SURAU.CO – Pada Mei 2025, gema penghormatan terhadap seorang tokoh besar kembali terdengar. Ulama karismatik asal Jawa Barat, KH. Abbas Jamil Buntet dari Cirebon, secara resmi diusulkan untuk menerima gelar Pahlawan Nasional. Pengusulan ini berangkat dari jasa-jasa besarnya dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Kontribusinya dalam dunia pendidikan Islam juga menjadi pilar utama pengusulan tersebut.
Proses ini telah mencapai tahap penting dengan penyerahan berkas ke Kementerian Sosial Republik Indonesia. Bahkan, Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) menilai dokumen pengusulan KH. Abbas Jamil sangat lengkap. Kelengkapan ini didukung oleh melimpahnya sumber primer lebih dari cukup, seperti dilansir nucirebon.co.id. Namun, siapakah sebenarnya sosok Mbah Abbas, panggilan akrabnya, sehingga berbagai kalangan begitu kuat mendukungnya sebagai Pahlawan Nasional?
Paduan Ilmu Agama dan Keahlian Bela Diri
Abbas Jamil lahir di Desa Pekalangan, Cirebon. Ia merupakan keturunan langsung dari pendiri Pondok Pesantren Buntet, KH. Muqoyyim.[6] Pesantren Buntet sendiri tercatat sebagai salah satu pondok pesantren tertua di Indonesia. Kelak, KH. Abbas dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga pesantren yang ia pimpin dan besarkan.
Sosok KH. Abbas Jamil Buntet memadukan dua kekuatan utama: kedalaman ilmu agama dan keahlian ilmu bela diri. Ia dikenal sebagai ulama yang sangat ahli dalam fiqh dan perbandingan mazhab. Di sisi lain, kemahirannya dalam ilmu bela diri menarik banyak orang untuk belajar kepadanya. Keahlian ini bukan sekadar untuk pertunjukan, melainkan menjadi bekal penting dalam perjuangannya melawan penjajah.
Perjalanan Intelektual dari Pesantren Hingga Makkah
Pendidikan agama KH. Abbas dimulai sejak kecil di bawah bimbingan ayahnya, KH. Abdul Jamil. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Sukanasari dan Pondok Pesantren Salaf Jatisari. Hasratnya akan ilmu tidak pernah surut. Ia melanjutkan perjalanan intelektualnya ke pondok pesantren asuhan Kiai Hasan di Tegal.
Puncaknya, ia menimba ilmu di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Di sana, ia menjadi santri dari Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari. Kehausan ilmunya tidak berhenti di Nusantara. Ia kemudian melanjutkan perjalanan ke Makkah untuk belajar dari para ulama besar. Ia berguru kepada Syekh Mahfudh at-Tarmasi, ulama Nusantara yang menjadi imam besar di Masjidil Haram. Ia juga menimba ilmu dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syekh Ahmad Zubaidi.
Pembaharu Pendidikan Pesantren
Abbas Jamil tidak hanya ahli dalam fiqh, tetapi juga seorang pakar tasawuf. Ia merupakan mursyid Tarekat Syatariyah dan Tijaniyah. Di bawah kepemimpinannya, Pondok Pesantren Buntet mengalami kemajuan pesat. Mbah Abbas melakukan terobosan signifikan dalam sistem pendidikan. Ia memadukan sistem tradisional dan pendidikan formal.
Metode belajar tradisional seperti halaqah (kelompok studi) dan sorogan (privat) tetap dipertahankan. Namun, ia menambahkan sistem kelas yang lebih terstruktur. Kurikulumnya pun diperluas secara revolusioner.[4] Selain kitab-kitab klasik, ia mengenalkan kitab modern seperti tafsir karya Thantawi al-Jauhari yang membahas biologi. Para santri juga mempelajari tafsir filsafat karya Fachrur Razi, ilmu hisab (aritmatika), ilmu thabiyyah (ilmu alam), al-lughatul wathaniyah (bahasa Indonesia), tarikh al-wathaniyah (sejarah bangsa), dan al-jughrafiyyah (ilmu geografi).
Para santri tidak hanya dididik dalam ilmu agama. Mereka juga dibekali pengetahuan umum dan keterampilan. KH. Abbas benar-benar membimbing para santri agar siap mengabdi kepada masyarakat luas. Ia juga sangat memperhatikan kesejahteraan masyarakat di sekitar pesantren.
Peran Sentral dalam Pertempuran 10 November
Kisah perjuangan KH. Abbas Jamil melawan penjajah menjadi catatan sejarah yang abadi. Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya adalah salah satu momen puncaknya. Sejarah mencatat peran sentral KH. Abbas dalam pertempuran heroik ini.
Sebelum pertempuran meletus, KH. Hasyim Asy’ari secara khusus meminta KH. Abbas Jamil untuk datang ke Surabaya.Beliau bahkan berpesan kepada Bung Tomo, “Jangan memulai pertempuran sebelum Mbah Abbas datang ke Surabaya.” KH. Abbas pun berangkat ke Surabaya bersama saudaranya, KH. Anas, dan laskar pejuang lainnya.
Permintaan KH. Hasyim Asy’ari memiliki alasan kuat. Selain karena keahlian bela diri KH. Abbas, Pondok Pesantren Buntet merupakan basis utama laskar Hizbullah dan Sabilillah. Organisasi ini adalah barisan perjuangan rakyat melawan penjajah. Banyak santri Buntet yang turut berjuang dan dikirim ke berbagai medan pertempuran di seluruh Indonesia.
Pengabdian Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, kiprah KH. Abbas Jamil berlanjut di dunia politik. Ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai perwakilan dari Jawa Barat. Selain itu, ia mengemban amanah sebagai Rais Aam Dewan Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) untuk wilayah Jawa Barat. Pengabdian ini menunjukkan bahwa perjuangannya tidak berhenti di medan perang, tetapi terus berlanjut dalam membangun bangsa dan negara. (Tri/dari berbagai sumber)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
