Opinion
Beranda » Berita » Infaq di Waktu Sempit: Menguji Ketulusan Jiwa

Infaq di Waktu Sempit: Menguji Ketulusan Jiwa

Petani berbagi beras sebagai simbol infaq dalam lapang dan sempit
Ilustrasi realistik seorang petani desa yang duduk di lumbung padi, memberikan segenggam beras kepada tetangga yang datang dengan wadah kosong.

Ada saat tanah retak, air langka, dan hasil panen tak seberapa. Pada masa seperti itulah, memberi terasa berat. Namun justru infaq di waktu sempit lebih bermakna.

Seorang petani kecil yang berbagi segenggam beras kepada tetangganya yang lapar, hakikatnya memberi jauh lebih besar daripada orang kaya yang menyisihkan secuil dari limpahannya. Nilai infaq bukan pada jumlah, melainkan pada kelapangan hati.

Allah menegaskan:

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ بِٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ ۖ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari, secara sembunyi atau terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274)

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Di sinilah letak ketulusan sejati. Memberi dalam kesulitan adalah cermin keyakinan bahwa rezeki sejati tidak bergantung pada jumlah yang tersisa, melainkan pada keberkahan dari Sang Maha Kaya.

Infaq Sebagai Nafas Kehidupan Sosial

Infaq bukan sekadar urusan individu. Ia laksana embun yang menyejukkan daun-daun pada pagi hari, memberi kehidupan bersama.

Dalam keseharian desa, infaq hadir dalam bentuk gotong royong membangun rumah tetangga, iuran kenduri, atau menyumbang tenaga saat musim panen. Semua itu adalah bentuk nyata dari semangat berbagi, meskipun tanpa label besar.

Kehidupan sosial hanya bisa berdiri kokoh bila ada infaq yang mengalir. Sebagaimana gamelan tidak akan berbunyi indah bila hanya satu instrumen yang dimainkan, demikian pula masyarakat tidak akan harmonis tanpa berbagi dan saling menolong.

Infaq Sebagai Jalan Mendekat kepada Allah

Ibnu ‘Aṭā’illāh al-Sakandarī dalam al-Ḥikam menuliskan sebuah peringatan halus:

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

مَنْ لَمْ يُقْبِلْ عَلَى اللَّهِ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ جَذَبَتْهُ إِلَيْهِ، فَكَيْفَ يُقْبِلُ عَلَيْهِ بِالنَّعْمَاءِ وَالنَّعْمَاءُ تَصُدُّهُ عَنْهُ؟

“Siapa yang tidak kembali kepada Allah pada saat kesempitan dan kesulitan—padahal keduanya menarik dirinya untuk dekat—maka bagaimana mungkin ia akan kembali kepada-Nya pada saat kelapangan, sementara kelapangan sering membuatnya berpaling?”

Kata-kata itu mengingatkan bahwa kesempatan beramal jangan ditunda menunggu lapang. Sebab, jika hati tidak terbiasa memberi di kala sempit, maka di kala lapang pun ia akan lebih mudah terikat pada kelapangan itu sendiri.

Pesan ini sejalan dengan ayat suci: infaq menjadi jalan mendekat kepada Allah, baik saat bahagia maupun saat duka. Memberi bukan karena cukup atau kurang, melainkan karena yakin bahwa setiap yang kita miliki hanyalah titipan.

Infaq Sebagai Denyut Kehidupan

Infaq dalam lapang dan sempit adalah napas kehidupan. Ia seperti aliran sungai yang tetap mengalir meski musim berganti. Di waktu hujan deras, air melimpah, sungai memberi kehidupan. Di waktu kemarau, meski mengecil, ia tetap mengalir setia.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Begitulah seharusnya hati manusia: selalu memberi, sekecil apa pun, karena itulah yang menumbuhkan keluhuran. Pada akhirnya, infaq bukan soal jumlah, tetapi soal cinta. Cinta kepada Sang Pencipta dan cinta kepada sesama.

* Reza Andik Setiawan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement