Kisah
Beranda » Berita » Kisah Syekh Abdurrahman Bajal Haban Jadi Wali Berkat Istri Cerewet

Kisah Syekh Abdurrahman Bajal Haban Jadi Wali Berkat Istri Cerewet

Kisah Syekh Abdurrahman Bajal Haban Jadi Wali Berkat Istri Cerewet
Ilustrasi 3 orang shaleh di dalam gua yang mendapatkan hidangan dari langit. (Sumber Gambar: meta AI)

SURAU.CO – Syekh Abdurrahman Bajal Haban tinggal di sebuah desa bernama Bajal Haban, tepat di pintu masuk Kota Tarim, Hadramaut. Kota Tarim sendiri dikenal sebagai gudangnya para ulama, pusat ilmu, dan tempat lahirnya banyak wali besar. Syekh Abdurrahman setiap hari berdagang di pasar sekaligus menjadi guru besar.

Rumah beliau, sebagaimana kebanyakan rumah di Tarim, bertingkat dua hingga tiga lantai. Hal yang unik, masyarakat tidak membangun rumah dengan besi atau semen seperti rumah modern sekarang, melainkan menggunakan tanah lempung yang dipadatkan. Kondisi Tarim yang jarang turun hujan membuat rumah-rumah tetap kokoh. Kehidupan beliau sehari-hari tampak biasa saja. Orang-orang pun tidak menyangka bahwa beliau adalah seorang wali besar.

Ujian Rumah Tangga: Istri Cerewet yang Selalu Menuntut

Setiap rumah tangga pasti menghadapi ujian. Syekh Abdurrahman Bajal Haban menghadapi ujian itu lewat istrinya. Konon, istrinya sangat cerewet, suka ngomel, bahkan sering meminta sesuatu yang harus segera dia penuhi.

Bukan hanya itu, sang istri juga memiliki kebiasaan unik. Setiap kali Syekh Abdurrahman pulang kerja, ia selalu meminta suaminya membawanya naik ke lantai dua. Begitu pula saat turun, ia kembali minta digendong. Begitulah seterusnya hampir setiap hari.

Bagi kebanyakan orang, kebiasaan itu terasa berat. Namun Syekh Abdurrahman tidak pernah mengeluh. Ia tidak pernah berdebat apalagi marah. Ia selalu memenuhi permintaan istrinya dengan penuh kesabaran. Ia menerima omelan demi omelan tanpa pernah membalasnya. Justru dari kesabaran itulah Allah membuka pintu kewalian untuknya.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Keinginan Berkhalwat

Meski sabar, Syekh Abdurrahman tetap menjadi manusia biasa. Dalam hatinya, ia ingin punya waktu khusus untuk mendekatkan diri pada Allah tanpa gangguan. Ia pun merencanakan khalwat selama tiga hari. Namun, dia butuh alasan kuat agar istrinya memberi izin.

Ia akhirnya berpura-pura berkata ingin mencari rezeki di luar kota karena pasar sedang sepi. Sang istri pun mengizinkannya. Maka Syekh Abdurrahman berangkat menuju sebuah gunung. Di sana terdapat sebuah gua yang biasa dipakai orang-orang saleh untuk berkhalwat.

Saat tiba di gua, beliau mendapati dua orang saleh sedang berkhalwat. Mereka tampak tenang dan khusyuk. Syekh Abdurrahman pun ikut bergabung.

Pagi itu, dua orang saleh itu berbicara tentang sarapan. Salah seorang berdoa sambil mengangkat tangan. Tiba-tiba satu nampan makanan lezat turun dari langit.

Syekh Abdurrahman terkejut. Ia menyadari bahwa kedua orang itu wali Allah yang doanya Allah kabulkan. Ia ikut menikmati makanan itu tanpa banyak bertanya.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Siang hari tiba, orang saleh yang lain berdoa. Allah kembali menurunkan satu nampan makanan dari langit. Kejadian itu membuat Syekh Abdurrahman semakin takjub.

Waktu malam pun tiba. Dua orang saleh itu sepakat memberi giliran kepada tamu mereka, yakni Syekh Abdurrahman. Dia kaget karena merasa dirinya bukan orang alim seperti mereka.

Dengan rendah hati dia berkata, “Maaf, saya bukan orang saleh. Ilmu saya belum sampai. Saya tidak tahu doa apa yang harus saya panjatkan.”

Kedua orang itu menenangkannya. “Cukup yakin saja. Mintalah langsung kepada Allah.”

Syekh Abdurrahman pun menengadahkan tangan dengan penuh khusyuk. Ia berdoa tulus dari hatinya. Allah mengabulkan doanya dengan menurunkan bukan satu, melainkan tiga nampan makanan lezat.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Identitas Wali yang Tersembunyi

Melihat kejadian itu, dua orang saleh tadi kebingungan. Selama ini mereka hanya mendapat satu nampan makanan tiap kali berdoa. Namun doa tamu mereka menghasilkan tiga nampan sekaligus. Mereka berkata, “Kami tidak akan menyentuh makanan ini sebelum engkau mengajarkan doa yang kau gunakan.”

Syekh Abdurrahman justru bingung. Ia menjelaskan bahwa dirinya hanya mengikuti doa mereka dan bertawasul dengan apa yang mereka lakukan.

Mendengar penjelasan itu, kedua orang saleh tersebut berkata, “Kami bertawasul kepada seorang wali besar yang tinggal di pinggir Kota Tarim. Ia orang saleh luar biasa, tetapi ia sendiri tidak tahu bahwa dirinya wali. Namanya Syekh Bajal Haban.”

Syekh Abdurrahman tersentak. Ia sadar bahwa yang mereka maksud sebenarnya adalah dirinya sendiri. Allah mengangkat derajatnya bukan karena doa khusus atau ibadah tertentu, melainkan karena kesabarannya menghadapi istri yang cerewet dan penuh tuntutan.

Setelah menyadari dirinya sebagai wali yang disebut dua orang saleh itu, Syekh Abdurrahman segera berpamitan lalu pulang ke rumah dengan bahagia.

Kesebaran yang Mengangkat Derajat

Kisah ini menyimpan pelajaran yang mendalam. Dimata manusia, istri omelan mungkin adalah ujian kecil yang melelahkan. Namun, di sisi Allah, kesabaran menerima keadaan itu bisa menjadi jalan menuju derajat tinggi.

Habib Novel Alaydrus, pendakwah asal Solo yang meriwayatkan kisah ini, menegaskan bahwa karomah turunnya makanan dari langit bukan hal yang mustahil. Dalam Al-Qur’an, kisah serupa terjadi pada Maryam. Allah sering memberikan makanan dari langit meski tidak ada yang membawanya. Nabi Zakaria pun terheran-heran ketika mendapati Maryam selalu memiliki hidangan di mihrabnya.

Begitu pula, Allah memberikan karunia serupa kepada para wali-Nya sebagai tanda kedekatan mereka dengan Sang Pencipta.

Wallahu a’lam bish-shawab.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement