SURAU.CO – Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah ulama terkemuka. Ia dikenal juga sebagai Datu Kalampayan Martapura. Ia lahir di Desa Lok Gabang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan pada tanggal 17 Maret 1710 Masehi. Ia wafat di Dalam Pagar pada 13 Oktober 1812. Ia penganut mazhab Syafi’i.
Syekh Arsyad lahir dalam keluarga sederhana. Ia anak pertama dari lima bersaudara. Ayahnya seorang yang zuhud. Ayahnya juga seorang alim. Ia pernah menjadi panglima perang dalam melawan penjajah Portugis dan Belanda.
Kecerdasan Syekh Arsyad Kecil dan Dukungan Sultan
Sejak kecil Syekh Arsyad, ia menunjukkan bakat seni lukis. Bakatnya itu terlihat oleh Sultan pada saat itu yaitu Sulatan Tahmidullah. Sulatan Tahmidullah melihatnya ketika berkeliling kampung ingin melihat rakyatnya dan berhenti di sebuah rumah di Desa Lok Gabang. Ia melihat sebuah lukisan dan Sultan kagum dan terkesima. Itu adalah lukisan Syekh Arsyad kecil.
Melihat bakatnya, Sultan berhasrat ingin mengasuh Syekh Arsyad. Ia ingin mendidiknya di istana. Ibunya berat hati, namun, ia menyadari putranya perlu pendidikan. Otak cerdas Syekh Arsyad harus diasah. Sultan memperlakukannya seperti anak kandung. Ulama terbaik didatangkan untuk mengajarnya. Syekh Arsyad dapat menyerap semua materi dengan baik. Pada saat umur tujuh tahun, ia sudah fasih membaca Al-Qur’an. Selain melukis, bakat tulis-menulisnya juga tampak.
Pernikahan dan Belajar Ilmu ke Mekkah
Setelah dewasa, Syekh Arsyad menikahi Siti Aminah. Perempuan shalihah pilihan Sultan. Siti Aminah adalah perempuan yang sangat taat kepada suaminya.
Setelah 35 tahun di istana, Syekh Arsyad memiliki keinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Dan ia dapat belajar di Mekkah. Selama belajar, kerajaan membiayai Syekh Arsyad hingga ia membeli rumah di Syamsiyah, Mekkah. Rumah itu masih ada hingga kini. Imigran Banjar mempertahankannya. Kampung Syamsiyah disebut Barhat Banjar.
Syekh Arsyad tidak sendiri berangkat. Sultan Tahmidullah memberangkatkan dua tokoh lain. Mereka adalah Syekh Abdul Hamid. Ia dikenal sebagai Datuk Ambuluang. Lalu Syekh Muhammad Nafis bin Idris al-Husain yang terkenal sebagai Datuk Nafis.
Rombongan dari Borneo yang belajar ke Mekkah cukup banyak. Tokoh Nusantara lain juga ada. Mereka adalah Syekh Abdus Shomad al-Falimbani, Syekh Abdur Rahman al-Mashri al-Batawi dan Syekh Abdul Wahab al-Bugisi.
Sanad Keilmuan dari Ulama Timur Tengah dan Nusantara
Selama di Mekkah, Syekh Arsyad mengambil sanad. Ia belajar dari ulama Arab. Di antaranya Syekh Athaillah bin Ahmad al-Mihsri al-Azhar. Ada juga Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Madinah. Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samany al-Madany juga gurunya. Ia belajar dari Syekh Ahmad bin Abdul Mun’im ad-Damanhuri. Masih banyak ulama lain.
Syekh Arsyad juga berguru dari ulama Nusantara. Mereka sudah lama mukim di Mekkah seperti Syekh Abdur Rahman bin Abul Mubin Pauh Bok al-Fathani. Ada juga Syekh Muhammad Zain bin Faqih Jalaludin Aceh. Syekh Muhammad Aqib bin Hasanudin al-Falimbani juga gurunya.
Kembali ke Nusantara dan Dakwah di Batavia-Banjar
Syekh Arsyad menghabiskan 35 tahun untuk belajar di Mekkah. Ia akhirnya kembali ke Nusantara. Ia kembali bersama Syekh Abdur Rahman al-Mashri al-Betawi. Syekh Abdul Wahab al-Bugisi ikut pulang. Itu terjadi pada tahun 1186 H/1773 M.
Setibanya di Nusantara, Syekh Arsyad singgah di rumah Syekh Abdur Rahman al-Mashri al-Betawi di Batavia. Di sana, Syekh Arsyad mengajarkan ilmu. Ia juga membetulkan arah kiblat beberapa masjid.
Dua bulan di Batavia, Syekh Arsyad berpamitan. Ia kembali ke Banjar. Kesultanan Islam sudah berdiri di Banjar. Itu sejak kepemimpinan Sultan Surian Syah. Namun, perkembangan Islam belum signifikan. Pemeluknya hanya muslim Melayu. Masih sedikit sekali yang menjalani syariat.
Membangun Lembaga Pendidikan “Dalam Pagar”
Melihat kondisi itu, Syekh Arsyad bertindak. Ia mendirikan lembaga pendidikan Islam. Lokasinya di Martapura. Ia ingin mengenalkan gagasan keagamaan. Ia ingin masyarakat memahaminya. Mula-mula, ia membangun langgar. Langgar itu menampung para pembelajar. Lama-kelamaan muridnya terus bertambah.
Di lembaga pendidikan tersebut, Syekh Arsyad mengajarkan banyak ilmu. Ia mengajarkan Al-Qur’an, Fikih, Nahwu, Sharaf, Tafsir, Hadis, dan Tauhid. Ia juga mengajar baca tulis Arab Melayu.
Metode Dakwah yang Efektif dan Produktivitas Menulis
Syekh Muhammad Arsyad memiliki metode dakwah yang saling menunjang. Pertama adalah bil-hal. Ini adalah metode keteladanan yang baik (uswatun hasanah). Ia terapkan dalam tingkah laku, gerak-gerik dan tutur kata dalam keseharian. Murid-muridnya dapat menyaksikannya langsung.
Kedua adalah bil-lisan. Ia mengadakan pengajaran dan pengajian. Didalamnya siapa saja bisa mengikutinya baik keluarga, kerabat, dan sahabat.
Ketiga adalah bil-kitabah. Dalam metode ini ia menggunakan bakat menulisnya. Dengan pena tajamnya ia melahirkan kitab-kitab. Kitab-kitab itu menjadi pegangan umat.
Ia menghasilkan banyak karya. Beberapa kitabnya tersebar sampai ke negara tetangga. Kitabnya yang terkenal diantaranya adalah kitab Sabil Al-Muhtadin li at-Tafaqquhi fi Amri ad-Din. Karyanya ini membuatnya masyhur. Ketenarannya sampai ke Malaysia, Brunei, dan Pattani (Thailand Selatan).
Akhir Hayat dan Warisan Abadi
Pada tahun 1807 M, Allah SWT memanggil Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Ia wafat pada usia 105 tahun. Ia dimakamkan di Kalampayan. Itu di Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar. Kompleks pemakamannya sangat luas dan besar..
Hingga kini, masyarakat KalimantanSelatan, Kalimantan Tengah dan wilayah sekitarnya banyak yang berziarah di makamnya. Dari segi ekonomi, keberadaan makamnya turut membantu perekonomian masyarakat.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah ikon Islam. Ia adalah teladan bagi umat. Ilmu dan dakwahnya abadi. Ia meninggalkan warisan yang tak ternilai.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
