Politik
Beranda » Berita » Pemakzulan Pemimpin dalam Pandangan Islam

Pemakzulan Pemimpin dalam Pandangan Islam

Pemakzulan Pemimpin dalam Pandangan Islam
Pemakzulan Pemimpin dalam Pandangan Islam dibenarkan, namun prosesnya memerlukan kebijaksanaan, kesabaran, dan keikhlasan, agar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada masalah yang hendak diatasi. Pemimpin adalah amanah, dan umat memiliki tanggung jawab untuk memastikan amanah itu dijalankan dengan benar. Gambar : AI

Pemakzulan Pemimpin dalam Pandangan Islam

SURAU.CO – Kata “pemakzulan” cukup populer ditelinga masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Permintaan pemakzulan Wakil Presiden Iondonesia oleh kelompok tertentu ramai menghiasi wacana jagat politik kita. Paling segar menghiasi sajian media hari ini adalah  demonstrasi massa di Kabupaten Pati Jawa Tengah yang menginginkan mundurnya Bupati Sudewo. Gejolak politik tersebut adalah beberapa contoh bentuk atau upaya pemakzulan seorang pemimpin. Sebagai umat Islam, menarik melihatnya dari perspektif Islam.

Dalam sejarah peradaban manusia, sejatinya kepemimpinan adalah unsur penting yang menentukan arah kehidupan suatu masyarakat atau negara. Islam sebagai agama yang sempurna (kaffah) tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dan Allah, tetapi juga memberikan pedoman dalam hubungan sosial dan politik, termasuk mengenai kepemimpinan.

Pemimpin dalam Islam memiliki amanah besar untuk menegakkan keadilan, melindungi rakyat, dan menjaga nilai-nilai syariat. Namun, bagaimana jika seorang pemimpin tidak lagi menjalankan tugasnya sesuai ajaran Islam atau justru menimbulkan kerusakan? Apakah Islam membenarkan pemakzulan atau pemberhentian seorang pemimpin?

Artikel ini akan membahas konsep pemakzulan pemimpin dalam perspektif Islam, dasar hukumnya, syarat dan mekanismenya, serta pandangan ulama dari berbagai mazhab.

Dinamika Politik Islam Iran: Dari Khilafah Syiah ke Negara Modern

Konsep Kepemimpinan dalam Islam

Dalam teori kepemimpinan, terdapat berbagai konsep atau model kepemimpinan. Demikian dalam model kepemimpinan Islam juga menganut dua konsep utama kepemimpinan yang khas, yaitu :

a. Kepemimpinan sebagai Amanah

Dalam Islam, kepemimpinan bukanlah hak istimewa yang dapat dinikmati untuk keuntungan pribadi, tetapi sebuah amanah yang berat. Rasulullah bersabda:

“Pemimpin adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Amanah ini mencakup kewajiban menjaga agama, melindungi rakyat, menegakkan hukum, dan memastikan keadilan.

Mesir dalam Lintasan Zaman: Antara Firaun, Khalifah, dan Demokrasi

b. Tujuan Kepemimpinan

Kepemimpinan dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat (maslahah al-ummah) dan mencegah kerusakan (mafsadah). Pemimpin yang gagal memenuhi tujuan ini berpotensi kehilangan legitimasi.

Tentang Pemakzulan Pemimpin

Menurut pengertian umum, pemakzulan adalah proses pemberhentian pejabat publik, khususnya kepala negara atau pejabat tinggi negara, dari jabatannya sebelum masa jabatan berakhir. Proses ini biasanya melibatkan parlemen atau badan legislatif yang mengajukan tuntutan dan melakukan persidangan untuk menentukan apakah pejabat tersebut bersalah atas pelanggaran hukum atau tindakan tercela yang membuatnya tidak layak lagi untuk menjabat. 

Selain “pemakzulan”, sering juga menggunakan istilah “impeachment” dalam bahasa Inggris. Dan dalam konteks Indonesia, sering menggunakan “pemberhentian” sebagai sinonimnya. Pemakzulan bertujuan untuk menjaga akuntabilitas pejabat publik dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Jadi, sejatinya pemakzulan adalah sesuatu yang sifatnya konstitusional dalam praktek pemerintahan.

