Di antara khazanah keilmuan Islam, tafsir Al-Qur’an menempati posisi yang sangat mulia. Salah satu nama yang paling sering diasosiasikan dengan bidang ini adalah Abdullah bin Abbas r.a., sepupu Nabi Muhammad SAW yang dijuluki Tarjumanul Qur’an (Penerjemah Al-Qur’an) dan Habrul Ummah (Tinta Umat). Namun, kitab yang beredar di pasaran dengan judul Tafsir Ibnu Abbas, yang dinisbahkan kepadanya, sering kali menjadi subjek perdebatan di kalangan ulama.
Tulisan ini akan mengupas secara mendalam mengenai kitab Tafsir Ibnu Abbas, mulai dari sejarahnya, metodologi penyusunannya, hingga pandangan para ulama mengenai status otentisitasnya.
Siapakah Ibnu Abbas? Sang Penerjemah Al-Qur’an
Sebelum membahas kitabnya, penting untuk mengenal sosok Abdullah bin Abbas (w. 68 H/687 M). Beliau adalah putra dari Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW. Sejak kecil, Ibnu Abbas menunjukkan kecerdasan luar biasa dan semangat belajar yang tinggi.
Nabi Muhammad SAW sendiri pernah mendoakannya secara khusus, “Ya Allah, fahamkanlah ia dalam urusan agama dan ajarkanlah ia takwil (tafsir).” Doa ini menjadi kenyataan. Ibnu Abbas tumbuh menjadi seorang sahabat yang paling mendalam pemahamannya terhadap Al-Qur’an. Beliau menjadi rujukan utama para sahabat dan tabi’in dalam memahami makna ayat-ayat suci.
Riwayat-riwayat penafsiran dari Ibnu Abbas tersebar luas dalam berbagai kitab hadis dan tafsir klasik, seperti Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, dan lainnya. Kumpulan riwayat inilah yang menjadi fondasi utama dalam ilmu tafsir.
Sejarah dan Penyusunan Kitab “Tafsir Ibnu Abbas”
Meskipun Ibnu Abbas adalah seorang mufasir ulung, beliau tidak pernah secara pribadi menulis atau membukukan tafsirnya dalam satu kitab yang utuh. Riwayat-riwayat tafsirnya disampaikan secara lisan kepada murid-muridnya dan kemudian diriwayatkan dari generasi ke generasi.
Kitab yang kita kenal hari ini dengan judul “Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas” adalah sebuah kompilasi riwayat-riwayat yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas. Kitab ini disusun oleh Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi (w. 817 H/1414 M), seorang ulama dan ahli bahasa penulis kamus terkenal Al-Qamus al-Muhith.
Al-Fairuzabadi mengumpulkan riwayat-riwayat tafsir yang berasal dari satu jalur sanad (rantai perawi) tertentu, yaitu:
Abdullah bin Abbas → Ali bin Abi Thalhah → Muawiyah bin Shalih → Ali bin Hasan bin Washif → Abu Shalih → Muhammad bin Marwan as-Suddi ash-Shaghir → Muhammad bin as-Sa’ib al-Kalbi → Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi.
Jalur sanad inilah yang menjadi titik fokus perdebatan para ulama mengenai keaslian kitab ini.
Metodologi Penafsiran dalam Kitab
Kitab Tanwir al-Miqbas disusun mengikuti urutan surah dan ayat dalam mushaf Al-Qur’an, dari Al-Fatihah hingga An-Naas. Metode yang digunakan adalah tafsir bi al-riwayah (tafsir berdasarkan riwayat), di mana setiap ayat dijelaskan maknanya berdasarkan riwayat yang sampai kepada penyusun.
Ciri khas dari kitab ini adalah keringkasannya. Penafsirannya langsung pada poin utama tanpa pembahasan mendalam mengenai i’rab (gramatika), balaghah (retorika), atau perdebatan fikih. Hal ini menjadikannya mudah dibaca oleh kalangan awam yang ingin mengetahui makna dasar dari sebuah ayat menurut riwayat yang ada di dalamnya.
Contohnya, saat menafsirkan ayat pertama Surah Al-Baqarah, “Alif Lam Mim,” kitab ini langsung memberikan makna, “Allah adalah (Dzat) Yang Maha Mengetahui.” Ini adalah salah satu interpretasi yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas.
Kontroversi dan Pandangan Ulama
Inilah bagian terpenting yang harus dipahami oleh setiap pembaca kitab Tafsir Ibnu Abbas. Mayoritas ulama ahli hadis dan tafsir menaruh perhatian serius terhadap keabsahan sanad yang digunakan oleh Al-Fairuzabadi dalam kitab Tanwir al-Miqbas.
Sanad yang menjadi tulang punggung kitab ini dianggap sangat lemah (dha’if jiddan), bahkan sebagian ulama menyebutnya sebagai sanad kebohongan (silsilah al-kadzib). Mari kita telaah beberapa perawi kunci dalam sanad tersebut:
Muhammad bin as-Sa’ib al-Kalbi: Para ulama hadis seperti Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, dan An-Nasa’i menganggapnya sebagai pendusta atau pemalsu hadis. Ia dituduh mengambil riwayat dari siapa saja tanpa verifikasi.
Muhammad bin Marwan as-Suddi ash-Shaghir: Juga dikenal sebagai perawi yang sangat lemah dan dituduh berdusta.
Karena inti sanadnya mengandung perawi-perawi yang kredibilitasnya diragukan secara serius, maka riwayat-riwayat yang ada di dalam kitab ini tidak bisa secara pasti dinisbahkan kepada Ibnu Abbas. Imam As-Suyuthi menyatakan bahwa jalur dari Al-Kalbi dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas adalah jalur periwayatan yang paling lemah.
Lalu, apakah kitab ini sama sekali tidak bermanfaat?
Meskipun sanadnya bermasalah, bukan berarti semua isi kitab ini salah. Sebagian isinya mungkin saja benar dan sesuai dengan riwayat-riwayat sahih dari Ibnu Abbas yang terdapat di kitab-kitab lain. Al-Fairuzabadi, sebagai seorang ulama besar, kemungkinan mengumpulkannya dengan niat baik untuk menyajikan tafsir yang ringkas.
Oleh karena itu, para ulama memberikan nasihat:
Untuk Penuntut Ilmu Pemula: Sebaiknya tidak menjadikan kitab ini sebagai rujukan utama. Dianjurkan untuk memulai dengan kitab tafsir yang lebih muktabar (diakui), seperti Tafsir Al-Muyassar, Tafsir Jalalain, atau ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.
Untuk Peneliti dan Ahli: Kitab ini bisa digunakan sebagai pembanding, dengan syarat setiap riwayat di dalamnya harus diverifikasi (takhrij) dengan riwayat-riwayat lain yang terdapat dalam sumber-sumber yang lebih otentik, seperti Tafsir Ath-Thabari atau kitab-kitab hadis.
Di Mana Posisi Kita?
Kitab Tafsir Ibnu Abbas (Tanwir al-Miqbas) adalah sebuah karya penting dalam sejarah kodifikasi tafsir, namun ia bukanlah karya langsung dari Abdullah bin Abbas sendiri. Ia adalah sebuah kompilasi yang disusun berabad-abad setelahnya oleh Al-Fairuzabadi melalui satu jalur sanad yang oleh para ahli hadis dianggap sangat lemah.
Memahami fakta ini sangat penting agar kita tidak keliru dalam menyandarkan sebuah pendapat kepada seorang sahabat Nabi yang mulia. Sikap terbaik adalah menghargai upaya penyusunnya, namun tetap kritis dan merujuk kepada sumber-sumber yang lebih kuat dan otentik dalam memahami firman Allah SWT.
Dengan begitu, kita dapat mengambil manfaat dari lautan ilmu Ibnu Abbas melalui jalur-jalur yang terpercaya, sambil tetap berhati-hati terhadap riwayat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
