Meneladani Kesederhanaan: Bagaimana Hidup Hemat Ala Sahabat Nabi
SURAU.CO – Di tengah derasnya arus materialisme modern, konsep hidup hemat seringkali disalahartikan. Banyak orang menganggapnya sebagai bentuk kekurangan atau keterbatasan. Padahal, jika kita menilik lebih dalam, hidup hemat adalah sebuah pilihan sadar. Ini merupakan seni mengelola rezeki dengan penuh kebijaksanaan. Lebih dari itu, ia adalah cerminan ketakwaan serta kesederhanaan dalam menjalani amanah kehidupan. Untuk menemukan teladan terbaik, kita tidak perlu mencari jauh. Cukup dengan menengok kehidupan para sahabat Nabi Muhammad SAW.
Mereka adalah generasi terbaik yang dibimbing langsung oleh Rasulullah. Sebagian dari mereka merupakan individu yang sangat berkecukupan secara finansial. Namun, mereka secara sadar memilih jalan hidup yang sederhana. Hal ini terjadi karena hati mereka lebih terpaut pada kebahagiaan akhirat daripada pesona dunia yang fana. Bagi mereka, harta bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk meraih ridha Allah.
Terkadang, kita terjebak dalam perlombaan tanpa akhir untuk memiliki lebih banyak. Melihat kembali cara para sahabat memandang dunia dapat menjadi rem yang kuat. Ini mengingatkan kita bahwa ketenangan sejati tidak terletak pada tumpukan harta, melainkan pada lapangnya dada dalam menerima ketetapan-Nya.
Berikut adalah beberapa tips hidup hemat ala sahabat Nabi yang sangat relevan untuk kita terapkan di zaman sekarang.
1. Memprioritaskan Kebutuhan di Atas Keinginan Berlebih
Figur pertama yang patut kita teladani adalah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah seorang pemimpin besar yang kekuasaannya membentang luas. Namun, kekuasaan tersebut tidak membuatnya silau. Justru, Umar dikenal sebagai sosok yang sangat sederhana dan hemat. Beliau hanya mengambil apa yang menjadi kebutuhan pokoknya saja. Sikap ini tergambar jelas dalam perkataannya yang masyhur. Umar pernah berkata, “Cukuplah bagiku dua pakaian; satu untuk siang dan satu untuk malam.”
Kutipan ini bukan sekadar kalimat. Ini adalah sebuah manifesto gaya hidup. Umar secara tegas membatasi pengeluarannya hanya untuk hal-hal yang benar-benar esensial. Beliau tidak pernah membiarkan keinginan sesaat mengalahkan kebutuhan hakiki. Oleh karena itu, kita bisa belajar banyak dari prinsip ini. Cobalah untuk membuat daftar kebutuhan harian, mingguan, hingga bulanan. Kemudian, pisahkan secara tegas mana yang termasuk kategori “butuh” dan mana yang sekadar “ingin”. Dengan demikian, kita dapat mengalokasikan dana secara lebih bijak dan terarah.
2. Membiasakan Diri dengan Pola Hidup Sederhana
Selanjutnya, mari kita belajar dari sahabat terdekat Nabi, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Sebelum menjadi khalifah, beliau adalah seorang pedagang sukses dan kaya raya. Namun, kekayaan itu tidak mengubah esensi dirinya. Bahkan setelah memegang tampuk kepemimpinan umat, Abu Bakar tetap memilih jalur kesederhanaan. Beliau tidak pernah memanfaatkan fasilitas negara secara berlebihan. Hatinya selalu dipenuhi dengan sikap qana’ah, yaitu merasa cukup dan bersyukur atas apa yang ada.
Sikap qana’ah inilah yang menjadi benteng pertahanan dari gaya hidup boros. Di era media sosial saat ini, kita sering terpapar gaya hidup mewah. Godaan untuk mengikuti tren demi gengsi sosial sangatlah besar. Akan tetapi, teladan Abu Bakar mengajarkan kita untuk menggunakan barang secukupnya. Kebahagiaan tidak diukur dari merek pakaian atau model gawai terbaru. Kebahagiaan sejati bersumber dari hati yang senantiasa merasa cukup.
Saya merenung, betapa seringnya kita membeli sesuatu bukan karena butuh, tetapi karena takut dianggap ketinggalan zaman. Kesederhanaan yang diajarkan Abu Bakar membebaskan kita dari penjara validasi sosial semacam itu.
3. Menjaga Amanah dan Menolak Keras Pemborosan
Sahabat lain yang menjadi lautan ilmu adalah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Beliau sangat menekankan betapa pentingnya menjaga harta. Baginya, harta adalah amanah dari Allah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Ali menegaskan bahwa pemborosan merupakan pintu gerbang menuju kefakiran. Ia berkata bahwa pemborosan adalah awal dari kefakiran. Pemborosan tidak hanya menghabiskan harta, tetapi juga menghilangkan keberkahannya.
Karena itu, para sahabat sangat berhati-hati dalam membelanjakan setiap dirham. Mereka memahami bahwa setiap sen yang dibelanjakan tanpa alasan yang benar adalah sebuah pengkhianatan terhadap amanah. Untuk menerapkannya, kita perlu menghindari pembelian impulsif. Biasakan membuat perencanaan sebelum berbelanja. Selain itu, kurangi kebiasaan boros seperti terlalu sering makan di luar atau membeli barang yang tidak perlu. Setiap rupiah yang kita hemat adalah bentuk penjagaan kita terhadap amanah dari Sang Pemberi Rezeki.
4. Rajin Bersedekah sebagai Bentuk Investasi Akhirat
Mungkin terdengar paradoks, namun bersedekah adalah salah satu pilar utama hidup hemat ala sahabat Nabi. Mereka tidak pernah menimbun harta untuk diri sendiri. Sebaliknya, mereka sangat gemar berbagi dan bersedekah. Lihatlah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, seorang saudagar yang sangat dermawan. Beliau menyumbangkan sumur Raumah untuk kepentingan publik. Beliau juga membiayai sepertiga pasukan dalam Perang Tabuk.
Meskipun sangat dermawan, Utsman tetap menjalani hidup yang hemat dan tidak bermewah-mewahan. Mengapa demikian? Karena para sahabat memahami bahwa harta yang sesungguhnya adalah harta yang diinfakkan di jalan Allah. Sedekah tidak akan mengurangi harta. Justru, ia menyucikan, memberkahkan, dan melipatgandakannya. Maka dari itu, sisihkanlah sebagian penghasilan untuk bersedekah. Kebiasaan berbagi ini adalah wujud rasa syukur yang akan melapangkan rezeki kita.
Pandangan penulis: Konsep ini mengubah total cara pandang kita tentang keuangan. Hemat bukan untuk menumpuk, tetapi agar kita punya ‘lebih’ untuk dibagikan. Ternyata, puncak dari keahlian finansial adalah kedermawanan.
5. Bertawakal Penuh dan Tidak Bergantung pada Dunia
Landasan dari semua tips di atas adalah kekuatan mental dan spiritual, yaitu tawakal. Para sahabat memiliki keyakinan yang kokoh. Mereka yakin bahwa rezeki setiap makhluk sudah diatur dan dijamin oleh Allah. Keyakinan ini membuat mereka tidak serakah dalam mengejar dunia. Mereka tetap bekerja keras dan berusaha secara maksimal. Namun, hati mereka tidak pernah bergantung pada hasil duniawi semata.
Hidup hemat yang mereka jalani adalah salah satu bentuk ketawakalan. Ini adalah cara mereka mengendalikan diri dari godaan dunia. Dengan memiliki mental qana’ah dan tawakal, hati akan senantiasa merasa damai. Kita tidak akan pernah merasa kurang meskipun secara materi hidup dalam kesederhanaan. Sikap ini membebaskan kita dari kecemasan finansial yang seringkali menghantui masyarakat modern.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
