Kisah
Beranda » Berita » Kisah Umar bin Khattab Masuk Islam

Kisah Umar bin Khattab Masuk Islam

Ilustrasi

SURAU.CO – Pada masa awal penyebaran Islam di Mekkah, para pengikut Nabi Muhammad SAW sering menghadapi penindasan. Mereka menerima siksaan kejam karena meninggalkan keyakinan pagan warisan leluhur. Di antara para penentang itu, ada satu nama yang paling menebar teror: Umar bin Khattab. Dengan postur tubuh tinggi, kuat, dan watak yang sangat pemberani, Umar adalah ancaman nyata bagi siapa pun yang memeluk agama baru itu.

Namun, segala bentuk penyiksaan terbukti gagal. Kekerasan fisik tidak mampu menggoyahkan iman kaum muslimin yang terus bertumbuh. Jumlah pemeluk baru justru semakin bertambah setiap harinya. Perkembangan ini menyulut amarah Umar bin Khattab hingga ke puncaknya. Ia tidak bisa lagi menahan kebenciannya. Umar pun mengambil keputusan drastis. Ia bertekad akan membunuh Nabi Muhammad dengan tangannya sendiri.

Dengan pedang terhunus yang berkilat di bawah matahari Mekkah, Umar berjalan mantap. Tujuannya adalah bukit Shafa, tempat Rasulullah tinggal dan berdakwah. Langkahnya penuh amarah dan keyakinan bahwa tindakannya akan mengakhiri semua ini.

Perdebatan yang Mengubah Arah Langkah

Di tengah perjalanan, seorang pria bernama Na’im bin Abdullah mencegatnya. Melihat Umar yang berjalan dengan wajah penuh amarah dan pedang di tangan, Na’im tahu ada sesuatu yang sangat salah. Dengan berani, ia menantang Umar. Na’im menyarankan agar Umar melihat kondisi keluarganya sendiri sebelum mengurus orang lain. Ia mengungkap sebuah fakta mengejutkan: adik perempuan Umar, Fatimah, dan suaminya, Sayid bin Zaid, telah memeluk Islam.

Berita itu menghantam harga diri Umar seperti palu godam. Rasa malunya terkoyak. Amarah yang tadinya ditujukan kepada Rasulullah kini berbalik arah dengan kekuatan berlipat ganda. Ia segera mengubah tujuannya menuju rumah sang adik.

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Saat tiba, samar-samar ia mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an dari dalam rumah. Melihat kedatangan kakaknya dengan wajah merah padam, Fatimah cepat-cepat menyembunyikan lembaran yang sedang ia baca. Namun, sudah terlambat. Umar telah mendengarnya.

“Apa yang baru saja kalian baca?” tanya Umar dengan nada mengancam.

Dengan tubuh gemetar, Fatimah menjawab, “Aku tidak membaca apa pun.”

Sayid, ipar Umar, mencoba menengahi. Namun, Umar langsung membentaknya dengan kasar.

“Bedebah! Kalian berdua telah mengingkari kepercayaan nenek moyang kalian. Sekarang rasakan akibatnya!”

Penaklukan Thabaristan (Bagian 2): Kemenangan di Era Umayyah

Umar langsung memukul Sayid bertubi-tubi. Melihat suaminya diserang, Fatimah berusaha menolong. Namun, ia justru menjadi sasaran pukulan keras Umar hingga darah segar mengucur dari lukanya. Di tengah rasa sakit dan putus asa, sebuah keberanian luar biasa muncul dari dalam diri Fatimah. Dengan suara tegas ia berkata bahwa ia tidak akan pernah meninggalkan agama barunya, bahkan jika Umar membunuhnya.

Hidayah Melalui Lantunan Ayat Suci

Pernyataan tegas dan pemandangan darah yang mengalir dari adiknya sendiri membuat Umar tersentak. Kemarahannya yang membara tiba-tiba mereda. Ia menatap Fatimah dengan pandangan yang berbeda. Ada penyesalan di matanya. Umar kemudian meminta adiknya untuk membacakan beberapa ayat Al-Qur’an untuknya.

Fatimah mengambil kembali lembaran-lembaran yang tadi ia sembunyikan. Lembaran itu berisi ayat-ayat awal dari Surah Taha. Umar mulai membacanya. Matanya tertuju pada kalimat-kalimat pembuka yang agung.

Keindahan gaya bahasa, irama yang menyentuh, dan makna yang mendalam dari ayat-ayat tersebut mulai menggetarkan hatinya. Kebencian yang selama ini memenuhi dadanya perlahan terkikis. Saat ia sampai pada ayat yang menegaskan keimanan: “Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-Nya!”, secara tidak sadar Umar berseru dari lubuk hatinya yang paling dalam, “Sungguh aku beriman kepada Allah dan rasul-Nya.”

Lahirnya Pekik “Allahu Akbar!”

Hidayah telah menyinari jiwanya. Dengan pedang yang masih di tangan dan sisa darah adiknya yang menodai tubuh, Umar bergegas menuju bukit Shafa. Kali ini, tujuannya bukan untuk membunuh, melainkan untuk berserah diri.

Penaklukan Thabaristan: Merebut Negeri Kapak Persia di Masa Utsmaniyah

Saat itu, Rasulullah sedang berkumpul bersama beberapa sahabat. Kedatangan Umar yang tiba-tiba dengan pedang terhunus membuat suasana menjadi tegang. Para sahabat merasa ketakutan, mengira bahaya besar akan datang. Namun, Rasulullah menyambutnya dengan tenang dan penuh wibawa.

“Ada apa Umar? Apa yang bisa aku bantu?” sapa Rasulullah dengan lembut.

Dengan suara mantap, Umar menjawab, “Wahai Rasulullah! Terimalah aku! Aku datang untuk memeluk Islam.”

Mendengar pernyataan yang menggemparkan itu, Rasulullah SAW langsung berseru, “Allahu Akbar!”

Seluruh sahabat yang hadir di majelis itu pun serentak mengikuti seruan Nabi. “Allahu Akbar!”

Gema takbir membahana di bukit Shafa. Momen itu menjadi penanda lahirnya pekik ‘Allahu Akbar’ sebagai ungkapan kegembiraan dan kemenangan iman. Sejak hari itu, pekik agung ini terus memberi semangat dan inspirasi bagi jutaan kaum muslimin di seluruh dunia, terutama di masa-masa sulit dan penuh penindasan. Umar bin Khattab , sang penentang paling keras, telah berubah menjadi pilar kekuatan baru bagi Islam.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement