SURAU.CO – Syaikh ath-Thanthawi pernah menuturkan sebuah kisah penuh hikmah yang abadi. Cerita ini berasal dari masa ketika Al-Azhar belum menjadi universitas megah seperti sekarang. Dahulu, Al-Azhar adalah sebuah masjid yang menjadi pusat ilmu pengetahuan. Proses belajar mengajar berlangsung dalam kelompok-kelompok kecil yang disebut halaqah. Setiap halaqah dipimpin oleh ulama-ulama besar pada masanya.
Masjid Al-Azhar di Kairo menjadi magnet bagi para pencari ilmu. Murid-murid datang dari berbagai penjuru Mesir. Bahkan, banyak juga yang datang dari negara dan benua lain. Mereka semua memiliki satu tujuan mulia, yaitu menimba ilmu agama.
Di antara ribuan penuntut ilmu itu, ada seorang pemuda bernama Abdullah. Ia datang dari sebuah negeri yang sangat jauh dan terpencil. Latar belakang keluarganya sangat sederhana. Namun, kesederhanaan itu tidak pernah memadamkan kobaran semangatnya untuk belajar. Abdullah terkenal sebagai murid yang sangat rajin dan cerdas. Ia selalu bersemangat mengikuti setiap pelajaran di berbagai halaqah. Para guru pun sangat menyayanginya karena mengagumi kecerdasan dan akhlaknya yang luhur.
Ujian Berat di Tengah Semangat Menuntut Ilmu
Kehidupan sebagai perantau tidak selamanya mudah. Suatu ketika, Abdullah menghadapi ujian berat. Kiriman uang belanja dari orang tuanya di kampung halaman terhenti. Tanpa uang, ia tidak bisa membeli makanan. Kondisi ini memaksanya untuk menahan lapar dari hari ke hari.
Namun, rasa lapar yang melilit perutnya tidak sedikit pun menyurutkan semangat belajarnya. Ia tetap tekun menghadiri setiap majelis ilmu. Setelah tiga hari berlalu tanpa makanan, tubuhnya mulai terasa sangat lemah. Rasa lapar mulai menggerogoti fisiknya hingga ia merasa tidak sanggup lagi berkonsentrasi. Akhirnya, ia memutuskan untuk keluar meninggalkan halaqah sejenak. Tujuannya hanya satu: mencari sesuatu untuk mengganjal perutnya.
Godaan di Lorong Kairo dan Pertarungan Batin
Abdullah berjalan tanpa tujuan menelusuri lorong-lorong kota Kairo. Ia mencari celah, berharap menemukan makanan yang bisa ia ambil tanpa izin. Keputusasaan hampir menguasai dirinya. Langkah kakinya kemudian terhenti di depan sebuah rumah yang pintunya sedikit terbuka. Dari celah pintu, ia melihat meja makan yang penuh dengan hidangan lezat.
Didorong oleh rasa lapar yang tak tertahankan, Abdullah menyelinap masuk. Tangannya dengan cepat mengambil dua potong roti. Namun, tepat saat ia hendak memasukkan roti itu ke dalam mulutnya, hatinya bergetar. Akal sehat dan imannya segera bergejolak. Ia teringat tujuan utamanya merantau ke Kairo. Ia datang untuk mencari ilmu.
Baginya, ilmu adalah cahaya (nur) dari Allah. Sedangkan mengambil hak orang lain adalah sebuah kegelapan (zhulm). Ia sadar nur dan kegelapan tidak akan pernah bisa menyatu dalam satu wadah. Jika cahaya Allah dipaksa bersatu dengan kegelapan maksiat, salah satunya pasti akan kalah. Dan yang sering kali terkalahkan adalah cahaya itu sendiri. Dengan hati yang mantap, ia meletakkan kembali dua potong roti itu ke tempatnya semula. Ia memilih untuk menahan lapar daripada menodai hatinya dengan perbuatan haram. Abdullah pun kembali ke masjid untuk melanjutkan pelajarannya.
Jawaban Tak Terduga dari Sang Guru
Abdullah kembali duduk di halaqah-nya dengan perut kosong. Ia berusaha fokus pada penjelasan guru hingga pelajaran selesai. Sesaat sebelum majelis bubar, seorang perempuan datang menemui sang guru. Mereka berbicara sebentar dengan serius, namun para murid tidak bisa mendengar percakapan itu.
Setelah perempuan itu pergi, sang guru memandang seluruh muridnya. Pandangannya kemudian berhenti pada Abdullah. Sang guru memanggilnya dan bertanya dengan lembut.
”Hai Abdullah maukah engkau menikah?”
Abdullah tersenyum getir mendengar pertanyaan itu. Ia menjawab, “Wahai guruku! Apakah engkau sengaja meledekku?, jangankan untuk menikah, saya saja sudah tiga hari tidak makan karena tidak ada belanja, lalu bagaimana mungkin aku akan menikah?”
Sang guru tersenyum bijak. Beliau lalu menjelaskan, “Wanita yang datang kepadaku tadi adalah seorang janda yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya. Mereka adalah keluarga baik-baik, dan mereka punya seorang anak perempuan shalihah yang menjadi pewaris tunggal kekayaan orang tuanya. Dia ingin mencarikan suami untuk anaknya sekaligus sebagai pelanjut usahanya, seorang laki-laki yang shalih yang tidak pernah menyentuh sesuatu yang haram. Dan aku melihat bahwa engkaulah orang yang paling tepat untuk itu.”
Buah Manis Kesabaran: Roti Halal dan Pernikahan Berkah
Abdullah tertegun mendengar penjelasan gurunya. Atas dorongan dan keyakinan dari sang guru, akhirnya ia menerima tawaran mulia tersebut. Tanpa menunggu lama, Abdullah bersama teman-temannya diantar menuju rumah wanita itu. Mereka akan menjadi saksi akad nikah sekaligus merayakan pesta pernikahan sederhana.
Betapa terkejutnya Abdullah saat menyadari bahwa rumah yang ia masuki adalah rumah yang sama tempat ia hampir mengambil roti secara haram. Saat hidangan pernikahan disajikan di hadapannya, air matanya tiba-tiba mengalir deras. Teman-temannya menjadi heran melihatnya menangis di hari bahagianya.
Salah seorang dari mereka bertanya, “Hai Abdullah! Kenapa engkau menangis? Apakah engkau menangis karena merasa terpaksa menikah?”
Sambil menyeka air matanya, Abdullah menjawab, “Tidak, aku menangis karena beberapa saat yang lalu saya datang dan masuk ke rumah ini untuk mengambil makanan dengan cara yang haram, lalu saya ingat akan Allah kemudian saya meninggalkannya kembali. Namun, justru karena itu Allah swt mengembalikan makanan itu kepada saya, bahkan menambah dengan yang lebih besar dan mulia dari itu.”
Kisah ini menjadi bukti nyata bahwa Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan kesabaran dan ketakwaan hamba-Nya. Ketika Abdullah meninggalkan sesuatu yang haram karena Allah, Allah menggantinya dengan rezeki yang halal, berkah, dan jauh lebih mulia dari apa yang pernah ia bayangkan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
