Oleh: Masykurudin Hafidz, Direktur Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD)
SURAU.CO – Pemisahan pemilu nasional dan lokal oleh Mahkamah Konstitusi (MK) mempertegas kembali bahwa regulasi pemilu tidak pernah lestari. Seperti kata Heraclitus, tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Undang-undang pemilu nyatanya hanya dapat berlaku maksimal dua kali gelaran sejak reformasi. Kini, tantangan baru muncul: menjaga kesinambungan pemilu yang terpisah.
Pengalaman pemilu lima kotak dan pilkada serentak tahun 2024 memang menyebabkan KPU dan Bawaslu terengah-engah. Melaksanakan tahapan yang berhimpitan berdampak langsung pada kualitas penyelenggaraan. Ditambah dengan pengalaman keserentakan pemilu pada 2019, MK memutuskan untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) yang lebih dalam. Pengalaman empiris di mana beban kerja penyelenggara mengakibatkan banyak korban jiwa, partai politik yang tertatih-tatih, serta kejenuhan pemilih menjadi pertimbangan utama. Namun, putusan MK ini juga membuka ruang kosong terkait syarat keikutsertaan partai politik, syarat pencalonan kepala daerah, hingga kesinambungan perencanaan program pemerintah pusat dan daerah.
Menyelesaikan Persoalan Subtansial, Bukan Sekadar Mengganti Sistem
Perubahan undang-undang pemilu tidaklah haram. Akan tetapi, melakukan perbaikan menyeluruh dari setiap persoalan juga wajib kita lakukan. Ibarat bepergian, mengganti kendaraan yang rusak hanyalah sarana untuk mencapai tujuan. Di antara persoalan utama pemilu kita adalah tingkat pendidikan politik yang rendah serta penegakan keadilan yang lemah. Keduanya tidak cukup kita selesaikan hanya dengan mengubah satu sistem pemilu ke sistem lainnya.
Sepanjang politik hanya kita maknai sebagai perebutan kekuasaan dan pemilih hanya menjadi objek elektoral, maka kualitas pemilih tidak akan bisa tahan dari segala godaan. Dan sepanjang penegakan hukum hanya menjadi slogan, maka politik transaksional akan semakin tak terkendali. Dua problem utama tersebut akan tetap ada, apa pun sistem pemilu yang berlaku. Pilihan sistem tertentu akan berhasil jika persoalan substansial pemilu juga kita selesaikan bersamaan.
Apapun sistem pemilunya, kesinambungan antara pra-pemilu, saat pemilu, dan pasca-pemilu mutlak kita lakukan untuk memperkuat kualitas demokrasi. Kesinambungan antara pelembagaan peserta pemilu, program yang mereka tawarkan, dan kecerdasan pemilih adalah rangkaian yang tak terpisahkan.
Pemilu sebagai Momentum Pengambilan Keputusan
Pemilu sejatinya adalah momentum pertama dalam pengambilan keputusan. Pemilih mewakilkan kepentingannya untuk disepakati dalam keputusan kolektif. Dengan demikian, sistem pemilu mewajibkan penyelenggara dan aktor politik untuk mewujudkan pemilih yang terdidik, mencalonkan kandidat berdasarkan kapasitas, dan menyusun penegakan hukum yang efektif. Awal mula kualitas demokrasi justru terjadi setelah pemilu usai, yaitu bagaimana tawaran pemenang pemilu diterjemahkan sesuai kehendak rakyat pemilih.
Oleh karena itu, perbaikan undang-undang pemilu semestinya kita selaraskan dengan peningkatan kualitas partai politik, kelembagaan perwakilan rakyat, dan tata kelola pemerintahan daerah. Jika jalur ini kita tempuh, sejatinya pembahasan perubahan undang-undang pemilu tidak boleh kita tunda. Pembahasan sedini mungkin penting untuk merangkum masukan publik sekaligus melakukan perbaikan jangka panjang. Tidak perlu khawatir stabilitas koalisi akan terganggu. Bahkan, ini bisa menjadi usaha untuk mewujudkan konsolidasi demokrasi yang bermutu. Tinggalkan pengalaman menyelesaikan regulasi di menit-menit terakhir, karena itu hanya akan menghasilkan undang-undang yang berantakan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
