Khazanah
Beranda » Berita » Mengapa Sebaiknya Tidak Mencabut Uban? Hikmah di Balik Tinjauan Kesehatan dan Pandangan Islam

Mengapa Sebaiknya Tidak Mencabut Uban? Hikmah di Balik Tinjauan Kesehatan dan Pandangan Islam

Mengapa Sebaiknya Tidak Mencabut Uban Hikmah di Balik Tinjauan Kesehatan dan Pandangan Islam -

SURAU.CO Uban adalah bagian alami dari perjalanan hidup manusia, seringkali menjadi saksi bisu setiap jejak langkah dan pertanda kebijaksanaan yang terakumulasi seiring waktu. Namun, munculnya uban tidak selalu identik dengan ketuaan. Identifikasi ini memang tidak sepenuhnya benar sebab ada juga orang usianya masih muda namun beruban. Banyak faktor yang menyebabkan rambut kepala kita beruban, seperti faktor usia dan banyaknya beban pikiran. Terlepas dari semua itu, bagi sebagian individu, kemunculannya bisa menimbulkan kegelisahan hingga keinginan kuat untuk segera mencabutnya. Pertanyaan yang mengemuka, “Benarkah sebaiknya kita tidak mencabut uban?” menemukan jawabannya baik dalam panduan syariat Islam maupun tinjauan medis modern. Surau.co mengajak pembaca untuk merenungi dan memahami lebih dalam mengapa tindakan ini sejatinya tidak dianjurkan.

Bahaya Tersembunyi di Balik Kebiasaan Mencabut Uban: Perspektif Kesehatan

Dari sudut pandang medis, para ahli kesehatan sepakat tidak merekomendasikan mencabut rambut putih atau uban. Kebiasaan ini sebenarnya tidak efektif untuk menghilangkan uban secara permanen, karena rambut baru yang tumbuh dari folikel yang sama akan tetap berwarna putih. Lebih dari itu, mencabut uban justru berpotensi memicu berbagai masalah serius pada kulit kepala dan siklus pertumbuhan rambut Anda.

Beberapa risiko kesehatan yang mengintai dari kebiasaan mencabut uban, sebagaimana dikutip dari berbagai sumber tepercaya, meliputi:

Pertama, Rambut Tumbuh ke Dalam (Ingrown Hair): Menurut penjelasan yang dimuat oleh Hello Sehat, tindakan mencabut rambut dengan kencang, termasuk uban, bisa menyebabkan rambut tumbuh ke arah dalam kulit. Kondisi ini dapat menimbulkan peradangan, nyeri, bahkan benjolan kecil yang mirip jerawat pada kulit kepala.

Kedua, Folikulitis: Tindakan kasar mencabut uban dapat melukai folikel rambut, yaitu kantung tempat rambut tumbuh. Folikel yang terluka ini sangat rentan terinfeksi bakteri, menyebabkan peradangan yang disebut folikulitis. Gejalanya berupa benjolan merah kecil dengan ujung putih berisi nanah di kulit kepala, seperti dijelaskan oleh Kompas Lifestyle.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Ketiga, Iritasi Kulit: Kulit kepala, terutama bagi individu yang memiliki sensitivitas tinggi, dapat mengalami iritasi seperti kemerahan, gatal, atau sensasi terbakar akibat pencabutan uban yang dilakukan berulang kali.

Keempat, Kerusakan Permanen Folikel Rambut: Mencabut uban berkali-kali secara terus-menerus dapat merusak folikel rambut secara permanen. Kerusakan ini mengganggu kemampuan folikel untuk menghasilkan rambut, bahkan dalam kasus parah pada usia lanjut, berpotensi memicu kebotakan permanen di area yang sering dicabut, demikian laporan RRI.

Kelima, Jaringan Parut (Hiperpigmentasi): Pencabutan uban dapat menimbulkan bekas luka atau jaringan parut di area kulit kepala yang sering dicabut. Jaringan ini tidak hanya mengganggu estetika tetapi juga dapat menghambat pertumbuhan rambut di kemudian hari.

Keenam, Perubahan Tekstur Rambut: Rambut baru yang tumbuh setelah dicabut mungkin terasa lebih kasar dan memiliki tekstur yang berbeda dibandingkan rambut asli. Selain itu, siklus pertumbuhan alami rambut bisa terganggu, menyebabkan pertumbuhan rambut menjadi tidak merata.

Penting untuk dicatat bahwa meskipun mitos populer menyebutkan mencabut satu uban akan membuat uban lain tumbuh lebih banyak, Hello Sehat menegaskan bahwa ini hanyalah mitos belaka. Mencabut sehelai rambut tidak secara langsung memengaruhi folikel rambut di sekitarnya. Namun, berbagai efek negatif lainnya tetap menjadi alasan kuat untuk tidak melakukannya.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Uban sebagai Cahaya dan Keberkahan: Perspektif Islam Ahlusunnah Wal Jamaah (NU)

Dalam ajaran Islam, uban memiliki kedudukan yang sangat mulia. Terdapat anjuran tegas untuk tidak mencabutnya. Pandangan ini, sebagaimana dijelaskan oleh ulama-ulama Ahlusunnah wal Jamaah di Indonesia, khususnya dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU) yang menekankan moderasi dan pemahaman kontekstual terhadap teks-teks agama, didasarkan pada beberapa hadis Rasulullah ﷺ dan kajian mendalam para imam madzhab.

Hukum Mencabut Uban Menurut Pandangan Madzhab Syafi’i:

Menurut ulama dari kalangan madzhab Syafi’i—sebagaimana dikemukakan oleh Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab— bahwa mencabut uban hukumnya adalah makruh. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah ﷺ:

لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Jangan kalian mencabut uban karena uban itu adalah cahaya orang muslim kelak di hari kiamat” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Nasa’i).

Pandangan ini ditegaskan oleh al-Ghazali, al-Baghawi, dan ulama lainnya. Bahkan Muhyiddin Syarf an-Nawawi menyatakan, sebagaimana dikutip dari NU Online tentang hukum mencabut uban:

يَكْرَهُ نَتْفُ الشَّيْبِ لِحَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَدِيثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذُّي وَالنَّسَائِيُّ وَغَيْرُهُمْ بِأَسَانِيدَ حَسَنَةٍ قَالَ التِّرْمِذِيُّ حَدِيثٌ حَسَنٌ هَكَذَا. قَالَ أَصْحَابُنَا يَكْرَهُ صَرَّحَ بِهِ الْغَزَالِيُّ كَمَا سَبَقَ وَالْبَغَوِيُّ وَآخَرُونَ. وَلَوْ قِيلَ يَحْرُمُ لِلنَّهْيِ الصَّرِيحِ الصَّحِيحِ لَمْ يَبْعُدْ. وَلَا فَرْقَ بَيْنَ نَتْفِهِ مِنَ الْلِحْيَةِ وَالرَّأْسِ

“Makruh mencabut uban karena didasarkan kepada hadits riwayat ‘Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi saw beliau bersabda: ‘Jangan kalian mencabut uban karena uban itu adalah cahaya orang muslim kelak di hari kiamat’. Ini adalah hadist hasan yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud at-Tirmidzi, Nasai, dan lainnya dengan sanad hasan. At-Tirmidzi berkata: ‘Bahwa hadits ini adalah hadits hasan. Para ulama dari madzhab kami (madzhab Syafi’i) berpendapat bahwa makruh mencabut uban. Pandangan ini ditegaskan oleh al-Ghazali sebagaimana keterangan yang terdahulu, al-Baghawi dan ulama lainnya. Seandainya dikatakan haram mencabut uban karena adanya larangan yang jelas maka mungkin saja. Dan tidak ada perbedaan hukum kemakruhannya antara mencabut uban jenggot dan kepala” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, juz, I, hlm. 293).

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Kemakruhan mencabut uban di sini tidak dibedakan antara mencabut uban jenggot dan uban kepala. Dengan kata lain, mencabut uban yang ada di jenggot dan uban yang ada di kepala hukumnya adalah sama-sama makruh.

Hukum Mencabut Uban Menurut Madzhab Hanafi:

Namun, ada pandangan lain yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah yang terdapat dalam kitab al-Khulashah yang dinukil dari kitab al-Muntaqa. Menurutnya, hukum mencabut uban tidaklah makruh kecuali jika bertujuan untuk berhias diri (tazayyun). Pandangan ini menurut ath-Thahawi sebaiknya tidak dipahami secara literalis. Beliau memberi catatan, bahwa pandangan Imam Abu Hanifah tersebut seyogyanya dipahami ketika uban yang dicabut adalah sedikit, tetapi jika banyak maka hukumnya tetap makruh karena adanya hadits yang melarang untuk mencabut uban yang diriwayatkan Abu Dawud sebagaimana disebutkan di atas. Sebagaimana dikutip oleh NU Online:

وَفِي الْخُلَاصَةِ عَنِ الْمُنْتَقَى كَانَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُكْرِهُ نَتْفَ الشَّيْبِ إِلَّا عَلَى وَجْهِ التَّزَيُّنِ اه وَيَنْبَغِي حَمْلُهُ عَلَى الْقَلِيلِ أَمَّا الْكَثِيرُ فَيُكْرَهُ لِخَبَرِ أَبِي دَاوُدَ لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Di dalam kitab al-Khulashah yang dinukil dari kitab al-Muntaqa terdapat keterangan yang menyatakan bahwa imam Abu Hanifah tidak memakruhkan mencabut uban kecuali dengan tujuan berhias diri. Dan seyogynya pandangan ini dipahami ketika uban yang dicabut adalah sedikit, namun jika banyak maka hukumnya tetap makruh berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud: ‘Jangan kalian mencabut uban karena uban itu adalah cahaya orang muslim kelak di hari kiamat’” (Lihat, ath-Thahawi, Hasyiyah ‘ala Maraqi al-Falah Syarh Nur al-Idlah, Bulaq-Mathba’ah al-Amiriyah al-Kubra, 1318 H, h. 342).

Hadis-hadis ini, menurut pemahaman ulama NU, bukan sekadar larangan literal, tetapi mengandung hikmah mendalam. Uban bukan hanya tanda penuaan fisik, tetapi simbol dari perjalanan spiritual seorang Muslim. Ia adalah ‘cahaya’ yang akan menerangi pada hari kiamat, sebuah penanda keberkahan umur, pengingat akan perjalanan hidup yang diisi dengan ketaatan, dan tanda kesabaran dalam menghadapi takdir Allah. Membiarkan uban berarti menghargai karunia dan tanda-tanda kebesaran Allah, serta mensyukuri kesempatan hidup yang telah diberikan. Bagi orang yang sudah beruban, tak perlu risau dan malu dengan ubannya karena uban adalah cahaya orang muslim kelak di hari kiamat.

Meskipun tidak dianjurkan mencabut uban, Islam memberikan kelonggaran bagi mereka yang merasa uban mengganggu penampilan atau untuk tujuan syiar. Islam membolehkan seseorang untuk mewarnai atau menyemir rambut putihnya, asalkan tidak menggunakan warna hitam pekat. Rasulullah ﷺ bersabda, “Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.” (HR Muslim). Ini menunjukkan fleksibilitas dalam syariat Islam, memberikan solusi bagi umat untuk menjaga penampilan tanpa melanggar batasan syariat atau membahayakan kesehatan diri. Warna-warna seperti cokelat, merah, atau kekuningan menjadi pilihan yang diperbolehkan.

Menguatkan Hikmah dan Menjaga Diri

Dari tinjauan komprehensif ini, baik dari perspektif kesehatan modern maupun ajaran Islam Ahlusunnah wal Jamaah, pesan yang tersampaikan sangat jelas: mencabut uban tidaklah dianjurkan. Dari sisi medis, tindakan ini membawa berbagai risiko yang dapat merugikan kulit kepala dan pertumbuhan rambut. Sementara dari perspektif Islam, uban adalah cahaya bagi seorang Muslim, sebuah tanda kemuliaan, dan pengingat akan kebaikan serta pahala di hari akhir.

Memahami kedua perspektif ini membantu kita menyikapi uban dengan bijak dan penuh kesadaran. Biarkanlah uban tumbuh sebagai bagian dari anugerah Allah, sebuah tanda kematangan yang membawa keutamaan spiritual. Jika penampilan menjadi perhatian, mewarnainya dengan warna-warna selain hitam adalah alternatif yang bijak dan diperbolehkan, sesuai dengan tuntunan agama serta tanpa mengorbankan kesehatan rambut. Semoga kita semua senantiasa dapat mengambil ibrah (pelajaran) dari setiap tanda kebesaran-Nya dan senantiasa berpegang pada ajaran yang lurus. (KAN)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement