Opinion
Beranda » Berita » Fenomena Prank: Antara Hiburan, Etika, dan Syariat

Fenomena Prank: Antara Hiburan, Etika, dan Syariat

Fenomena Prank: Antara Hiburan, Etika dan Syariat
Ilustrasi reaksi seseorang kena prank. Sumber foto: Meta AI

SURAU.CO. Dalam era media sosial yang semakin berkembang, konten prank telah menjelma menjadi salah satu jenis hiburan paling populer. Para kreator konten secara aktif memproduksi video prank untuk menarik perhatian warganet, baik sebagai bentuk hiburan semata maupun sebagai strategi untuk mendulang popularitas dan keuntungan finansial. Namun, di balik gelak tawa penonton, praktik ini kerap menimbulkan dilema etis, terutama ketika lelucon tersebut mengarah pada tindakan yang melukai fisik maupun psikologis korban.

Beberapa pelaku prank secara sadar merancang skenario yang bersifat manipulatif, mempermalukan, atau menakut-nakuti target mereka. Akibatnya, tidak sedikit korban prank merasa tersinggung, trauma, bahkan mengalami kecelakaan. Prank yang melibatkan unsur kekerasan simbolik atau fisik, seperti menyamar menjadi hantu, membuat jebakan panik, atau mempermainkan perasaan seseorang, menciptakan kerugian sosial yang nyata dan melahirkan keresahan publik.

Prank adalah bentuk candaan atau gurauan yang sering kali diatur untuk membuat orang lain merasa kaget atau malu. Istilah ini berasal dari bahasa Inggris yang berarti lelucon atau olok-olok. Prank seringkali melibatkan skenario yang tampak serius, tetapi pada akhirnya terungkap sebagai lelucon. Banyak orang menikmati menonton konten prank karena unsur hiburannya. Berpijak dari pendefinisian tersebut, ngeprank sebenarnya identik dengan menjahili, membuat usil orang lain.

Lalu, bagaimana Islam memandang fenomena prank ini?

Prank Bukan Fenomena Baru

Praktik menjahili atau membuat lelucon sebenarnya bukan fenomena baru. Dalam sejarah Islam, perilaku serupa telah terjadi bahkan pada masa Nabi Muhammad SAW. Nu‘aiman bin Amr, seorang sahabat Nabi, terkenal dengan kejenakaannya yang lucu dan menghibur.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Ia sering melakukan prank dengan cara yang tidak menimbulkan mudarat atau menyakiti orang lain. Dalam sebuah riwayat, Nu‘aiman pernah membelikan madu untuk Rasulullah SAW tanpa membayarnya terlebih dahulu, lalu meminta pedagang madu itu untuk langsung menagih kepada Nabi.

Dikisahkan pada suatu ketika, Nu’aiman yang melihat pedagang madu kemudian menghampiri dan mengajaknya ke rumah Rasulullah SAW. Ketika sampai di depan kediaman Rasulullah SAW, Nu’aiman pun, meninggalkan pedagang madu tersebut.

Namun, sebelum meninggalkan pedagan madu itu, Nu’aiman mengatakan, “Aku akan pergi karena masih ada urusan. Sebentar lagi penghuni rumah itu akan keluar dan membayar kepadamu harga madu itu,” Pedagang madu itu pun kemudian mengetuk pintu rumah Rasulullah SAW dan memberikan madu tersebut kepadanya.

Rasulullah merasa tersentuh ketika menerima madu yang dianggapnya hadiah untuknya. Rasulullah pun membagikan madu-madu itu kepada para sahabatnya yang lain. Ketika beliau sedang membagikan madunya, sang penjual madu berteriak, “Wahai Rasul! Bayarlah madu itu!”

Rasulullah yang mendengar itu sedikit terkejut dan langsung memahami situasi. “Ini pasti perbuatan Nu’aiman,” kata beliau sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak lama setelah kejadian itu, Rasulullah pun memanggil Nu’aiman untuk menemuinya. Beliau meminta penjelasan maksud di balik perilaku Nu’aiman tersebut.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Namun, justru jawaban yang datang dari Nu’aiman lagi-lagi mengukirkan senyum di wajah Rasulullah SAW. Nu’aiman berkata, “Aku ingin berbuat baik kepadamu, Ya Rasul. Tapi aku tidak punya apa-apa,”.

Rasulullah, meskipun terkejut, tidak menunjukkan kemarahan. Sebaliknya, beliau merespons kejadian itu dengan senyum dan pemahaman. Reaksi seperti ini menunjukkan bahwa selama lelucon tidak melanggar batas adab dan syariat, Islam memberikan ruang bagi candaan yang sehat dan membangun.

Respons Rasulullah SAW terhadap Prank

Rasulullah SAW memberikan teladan yang luar biasa dalam menghadapi candaan atau prank. Beliau tidak menolak humor, bahkan dalam beberapa hadis, beliau pun turut bercanda dengan para sahabat dan keluarganya. Akan tetapi, Rasulullah selalu menjaga nilai-nilai kebenaran, kesopanan, serta tidak pernah melewati batas-batas syariat dalam bersenda gurau.

Tidak hanya sekali, Rasulullah menjadi sasaran prank dari Nuaiman. Ketika Nu‘aiman kembali melakukan prank dengan memberikan makanan kepada Nabi dan para sahabat, kemudian menyodorkan penjualnya kepada Rasulullah untuk dibayar, beliau tetap bersikap sabar. Rasulullah bahkan mengajak sahabat lain untuk turut menanggung biaya makanan tersebut, memperlihatkan sikap beliau yang mengedepankan solusi, bukan konflik.

Pandangan Islam terhadap Prank

Islam membolehkan bercanda dan lelucon dalam interaksi sosial, tetapi dengan syarat tetap menghormati adab dan etika. Islam melarang prank yang menipu, mengintimidasi, atau mempermalukan orang lain karena tindakan tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam. Prank yang dapat diterima dan tidak menimbulkan kerugian atau ketidaknyamanan bagi orang lain diperbolehkan dalam Islam. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan dampak dari setiap lelucon atau prank sebelum melakukannya.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Islam mengatur bahwa candaan hendaknya tidak mengandung unsur berikut:

Ketakutan dan Kejutan yang Berlebihan

Rasulullah SAW secara tegas melarang tindakan yang menakut-nakuti orang lain, bahkan dalam konteks bercanda. Rasulullah bersabda, “Tidak halal bagi seorang Muslim menakut-nakuti Muslim yang lain.” (HR. Abu Dawud)

Dari Abdurrahaman Bin Abu Laila, beliau berkata, para sahabat Nabi Muhammad SAW bermusafir bersama baginda. Salah seorang dari mereka tertidur lalu ada sebahagian sahabat yang mengambil dan menarik tali yang ada bersamanya sehingga orang yang tidur itu terkejut, maka Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim membuat saudara muslimnya terkejut.”  (Sunan Abi Daud)

Target Tidak Menerima Candaan

Jika sasaran prank merasa tersinggung, marah, atau tidak ridha, maka candaan tersebut termasuk dalam kategori yang dilarang dan harus dihindari. Rasulullah melarang mengambil barang orang lain walau dalam konteks bercanda, karena dapat menimbulkan gangguan emosional.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, baik bercanda maupun serius.” (HR Abu Dawud, hasan)

Maksudnya mengambil barang dengan tujuan main-main, Syaikh Muhammad Al-Mubarakfuri berkata, “Yaitu mengambil barang untuk tujuan bermain-main saja.”   [Tuhfatul Ahwadzi 2/316]

Bahkan dapat menyebabkan seseorang marah dan tidak ridha, Muhammad Aabadiy berkata, “Larangan mengambil barang untuk bercanda karena tidak ada faidah/manfaatnya bahkan bisa menyebabkan marah dan terganggunya orang yang memiliki barang tersebut.”  [‘Aunul Ma’bud 13/236]

Prank yang Membahayakan dan Berpotensi Menyakiti

Islam mengharamkan prank yang berujung celaka, baik secara fisik maupun mental, karena dapat menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi orang lain. Seseorang dilarang menggunakan senajata tajam atau alat yang dapat mencelakakan orang lain dalam melakukan candaan. Islam menekankan pentingnya menjaga keselamatan dan kesejahteraan orang lain.

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu meriwayatkan sebuah hadis dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tidak boleh bagi salah seorang dari kalian mengarahkan atau mengacungkan senjata tajam kepada saudaranya, karena dia tidak tahu bisa jadi syaitan mengganggu tangannya sehingga dia bisa terjatuh kedalam kubangan api neraka”.

Mengenai hadits tersebut, Al-Hafiz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa terdapat larangan dari segala sesuatu yang bisa menghantarkan kepada semua yang terlarang, walaupun yang sesuatu terlarang tersebut tidak terjadi, baik itu ketika bercanda atau serius.

Mengandung Ejekan atau Merendahkan Martabat

Al-Qur’an dengan jelas melarang perbuatan merendahkan orang lain. Firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 11 mengingatkan bahwa melecehkan sesama bisa mengarah pada perbuatan zalim.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS Al-Hujurat: 11)

Mengandung Kebohongan dan Ghibah

Rasulullah SAW sangat mengecam lelucon yang bersifat dusta. Islam melarang candaan yang mengandung ghibah dan merupakan dosa besar.

Dalam salah satu hadis diriwayatkan dari Bahz bin Hakîm dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Celakalah orang yang mengucapkan sebuah perkataan dusta untuk membuat orang tertawa. Celakalah dia, Celakalah dia’.”

Kemudian, dalam riwayat Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersadba, “Ketika saya diangkat ke langit (dalam peristiwa isra’ dan Mi’raj), saya melalui satu kaum yang memiliki kuku panjang terbuat dari tembaga, mereka mencakar wajah dan dada mereka, maka saya berkata, ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril? Jibril Alaihissallam menjawab, ‘Mereka adalah orang yang memakan daging manusia dan mencela kehormatan mereka”.

Adab dalam Bercanda menurut Islam

Islam tidak melarang umatnya untuk bersenda gurau. Justru, candaan yang sehat dapat menciptakan keakraban sosial dan memperkuat ikatan antarindividu. Menurut laman Majelis Ulama Indonesia, Rasulullah SAW mengajak istri serta sahabatnya untuk saling bercanda dengan orang lain. Tujuannya adalah membantu orang lain menjadi lebih bahagia melalui interaksi yang menyenangkan. Sahabat Nabi Muhammad SAW di lain kesempatan juga melakukan candaan agar suasana menjadi cair. Dengan cara ini, Rasulullah SAW menunjukkan bahwa humor dan kebahagiaan dapat menjadi sarana untuk mempererat hubungan sosial.

Namun, Islam memberikan pedoman yang jelas agar humor tidak kehilangan nilai adab. Di antara adab bercanda dalam Islam adalah: tidak menyertakan nama Allah SWT dalam konteks bercanda, tidak berdusta atau menyebarkan informasi palsu, tidak mencederai perasaan atau fisik orang lain, menghindari candaan yang tidak disukai orang lain, tidak berkata dan bersikap yang konotasinya buruk, serta menjaga batas kesopanan dan tidak tertawa berlebihan.

Aisyah RA menuturkan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah tertawa terbahak-bahak, melainkan hanya tersenyum, menunjukkan bahwa bahkan dalam humor, beliau tetap menjaga kehormatan diri. Aisyah RA, “Aku belum pernah melihat Rasulullah SAW tertawa terbahak-bahak hingga kelihatan lidahnya, namun beliau hanya tersenyum.”

Menakar Batas Candaan dalam Perspektif Islam

Prank, sebagai bentuk hiburan kontemporer, hanya dapat dibenarkan jika tidak bertentangan dengan nilai-nilai keadaban dan etika Islam. Islam tidak menolak humor, namun mengatur agar candaan dilakukan dengan tanggung jawab dan mempertimbangkan perasaan serta keselamatan orang lain. Prank yang menyenangkan tanpa menyakiti akan mempererat hubungan sosial, tetapi prank yang menyinggung atau membahayakan jelas dilarang dan berdosa.

Melalui kisah sahabat Nu‘aiman dan sikap Nabi Muhammad SAW, kita belajar bahwa bercanda boleh saja, asalkan tidak melanggar prinsip keadilan, empati, dan tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, sebelum melakukan prank, seseorang wajib mempertimbangkan dampak psikologis dan etis terhadap orang lain. Karena dalam Islam, akhlak lebih utama daripada sekadar tawa.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement