Politik
Beranda » Berita » Pasal Karet dalam KUHP dan Ancaman terhadap Kebebasan Berpendapat

Pasal Karet dalam KUHP dan Ancaman terhadap Kebebasan Berpendapat

Pasal Karet dalam KUHP dan Ancaman terhadap Kebebasan Berpendapat
Gambar AI, Sumber: gemini.google.com.

SURAU.CO. Pembahasan mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru terus memicu diskusi panjang. Salah satu isu utama adalah keberadaan pasal karet. Istilah ini memang tidak muncul secara formal dalam teks hukum, tetapi masyarakat mempopulerkannya karena mewakili aturan yang multitafsir, elastis, dan rawan disalahgunakan. Oleh sebab itu, banyak pihak menilai pasal karet berpotensi mengancam kebebasan berpendapat serta kepastian hukum di Indonesia.

 

Definisi Pasal Karet

Pertama-tama, istilah pasal karet merujuk pada aturan hukum yang memiliki rumusan sangat umum. Akibatnya, aparat atau pihak tertentu dapat menarik pasal tersebut ke berbagai arah sesuai kepentingan mereka. Dalam hukum pidana, kondisi ini menimbulkan bahaya karena bertentangan dengan asas lex certa (kepastian hukum).

Selain itu, asas ini menuntut perumusan delik pidana yang jelas dan terperinci. Dengan demikian, masyarakat memahami secara pasti perbuatan apa yang dilarang dan sanksi apa yang mengikuti. Ketika perumus undang-undang menuliskan pasal secara kabur, aparat penegak hukum memperoleh ruang terlalu luas untuk menafsirkan. Dampaknya, aparat bisa menilai kritik sebagai penghinaan, sehingga keadilan gagal terwujud.

 

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Contoh Pasal Karet dalam KUHP Baru

Dalam KUHP lama, Pasal 134, 136 bis, dan 137 mengatur penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 membatalkan pasal tersebut karena bertentangan dengan kebebasan berpendapat. Meski begitu, pemerintah dan DPR kembali memasukkannya dalam KUHP baru, meskipun berbentuk delik aduan. Artinya, aparat hanya dapat memproses kasus jika Presiden atau Wakil Presiden mengajukan pengaduan.

Pemerintah beralasan bahwa pasal tersebut dibutuhkan demi menjaga kehormatan kepala negara. Namun, masyarakat menilai masalahnya tetap sama. Rumusan pasal tidak menjelaskan dengan tegas perbedaan antara kritik dan penghinaan. Oleh karena itu, publik tetap khawatir terhadap pasal karet.

 

Dampak terhadap Kebebasan Berpendapat

Konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, menegaskan bahwa setiap orang berhak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Akan tetapi, keberadaan pasal karet justru memunculkan chilling effect. Banyak orang enggan menyampaikan pendapat karena mereka khawatir aparat menjeratnya dengan pasal tersebut.

Akibat kondisi ini, jurnalis, mahasiswa, dan aktivis merasa terancam hanya karena menyuarakan kritik. Padahal, kritik yang tajam sekalipun berperan penting untuk memperbaiki kinerja pemerintahan. Dengan kata lain, pasal karet membuat hukum berubah menjadi alat represif, bukan instrumen yang melindungi warga negara.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

 

Perspektif Islam tentang Kritik Pemimpin

Dalam tradisi Islam, umat tidak hanya boleh mengkritik pemimpin, tetapi juga wajib melakukannya sebagai kewajiban moral. Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Agama adalah nasihat.” (HR. Muslim)

Nasihat mencakup pemimpin, sehingga umat berhak sekaligus berkewajiban untuk mengingatkan. Bahkan, hadis lain menegaskan bahwa menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa zalim termasuk jihad paling utama.

Namun, Islam juga menekankan pentingnya adab. Umat harus menyampaikan kritik dengan bahasa yang baik, penuh hormat, dan tanpa maksud merendahkan. Dengan demikian, Islam menyeimbangkan kebebasan berbicara dengan etika komunikasi. Kritik pun berfungsi sebagai sarana perbaikan, bukan sekadar luapan emosi.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

 

Realita Dinamika Saat Ini

KUHP baru dijadwalkan berlaku pada 2026. Masa transisi ini memberi ruang bagi pemerintah untuk melakukan sosialisasi dan evaluasi. Akan tetapi, masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi pers terus mendesak agar pemerintah dan DPR meninjau ulang pasal-pasal bermasalah. Bahkan, beberapa lembaga hukum telah menyiapkan rencana uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Sementara itu, pemerintah berusaha meyakinkan publik bahwa KUHP baru mencerminkan keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan perlindungan martabat pejabat. Namun, tanpa perumusan yang lebih jelas, kekhawatiran terhadap pasal karet akan tetap relevan. Dengan kata lain, KUHP berpotensi mengulang praktik represif masa lalu.

 

Fenomena pasal karet mencerminkan keresahan masyarakat terhadap kepastian hukum. Pembuat KUHP baru memang meniatkan pembaruan, tetapi mereka tidak boleh menjadikannya instrumen untuk membungkam kritik. Negara wajib melindungi kritik, sedangkan masyarakat perlu mencegah penghinaan melalui mekanisme hukum perdata atau etika sosial, bukan pidana yang kabur.

Oleh sebab itu, Indonesia harus memastikan hukum benar-benar hadir untuk melindungi warga. Pembuat undang-undang wajib memperjelas pasal-pasal multitafsir, dan masyarakat perlu mengawasi aparat penegak hukum secara ketat. Dengan demikian, demokrasi berjalan sehat, kebebasan berpendapat tetap terjaga, dan hukum berfungsi sebagaimana mestinya.

Artikel lainnya dari Vio Surau.co


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement