SURAU.CO – Pemilu adalah pesta rakyat. Di dalamnya, setiap suara dihitung, setiap pilihan dihargai, dan setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk menentukan arah masa depan bangsa. Namun, tak bisa dimungkiri, masih banyak masyarakat yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya, atau yang biasa disebut dengan golput (golongan putih).
Sebagian besar orang memandang golput sebagai bentuk protes yang sah. Sebagian lainnya menilainya sebagai sikap apatis terhadap negara. Namun di tengah semua hal itu, muncul satu pertanyaan penting: bagaimana sebenarnya Islam memandang fenomena ini? Apakah diam dalam urusan politik merupakan pilihan yang diperbolehkan?
Hak Pilih sebagai Amanah
Islam memandang kepemimpinan sebagai suatu hal yang sangat serius. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (QS. An-Nisa: 58). Ayat ini menegaskan bahwa kita harus menjalankan hak memilih pemimpin sebagai bentuk amanah yang mulia.
Ketika seorang Muslim memiliki hak suara dalam pemilu, maka ia memegang amanah besar yang akan menentukan arah bangsa, menegakkan keadilan sosial, dan membentuk masa depan generasi mendatang. Jika seseorang memilih untuk golput, maka ia justru mengabaikan tanggung jawab sosial dan moral yang seharusnya ia emban.
Meneladani Nabi dalam Berdemokrasi
Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW sangat menaruh perhatian terhadap kepemimpinan. Bahkan, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai tanggung jawab atas yang dipimpinnya.”
Hadis ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang berada di tampuk kekuasaan, tetapi juga bagi setiap individu yang mempunyai pengaruh, sekecil apa pun itu. Termasuk dalam memilih pemimpin.
Jika kita meneladani sikap Nabi, maka kita seharusnya tidak berdiam diri saat umat membutuhkan suara dan keterlibatan kita. Dalam konteks demokrasi, kita dapat memberikan kontribusinya melalui hak suara di bilik suara. Itulah salah satu bentuk nyata dari peran seorang Muslim dalam mewujudkan kemaslahatan umat.
Golput: Hak yang Berisiko Menjadi Kelalaian
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin pernah menekankan pentingnya peran masyarakat dalam mengarahkan para pemimpin agar tetap berada di jalan yang lurus. Artinya, diam dan apatis bukanlah pilihan yang sesuai dengan semangat Islam.
Jika kita merasa kecewa pada kondisi politik saat ini, maka tugas kita adalah memperbaikinya, bukan menjauh. Jika tak ada calon yang sempurna, maka pilihlah yang paling sedikit mudaratnya.
Oleh karena itu, Islam tidak membenarkan golput sebagai bentuk netralitas. Justru sebaliknya, sikap pasif ini dapat menandakan pengabaian terhadap tanggung jawab sosial. Rasulullah pernah bersabda, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia memutar dengan tangan, jika tidak mampu maka dengan lisan, dan jika tidak mampu juga maka dengan hati. Dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR.Muslim)
Ketika kita memilih untuk diam padahal kita mampu bertindak, maka kita membiarkan kemungkaran tetap terjadi. Golput bisa termasuk bentuk diam yang justru memperkuat kemungkaran di ruang kekuasaan.
Kesadaran Umat Membunuh Golput
Istilah “matinya golput” tidak berarti kita harus membungkam hak orang untuk memilih atau tidak memilih. Sebaliknya, istilah ini menggambarkan bagaimana umat mulai menyadari bahwa diam bukanlah pilihan. Semakin banyak umat Islam yang memahami bahwa keterlibatan politik merupakan bagian dari ibadah sosial yang mulia.
Ketika masyarakat menggunakan suara untuk mendukung calon pemimpin yang jujur, berintegritas, dan berpihak pada keadilan, maka mereka telah menjalankan ajaran Islam secara nyata. Dalam kondisi seperti itu, golput kehilangan relevansi. Bukan karena tekanan, melainkan karena umat memilih untuk terlibat demi perubahan.
Islam dan Demokrasi: Titik Temu Nilai-Nilai
Sebagian besar orang masih berpikir, apakah Islam sejalan dengan demokrasi? Padahal, jika kita menilik nilai-nilainya, demokrasi dan Islam memiliki titik temu yang kuat, seperti musyawarah , keadilan, dan tanggung jawab. Dalam QS. Asy-Syura ayat 38, Allah memuji orang-orang yang menyelesaikan urusan mereka melalui musyawarah.
Demokrasi memberi ruang bagi rakyat untuk bersuara dan memilih pemimpin secara terbuka. Selama kita menjaga prinsip-prinsip syariah dan akhlak Islam, maka kita justru perlu menggunakan sistem ini untuk memperjuangkan nilai-nilai kebaikan di ruang publik.
Islam tidak pernah mengajarkan kita untuk diam ketika kebenaran harus kita perjuangkan. Mari kita jadikan “matinya golput” sebagai tanda bahwa kesadaran telah bangkit, dan umat siap mengambil peran dalam menentukan masa depan.
Diam bukan pilihan. Suara kita, harapan bangsa.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.