Mode & Gaya
Beranda » Berita » Gaya Hidup Hedon di Era Digital: Jebakan Kemewahan dan Solusi dalam Kesederhanaan Islam

Gaya Hidup Hedon di Era Digital: Jebakan Kemewahan dan Solusi dalam Kesederhanaan Islam

Ilustrasi hidup dalam hedonisme

SURAU.CO – Dunia digital membuka jendela tanpa batas. Setiap hari, kita melihat berbagai konten di media sosial. Layar ponsel kita menampilkan kehidupan yang tampak sempurna. Mulai dari liburan mewah, gawai terbaru, hingga pakaian bermerek. Fenomena ini secara tidak sadar mendorong banyak orang, terutama generasi muda, untuk mengadopsi gaya hidup hedon di era digital. Mereka terus-menerus mengejar kesenangan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan.

Namun, di balik gemerlapnya, terdapat sebuah kekosongan. Pengejaran kenikmatan duniawi sering kali berujung pada keresahan. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahaya hedonisme ini. Ajaran Islam justru menawarkan sebuah solusi abadi. Ajaran tersebut adalah konsep kesederhanaan sebagai jalan menuju ketenangan jiwa.

Media Sosial sebagai Panggung Hedonisme Modern

Media sosial telah berubah menjadi panggung utama. Di sinilah gaya hidup hedon dipertontonkan setiap saat. Influencer dan figur publik memamerkan kemewahan dengan mudah. Mereka menciptakan standar hidup yang sangat tinggi dan tidak realistis. Akibatnya, banyak pengguna merasa tertekan untuk mengikuti tren tersebut.

Perasaan takut ketinggalan atau Fear of Missing Out (FOMO) menjadi pemicu utama. Mereka mulai membeli barang bukan karena kebutuhan. Sebaliknya, mereka membeli demi pengakuan sosial dan validasi online. Siklus ini menciptakan budaya konsumerisme yang tidak sehat. Orang-orang berlomba-lomba menampilkan citra terbaik di dunia maya. Padahal, sering kali kondisi finansial mereka tidak mendukung gaya hidup tersebut.

Dampak Negatif Gaya Hidup Hedon

Pengejaran kesenangan tanpa henti ternyata memiliki sisi gelap. Pertama, ia sangat rentan menimbulkan masalah kesehatan mental. Perbandingan sosial yang konstan dapat memicu kecemasan, rasa iri, dan depresi. Seseorang akan selalu merasa kurang saat melihat pencapaian orang lain di media sosial.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Selanjutnya, hedonisme juga mengancam kesehatan finansial. Demi mengikuti gaya hidup mewah, tidak sedikit anak muda yang terjerat utang. Mereka menggunakan kartu kredit atau pinjaman online secara tidak bijaksana. Pada akhirnya, mereka terjebak dalam lingkaran utang yang sulit diakhiri. Kebahagiaan sesaat harus dibayar dengan tekanan finansial jangka panjang.

Pandangan Islam tentang Kesederhanaan (Zuhud)

Di tengah fenomena ini, Islam hadir menawarkan sebuah pandangan yang menenangkan. Islam tidak melarang umatnya untuk menikmati karunia dunia. Namun, Islam sangat menekankan pentingnya sikap moderat dan tidak berlebihan. Konsep ini dikenal sebagai wasathiyyah atau jalan tengah.

Allah SWT secara tegas memperingatkan manusia agar tidak boros dan berfoya-foya. Hal ini sejalan dengan firman-Nya:

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al-Isra: 26-27).

Ayat ini menjadi pengingat keras. Setiap harta yang kita miliki adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan. Menggunakannya untuk pamer kemewahan adalah tindakan yang tidak disukai Allah. Islam justru mendorong sikap zuhud, yaitu tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Hati seorang yang zuhud tidak terikat pada harta benda, meskipun ia memilikinya.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Menerapkan Kesederhanaan di Era Digital

Lalu, bagaimana cara menerapkan kesederhanaan di tengah gempuran budaya hedon? Langkah pertama adalah dengan membangun kesadaran diri. Kenali perbedaan antara kebutuhan dan keinginan. Sebelum membeli sesuatu, tanyakan pada diri sendiri apakah barang itu benar-benar Anda butuhkan.

Selanjutnya, latihlah rasa syukur atau qana’ah. Merasa cukup dengan apa yang dimiliki adalah kunci ketenangan. Alihkan fokus dari apa yang tidak kita punya kepada nikmat yang telah Allah berikan. Dengan bersyukur, hati akan merasa kaya dan lapang. Konsep ini ditegaskan dalam sebuah hadis:

“Kekayaan sejati bukanlah dengan banyaknya harta. Namun, kekayaan yang hakiki adalah kekayaan hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Selain itu, batasi penggunaan media sosial secara bijak. Berhenti mengikuti akun-akun yang hanya memamerkan kemewahan dan membuat Anda merasa tidak cukup. Sebaliknya, ikuti konten yang memberikan inspirasi positif dan mendekatkan diri kepada Allah.

Menemukan Kebahagiaan Sejati

Pada akhirnya, hidup hedon di era digital adalah sebuah ilusi kebahagiaan yang rapuh. Kesenangan yang didapat dari materi bersifat sementara dan sering kali meninggalkan kehampaan. Islam menawarkan jalan alternatif yang lebih menenangkan dan membahagiakan.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Dengan menerapkan prinsip kesederhanaan, syukur, dan tidak berlebihan, kita dapat terbebas dari jebakan konsumerisme. Kebahagiaan sejati tidak terletak pada apa yang kita miliki atau tampilkan kepada orang lain. Kebahagiaan itu bersemayam dalam hati yang tenang, damai, dan selalu merasa cukup dengan karunia-Nya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement