SURAU.CO – Dalam wacana geopolitik klasik, kekuatan ekonomi, militer, dan letak geografis membentuk poros utama kebijakan global. Namun, dalam dekade terakhir, peta kekuatan dunia tidak lagi bergantung sepenuhnya pada senjata dan sumber daya. Agama, yang selama ini berada di ranah privat dan spiritual, kini muncul sebagai aktor strategi dalam arena geopolitik global. Dari konflik di Timur Tengah hingga dinamika kekuasaan di Asia Tengah dan Afrika, berbagai pihak mulai memfungsikan agama bukan hanya sebagai keyakinan, tetapi juga sebagai alat politik.
Transformasi Peran Agama dalam Politik Global
Agama sudah lama berperan dalam politik. Sejak Perang Salib hingga kolonialisme berbasis misi, kekuatan agama kerap dimanfaatkan untuk mempertahankan kekuasaan. Namun, saat ini, skala dan intensitas penggunaannya meningkat tajam. Di era digital dan globalisasi, jangkauan agama tidak hanya mencakup ruang pribadi, tetapi juga ruang publik, kebijakan negara, dan hubungan internasional.
Samuel P. Huntington dalam The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996) menegaskan bahwa peradaban dan identitas keagamaan akan menjadi sumber utama konflik dunia pasca-Perang Dingin. Ia menyatakan, “batas-batas antara peradaban yang berbeda, terutama berbasis agama, menjadi titik rawan benturan global.”
Negara-negara adidaya pun mulai menggunakan kekuatan lunak (soft power) berbasis agama. Arab Saudi menyebarkan Wahhabisme untuk memperluas pengaruhnya di dunia Islam. Iran mengandalkan Syiah sebagai jembatan ideologi dan politik ke Irak, Suriah, dan Lebanon melalui kelompok seperti Hizbullah. Turki di bawah Erdogan juga memanfaatkan pendekatan neo-Ottomanisme untuk menghidupkan kembali pengaruh Islam moderat versi Turki di kawasan Balkan dan Asia Tengah.
Agama dan Konflik Global
Banyak konflik bersenjata modern memuat dimensi keagamaan yang sangat kuat. Di Suriah, pertempuran yang terjadi tidak hanya melibatkan rezim dan oposisi, tetapi juga ketegangan antara Sunni dan Syiah, yang semakin parah akibat intervensi Arab Saudi dan Iran. Nigeria, kelompok Boko Haram mengusung narasi jihad untuk memperkuat ideologi dan melawan dominasi Barat. Di Myanmar, para elit politik memobilisasi umat Buddha untuk menekan Muslim Rohingya dan mendukung agenda etno-nasionalisme.
Gilles Kepel, peneliti radikalisme Islam dari Prancis, dalam bukunya Jihad: The Trail of Political Islam (2000), menyatakan bahwa “Islam politik bukan hanya gerakan keagamaan, tetapi juga gerakan geopolitik.” Dengan kata lain, banyak aktor politik menjadikan agama sebagai pembenaran ideologi dalam upaya merebut kekuasaan.
Geopolitik dan Perebutan Otoritas Keagamaan
Aktor-aktor negara terus bersaing dalam perebutan otoritas keagamaan. Arab Saudi dan Iran tidak hanya bersaing secara militer atau ekonomi, tetapi juga dalam menentukan siapa yang berhak mendefinisikan Islam. Arab Saudi menjaga legitimasi sebagai pusat dunia Sunni melalui otoritas atas dua kota suci. Iran menawarkan ideologi alternatif yang memadukan Syiah dengan semangat perlawanan terhadap Barat.
Di tingkat global, lembaga-lembaga keagamaan seperti Vatikan dan Al-Azhar juga memainkan peran penting dalam diplomasi internasional. Mereka menyuarakan sikap-sikap dalam isu-isu global seperti perubahan iklim, hak asasi manusia, dan perdamaian dunia. Vatikan, misalnya, ikut memediasi rekonsiliasi antara Kuba dan Amerika Serikat.
Agama dalam Strategi Politik Identitas
Banyak partai politik di negara-negara demokrasi menggunakan agama sebagai alat untuk menarik simpati pemilih. Mereka merancang strategi politik identitas berbasis agama untuk memperkuat basis dukungan. India di bawah BJP menguatkan ideologi Hindutva, Israel memperkuat Zionisme religius, dan india mengalami politik sektarian yang mengemuka dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Politikus kerap memaksakan batas antara keimanan dan kepentingan kekuasaan. Ketika elite politik menjadikan agama sebagai mesin politik, maka fanatisme lebih mudah tumbuh daripada toleransi. Padahal, agama sejatinya membawa pesan damai dan persatuan.
Tantangan dan Harapan
Penggunaan agama sebagai instrumen geopolitik menimbulkan konsekuensi serius. Di satu sisi, agama mampu membentuk solidaritas lintas negara. Namun di sisi lain, ekosistem agama dapat memicu konflik sektarian yang berkepanjangan. Jika berbagai pihak terus mempolitisasi agama, maka tatanan sosial global bisa hancur dan perdamaian dunia kian sulit tercapai.
Karen Armstrong, intelektual lintas agama, dalam bukunya Fields of Blood: Religion and the History of Violence (2014), menyatakan bahwa “agama tidak bisa disalahkan atas kekerasan; kekerasan muncul ketika agama dipolitisasi dan dipakai untuk tujuan duniawi.”
Mengembalikan Fitrah Agama
Jika kita mengelola agama secara bijak, maka agama bisa menjadi kekuatan positif untuk membangun perdamaian dan kerja sama global. Namun bila kita memanipulasinya demi kepentingan kekuasaan, maka agama justru akan menyulut konflik tanpa akhir. Dunia internasional—terutama tokoh agama dan organisasi lintas agama—perlu memperkuat narasi keagamaan yang inklusif, toleran, dan cinta damai.
Dalam geopolitik masa depan, agama tidak lagi hanya mencakup surga dan neraka, tetapi berkaitan dengan legitimasi, pengaruh, dan kekuasaan. Oleh karena itu, pertanyaannya bukan lagi apakah agama akan mempengaruhi politik global, melainkan bagaimana umat manusia mengarahkan pengaruhnya—untuk perdamaian atau untuk peperangan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
