SURAU.CO – Lempar jumrah merupakan salah satu ritual penting dalam ibadah haji. Dalam praktiknya, jamaah melempar batu kecil ke tiga tiang yang disebut jumrah, yaitu Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan Jumrah Aqabah. Jamaah melakukannya pada hari-hari Tasyrik (11–13 Dzulhijjah), setelah sebelumnya melempar Jumrah Aqabah pada 10 Dzulhijjah. Islam mengajarkan bahwa melempar jumrah termasuk ibadah ta’abbudiyah , yaitu ibadah yang dilakukan umat semata-mata karena perintah Allah, bukan karena alasan logistik tertentu.
Namun demikian, jika kita menelusuri lebih jauh, ritual ini memiliki akar sejarah yang kuat. Ia tidak hanya berasal dari kisah Nabi Ibrahim AS, tetapi juga menyimpan jejak tradisi Arab sebelum Islam. Dua sisi sejarah ini menampilkan bagaimana makna lempar jumrah terus berkembang hingga menjadi bagian penting dalam syariat Islam.
Warisan Nabi Ibrahim: Menolak Godaan Setan
Banyak ulama yang memaknai pelemparan jumrah sebagai simbol penolakan terhadap godaan setan. Kisah ini bermula dari peristiwa besar dalam kehidupan Nabi Ibrahim. Suatu ketika, malaikat Jibril mengantarkan Ibrahim menuju Mina untuk melaksanakan perintah Allah, yaitu menyembih anaknya. Di tengah perjalanan, setan muncul tiga kali di tiga lokasi berbeda untuk menggoda Ibrahim agar ia mengurungkan niatnya. Namun, Ibrahim tetap teguh. Ia mengambil tujuh kerikil lalu melemparkan setan hingga setan menghilang darinya.
Hadis riwayat Imam Ahmad menjelaskan kisah ini dengan cukup rinci. Rasulullah SAW bersabda bahwa Jibril mengajak Ibrahim ke Jumrah Aqabah. Saat setan menghadangnya, Ibrahim melemparkannya dengan tujuh batu hingga setan menghilang. Setan muncul lagi di dua titik berikutnya, dan Ibrahim terus melemparnya. Akhirnya, saat Ibrahim hendak menyembelih putranya, sang anak meminta ayahnya untuk mengikat tubuhnya agar ia tidak bergerak dan darahnya tidak memercik kepada sang ayah. Namun, sebelum pisau menyentuhnya, Allah memanggil Ibrahim dan mengatakan bahwa ia telah membenarkan mimpinya
Jejak Arab Jahiliah
Menariknya, ritual lempar jumrah juga menyimpan jejak dalam tradisi Arab sebelum Islam. Sejarawan klasik seperti Jawwad ‘Ali mencatat bahwa ‘Amr bin Luhayy—tokoh penyebar berhala di Jazirah Arab—pernah mengajarkan ritual serupa. Ia membawa tujuh berhala ke Mina, lalu menyuruh masyarakat untuk melempari masing-masing dengan tujuh kerikil. Anehnya, saat mereka melempar, mereka berseru, “Engkau lebih agung dari yang sebelumnya.” Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengusir setan, melainkan justru meja berhala.
Ibnu Hisyam dalam As-Sirah An-Nabawiyah juga mencatat bahwa ‘Amr bin Luhayy membawa berhala ke Makkah setelah ia melakukan perjalanan ke negeri Syam. Ketika ia tiba di Ma’ab, daerah Balqa’, ia melihat penduduk menyembah patung-patung dan meminta hujan serta kemenangan dari mereka. Karena tertarik, ia meminta salah satu berhala dan membawa pulang ke Makkah. Ia pun memperkenalkan penyembahan berhala kepada masyarakat Quraisy. Ia meletakkan patung Hubal di dalam Ka’bah dan menambahkan ratusan berhala lainnya hingga berjumlah 360. Seiring waktu, Hubal menjadi berhala yang paling diagungkan oleh Arab.
Dari situ, kita bisa menyimpulkan bahwa ritual-ritual warisan Nabi Ibrahim telah mengalami distorsi. Tradisi yang semula bertujuan menolak godaan setan berubah menjadi bagian dari penyembahan berhala. Itulah yang kemudian dikenal sebagai era Jahiliah—zaman ketika masyarakat Arab mencampuradukkan ajaran tauhid dengan praktik syirik.
Islam Datang untuk Memurnikan
Ketika Islam datang, Nabi Muhammad SAW menyambut kembali berbagai ritual keagamaan yang telah tercemar. Beliau tidak menghapus ritual-ritual itu, tetapi Beliau mengembalikannya pada ajaran tauhid yang murni. Nabi Muhammad menjadikan pelemparan jumrah sebagai simbol perlawanan terhadap setan dan bentuk keteladanan iman dari Nabi Ibrahim.
Penulis tidak sependapat dengan pandangan Jawwad ‘Ali yang menyebut lempar jumrah berasal dari tradisi pemujaan berhala. Sebab, pendapat itu mengabaikan fakta bahwa Nabi Ibrahim telah lebih dulu menanamkannya dalam konteks menolak setan. Masyarakat Arab pra-Islam—khususnya Arab Musta’ribah—juga sangat menghormati ajaran Ibrahim. Mereka menyebutnya sebagai Abul ‘Arab (Bapak Bangsa Arab). Oleh karena itu, mereka tetap mempertahankan sebagian ritual yang mereka yakini berasal dari Nabi Ibrahim.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, mereka mulai menyelewengkan makna dari ibadah tersebut. ‘Amr bin Luhayy kemudian membawa pengaruh ritual kaum ‘Amaliq, termasuk penggunaan berhala. Akibatnya, masyarakat mengubah niat ibadah menjadi bentuk syirik yang mengotori tauhid. Namun, Nabi Muhammad berhasil menyelamatkan kembali kemurnian ajaran itu. Beliau membersihkan praktik haji dari segala unsur paganisme dan mengembalikannya menjadi ibadah hanya kepada Allah.
Menyerap Makna, Bukan Sekadar Tradisi
Hingga hari ini, jutaan umat Islam menunaikan ibadah haji dan melempar batu di Mina. Mereka tidak sekedar menjalankan tradisi, tetapi sedang menapaki jejak spiritual Nabi Ibrahim. Setiap lemparan batu melambangkan penolakan terhadap bisikan setan dan janji kesetiaan kepada Allah.
Ritual lempar jumrah bukan sekedar rangkaian wajib dalam haji. Ia mengandung pelajaran penting bahwa dalam hidup, kita selalu menghadapi godaan setan yang muncul dalam berbagai bentuk. Kita harus terus melawannya dengan iman dan ketaatan seperti yang dilakukan Ibrahim. Maka dari itu, setiap batu yang jamaah lempar mengandung makna spiritual yang di dalam: mereka tidak hanya melempar batu, tetapi juga melempar keraguan, nafsu, dan segala bentuk godaan dunia.
Semoga ritual ini terus menginspirasi umat Islam. Bukan hanya selama berada di Mina, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, pada hakikatnya, kita semua berada di “Mina” kita masing-masing—tempat di mana kita diuji, digoda, dan ditantang untuk memilih: mengikuti bisikan setan, atau melemparnya dan tetap teguh bersama Allah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