Dasar Hukum Pemakzulan di Indonesia

Pemakzulan (atau pemberhentian) presiden dan wakil presiden sebelum masa jabatannya berakhir adalah mekanisme konstitusional yang tersedia di Indonesia. Meskipun tidak menyebut secara eksplisit sebagai “pemakzulan” dalam UUD 1945, namun ketentuan mengatur proses ini dengan jelas sebagai upaya menjaga integritas pemerintahan dan supremasi hukum negara.

Politik Identitas dalam Pandangan Islam: Antara Persatuan dan Perpecahan

Landasan konstitusionalnya di UUD 1945 adalah Pasal 7A UUD 1945. Pasal ini memberikan wewenang kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden sebelum masa jabatannya berakhir—namun hanya atas usul dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan demikian, DPR memiliki peran awal dalam inisiasi pemberhentian pemimpin negara.

Pasal 7A menyebutkan beberapa kondisi yang dapat menjadi dasar pemberhentian tersebut, yaitu:

  1. Terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara,
  2. Terlibat dalam korupsi, penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya,
  3. Melakukan perbuatan tercela,
  4. Atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden

Dasar Hukum Pemakzulan Dalam Islam

Al-Qur’an memerintahkan umat untuk taat kepada Allah, Rasul, dan ulil amri (pemegang kekuasaan):

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu.”
(QS. An-Nisa [4]: 59)

Namun, ketaatan ini bersyarat: selama pemimpin tidak memerintahkan kemaksiatan. Jika ia memerintahkan kemaksiatan, maka tidak ada kewajiban taat.

b. Hadis Nabi

Rasulullah bersabda:

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Sang Pencipta.”
(HR. Ahmad, al-Hakim)

Hadis ini menjadi salah satu landasan bahwa pemimpin yang secara nyata memerintahkan kemungkaran atau menyalahi syariat dapat kehilangan hak untuk ditaati.

c. Ijma’ dan Pendapat Ulama

Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan dan prosedur pemakzulan pemimpin. Namun, mayoritas sepakat bahwa pemimpin yang kufur bawwah (kekufuran yang nyata dan terbukti) dapat dimakzulkan, dengan syarat dan mekanisme tertentu untuk menghindari fitnah dan kerusakan yang lebih besar.

Syarat Pemimpin dan Alasan Pemakzulan dalam Islam

Dalam literatur fiqih siyasah (fiqh politik Islam), seorang pemimpin idealnya memiliki syarat-syarat berikut:

  1. Muslim dan beriman kepada Allah serta Rasul-Nya.
  2. Laki-laki, berakal sehat, dan baligh.
  3. Adil dan amanah.
  4. Memiliki kemampuan memimpin dan mengambil keputusan.
  5. Menguasai ilmu agama yang cukup untuk menegakkan syariat.

Jika salah satu syarat utama ini hilang, terutama sifat adil dan kemampuan memimpin, sebagian ulama berpendapat bahwa bisa melakukan. Para ulama menyebutkan beberapa alasan yang dapat menjadi dasar pemakzulan pemimpin:

a. Kekufuran yang Nyata (Kufr Bawwah)

Jika pemimpin melakukan kekufuran yang jelas dan terang-terangan, maka kewajiban taat gugur. Hadis Nabi :

“Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti dari Allah.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)

b. Pelanggaran Berat terhadap Syariat

Jika pemimpin menolak hukum Allah, menggantinya dengan hukum yang bertentangan, atau memerintahkan kemaksiatan secara sistematis.

c. Tidak Mampu Menjalankan Amanah

Jika pemimpin kehilangan kemampuan untuk memimpin secara efektif, baik karena faktor fisik, mental, atau moral.

d. Menimbulkan Kerusakan Besar

Jika kebijakan dan tindakannya menyebabkan kerusakan (mafsadah) yang lebih besar daripada manfaatnya, termasuk kezaliman dan pelanggaran hak rakyat.

Mekanisme Pemakzulan Menurut Islam

a. Mengedepankan Nasihat dan Islah

Islam mengajarkan agar sebelum memakzulkan pemimpin, dilakukan nasihat secara baik (nashihah) melalui mekanisme yang sah. Rasulullah bersabda:

“Agama itu adalah nasihat… bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan rakyatnya.”
(HR. Muslim)

b. Melalui Ahlul Halli wal ‘Aqdi

Dalam fiqh siyasah, ahlul halli wal ‘aqdi adalah kelompok orang yang memiliki otoritas dan kapasitas untuk memilih atau memberhentikan pemimpin, biasanya terdiri dari ulama, tokoh masyarakat, dan pejabat penting. Mereka menilai apakah pemimpin layak mengalami pemakzulan atau tidak.

c. Menghindari Fitnah dan Kekacauan

Pemakzulan tidak boleh dilakukan secara gegabah, apalagi jika berpotensi menimbulkan kekacauan (fitnah) yang lebih besar. Prinsip dar’ul mafasid (mencegah kerusakan) harus diutamakan.

Pandangan Ulama dari Berbagai Mazhab

a. Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi berpendapat pemimpin yang zalim tetap wajib ditaati selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Pemakzulan dilakukan jika ia kufur atau kehilangan kemampuan memimpin secara total.

b. Mazhab Maliki

Ulama Maliki membolehkan pemakzulan jika pemimpin melakukan kezaliman yang nyata dan terus-menerus, atau melanggar prinsip dasar syariat.

c. Mazhab Syafi’i

Mazhab Syafi’i menekankan pentingnya stabilitas. Pemakzulan dilakukan hanya jika pemimpin kufur bawwah atau mengabaikan kewajiban agama secara terang-terangan.

d. Mazhab Hanbali

Mazhab Hanbali memiliki pandangan serupa dengan Syafi’i, tetapi lebih menekankan pentingnya menghindari pertumpahan darah dalam proses pemakzulan.

Pelajaran dari Sejarah Islam

a. Pemakzulan Khalifah Utsman bin Affan

Khalifah Utsman dimakzulkan oleh kelompok pemberontak karena tuduhan nepotisme dan ketidakpuasan terhadap kebijakan beliau. Peristiwa ini menjadi pelajaran penting bahwa pemakzulan yang tidak melalui prosedur sah dapat berujung pada fitnah besar.

b. Pemakzulan pada Era Kekhilafahan Abbasiyah dan Utsmaniyah

Sejarah mencatat beberapa khalifah dimakzulkan karena kelemahan fisik, intrik politik, atau tekanan kelompok kuat. Namun, proses ini seringkali sarat kepentingan politik, sehingga tidak selalu sesuai prinsip syariat.

Prinsip Utama Pemakzulan Pemimpin Dalam Islam

Pemakzulan pemimpin dalam Islam bukanlah perkara ringan. Islam mengajarkan agar menghormati pemimpin dan menaati selama ia tidak memerintahkan kemaksiatan atau melakukan kekufuran yang nyata. Jika syarat-syarat kepemimpinan tidak lagi terpenuhi, pemakzulan bisa menjadi opsi, tetapi harus dengan pertimbangan matang, melalui mekanisme yang sah, dan dengan tujuan menjaga kemaslahatan umat.

Pemakzulan pemimpin mesti memperhatikan prinsip-prinsip penting sebagai berikut :

  1. Legitimasi Syariat – Pemakzulan harus memiliki dasar hukum yang jelas menurut syariat.
  2. Kemaslahatan Umat – Tujuannya untuk melindungi umat dari kerusakan yang lebih besar.
  3. Proses yang Tertib – Melibatkan ahlul halli wal ‘aqdi, bukan tindakan sepihak atau pemberontakan.
  4. Menghindari Fitnah – Mempertimbangkan dampak sosial, politik, dan keamanan.

Proses ini memerlukan kebijaksanaan, kesabaran, dan keikhlasan, agar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari masalahnya. Pemimpin adalah amanah, dan umat memiliki tanggung jawab untuk memastikan para pemimpin menjalankan amanah itu dengan benar.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement