Politik
Beranda » Berita » Ketika Kekuasaan Jadi Warisan: Politik Dinasti dan Krisis Etika Umat

Ketika Kekuasaan Jadi Warisan: Politik Dinasti dan Krisis Etika Umat

Gambar Ilustrasi Kursi Kekuasaan
Gambar Ilustrasi Kursi Kekuasaan

SURAU.CO-Politik dinasti dan krisis etika umat menjadi dua isu yang kian tak terpisahkan dalam lanskap demokrasi Indonesia. Ketika kekuasaan jadi warisan, bukan sekadar regenerasi yang terjadi, melainkan juga transformasi nilai. Politik dinasti tidak hanya menempatkan jabatan sebagai milik keluarga, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi yang sehat. Maka wajar bila krisis etika umat muncul sebagai konsekuensi logis dari sistem yang mulai kehilangan substansi moral.

Praktik pewarisan kekuasaan ini seolah menjadi jalan pintas bagi kelompok elite untuk mempertahankan kendali, bukan demi pelayanan publik, melainkan demi kesinambungan kuasa. Ironisnya, banyak masyarakat justru membenarkan praktik ini karena merasa nyaman atau terbiasa, tanpa mengkritisi dampaknya terhadap masa depan bangsa.

Politik dinasti dan kekuasaan dalam sistem demokrasi sering dibungkus dengan narasi stabilitas dan kesinambungan. Namun faktanya, banyak kepala daerah yang membangun dinasti politik memanfaatkan celah hukum untuk mendorong pasangan, anak, hingga ipar maju dalam pemilu. Hal ini sah secara hukum, tetapi menjadi persoalan etika politik dan keadilan akses.

Dalam pengalaman pribadi saya sebagai pemantau pemilu, sering kali muncul calon dari keluarga petahana yang menang bukan karena kompetensi, melainkan karena modal dan pengaruh orang tuanya. Ini menjadikan kontestasi tidak adil dan mematikan potensi lokal yang seharusnya tumbuh dari bawah.

Krisis Etika Umat dalam Menerima Dinasti Politik

Krisis etika umat terlihat ketika masyarakat secara pasif menerima dinasti politik seolah itu bagian dari takdir, bukan hasil rekayasa kekuasaan. Dalam Islam, amanah kepemimpinan adalah tanggung jawab besar, bukan sekadar posisi warisan. Sayangnya, banyak pemilih memilih berdasarkan fanatisme keluarga atau iming-iming sesaat, bukan pada rekam jejak atau visi.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Fenomena ini menunjukkan degradasi pemahaman politik masyarakat. Ketika publik tidak lagi menjadikan moral dan kompetensi sebagai tolok ukur memilih pemimpin, maka sesungguhnya yang sedang runtuh adalah etika kolektif umat.

Islam menekankan pentingnya memilih pemimpin berdasarkan amanah dan keadilan, bukan garis keturunan atau nepotisme. Nabi Muhammad SAW bahkan memperingatkan agar tidak memberikan jabatan kepada orang yang memintanya, apalagi hanya karena hubungan keluarga. Namun praktik politik dinasti justru berkebalikan.

Dalam sejarah Islam, khulafaur rasyidin tidak menunjuk kerabat sebagai penerus, tetapi melalui syura dan pertimbangan akhlak serta kapabilitas. Ini menjadi teladan yang hari ini semakin jauh dari praktik politik kontemporer, khususnya di Indonesia.

Pewarisan Kekuasaan dan Masa Depan Demokrasi Umat

Jika praktik politik dinasti dibiarkan, bukan hanya demokrasi yang terciderai, tetapi juga masa depan umat. Dinasti politik mempersempit ruang partisipasi politik anak muda dan profesional yang tidak punya koneksi elit. Akibatnya, regenerasi kepemimpinan yang sehat terhambat, dan stagnasi sosial menjadi warisan berikutnya.

Untuk membangun demokrasi yang sehat, diperlukan upaya kolektif—dari pendidikan politik di akar rumput hingga reformasi regulasi pemilu. Umat harus kembali sadar bahwa kekuasaan bukan milik keluarga, tapi amanah dari rakyat yang harus dipertanggungjawabkan.

Mengupas Kitab Kopi dan Rokok Syaikh Ihsan Jampes

Politik dinasti dan krisis etika umat bukan sekadar isu teknis, tapi cermin dari kemunduran moral politik kita. Ketika kekuasaan jadi warisan, maka yang diwariskan bukan hanya jabatan, tapi juga potensi ketidakadilan dan pembusukan nilai. Maka saatnya umat bangkit, menolak normalisasi politik dinasti, dan memilih pemimpin berdasarkan akhlak, kapasitas, serta komitmen pada nilai-nilai keumatan.

Kesadaran ini bukan hanya untuk satu pemilu, melainkan untuk menjaga masa depan generasi berikutnya. Jika hari ini kita diam, maka kelak kita hanya akan mewarisi sistem yang rusak kepada anak cucu kita sendiri. (Hen)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement