta, hiruk pikuk persiapan pesta menyambut Lebaran telah memenuhi setiap sudut kota. Gemuruh gembira terasa di mana-mana, menandai momen suci yang dinanti. Waktu pelaksanaan shalat Id semakin dekat, mendorong tua dan muda berbondong-bondong menuju lapangan, mengenakan pakaian terbaru mereka. Anak-anak berlarian riang, bermain dan bercanda di area yang sedikit terpisah dari kerumunan orang dewasa, menciptakan melodi kegembiraan mereka sendiri. Aroma wewangian semerbak dari pakaian yang melambai dan saputangan yang berkibar-kibar semakin menyemarakkan suasana sekitar lapangan, berpadu dengan riuh rendah suara anak-anak yang tiada henti.

Anak Yatim Menangis Sedih

Setelah shalat Id usai, pemandangan anak-anak sibuk mengucapkan selamat Lebaran memenuhi lapangan. Namun, di tengah keriaan itu, Rasulullah SAW melihat seorang bocah bertubuh kurus, mengenakan baju compang-camping, duduk sendirian di salah satu sudut lapangan sembari melelehkan air mata. Pemandangan ini menyentuh hati beliau.

Rasulullah segera menghampiri anak tersebut. Dengan penuh kasih sayang, beliau mengusap pundaknya dan bertanya, “Mengapa menangis, Nak?”

Si anak, dengan nada marah, menyingkirkan tangan Rasulullah dan berkata, “Tinggalkan aku sendiri! Aku sedang berdoa.”

Tidak menyerah, Rasulullah membelai rambut bocah itu. Dengan suara yang penuh kelembutan, beliau bertanya kembali, “Katakan padaku, Nak! Apa yang terjadi padamu?”

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Bocah itu menyembunyikan wajah di antara kedua lututnya, lalu mengisahkan kisah pahitnya. “Ayahku terbunuh dalam peperangan melawan Muhammad. Ibuku sudah kawin lagi dengan orang lain. Harta bendaku dijarah orang. Aku hidup bersama ibuku, tetapi suaminya yang baru telah mengusirku pergi. Hari ini semua anak-anak sebayaku bercanda dan menari-nari dengan mengenakan pakaian barunya, tetapi diriku? Aku tidak punya makanan yang kumakan dan tidak pula atap yang melindungiku.”

Air mata mulai menetes di mata Rasulullah mendengar penuturan pilu itu. Namun, beliau mencoba tetap tersenyum sembari bertanya, “Jangan bersedih anakku! Aku juga kehilangan ayah dan ibu saat aku masih kecil.”

Rasulullah Mengangkat Anak Yatim sebagai Anaknya

Si anak mendongakkan kepalanya dan menatap Rasulullah. Ia segera mengenali wajah mulia itu, dan rasa malu menyelimutinya. Dengan nada penuh kasih, Rasulullah kemudian berkata, “Jika aku menjadi ayahmu dan Aisyah menjadi ibumu, dan Fatimah saudaramu, apakah kamu akan merasa bahagia, anakku?”

Si anak mengangguk mantap, “Tentu.”

Rasulullah segera menggandeng tangan anak malang itu dan membawanya pulang ke rumah. Beliau memanggil Aisyah dan berkata, “Terimalah anak ini sebagai anakmu.”

Penaklukan Thabaristan (Bagian 2): Kemenangan di Era Umayyah

Aisyah menerima amanah itu dengan sepenuh hati. Ia memandikan anak itu dengan tangannya sendiri dan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Setelah memakaikan pakaian baru padanya, Aisyah berkata, “Sekarang pergilah Nak. Kamu bisa bermain dengan teman-temanmu, dan bila sudah kau rasa cukup, pulanglah.”

Si anak kembali ke lapangan, menari kegirangan. Perubahan mendadak pada dirinya membuat teman-teman sebayanya keheranan. Mereka menghampirinya dan menanyakan kisahnya. Si anak malang itu menceritakan semua detail peristiwa yang barusan  bersama Nabi. Mendengar ceritanya, salah seorang temannya berkata dengan wajah cemberut, “Alangkah bahagianya hari ini bila ayah-ayah kita telah meninggal seperti ayahnya.”

Kisah ini menyoroti bagaimana Rasulullah SAW tidak hanya menjadi pemimpin agama, tetapi juga teladan kemanusiaan yang mendalam. Beliau menunjukkan empati dan kasih sayang yang tulus kepada mereka yang paling rentan, mengubah kesedihan menjadi kebahagiaan, dan kemiskinan menjadi harapan. Kisah anak yatim ini menjadi pengingat abadi akan pentingnya kepedulian sosial dan kasih sayang dalam perayaan hari besar seperti Idul Fitri. Ini adalah cerminan ajaran Islam yang mengedepankan solidaritas dan kepekaan terhadap sesama, terutama mereka yang membutuhkan. Rasulullah mengajarkan kita untuk tidak hanya merayakan dengan kemewahan, tetapi juga dengan berbagi kebahagiaan dan meringankan beban orang lain. Kisah ini mengajarkan bahwa makna sejati Idul Fitri terletak pada kebersamaan dan kepedulian, bukan hanya perayaan semata.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement