Sejarah
Beranda » Berita » Asal-Usul Kumandang Adzan yang Lahir dari Mimpi

Asal-Usul Kumandang Adzan yang Lahir dari Mimpi

Ilustrasi ; Seseorang sedang mengumandangkan Adzan

SURAU.CO – Pada masa itu di Madinah, cahaya Islam bersinar semakin terang. Jumlah pemeluknya terus bertambah setiap hari. Perjuangan menegakkan syiar agama menghadapi tantangan berat. Namun, kebenaran tidak pernah bisa padam. Seiring pertumbuhan pesat komunitas Muslim, sebuah persoalan baru muncul. Persoalan ini sederhana namun sangat penting bagi persatuan umat.

Bagaimana cara terbaik untuk memanggil seluruh kaum Muslimin untuk sholat berjamaah tepat waktu?

Tumbuhnya Kebutuhan Akan Panggilan Bersama

Pada masa-masa awal Islam di Madinah, komunitas Muslim masih terbilang kecil. Mereka dapat dengan mudah berkumpul di masjid untuk menunaikan sholat berjamaah. Tidak perlu penanda waktu yang spesifik. Mereka berkumpul berdasarkan perkiraan waktu dan kesempatan masing-masing. Sholat jamaah dimulai ketika cukup banyak orang telah hadir.

Namun, kondisi ini tidak bisa bertahan lama. Penduduk Madinah yang memeluk Islam semakin banyak. Kesibukan mereka pun beragam. Ada yang berdagang, bertani, atau memiliki urusan lainnya. Kesibukan ini berpotensi membuat sebagian orang lupa atau lalai terhadap waktu sholat. Rasulullah SAW dan para sahabat merasakan sebuah kegelisahan. Butuh sebuah cara yang efektif sebagai pengingat dan panggilan sholat yang serentak.

Musyawarah Mencari Solusi Terbaik

Untuk mengatasi masalah ini, Rasulullah SAW bermusyawarah dengan para sahabat. Diskusi pun berjalan dengan hangat. Berbagai usulan dan ide cemerlang muncul dari para sahabat yang mulia.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Beberapa sahabat memberikan saran yang cukup praktis. Ada usulan untuk menyalakan api di tempat yang tinggi. Harapannya asapnya yang membubung tinggi  bisa terlihat dari kejauhan. Ini akan menjadi penanda bahwa waktu sholat telah tiba. Namun, saran ini ditolak. Cara tersebut menyerupai tradisi kaum Majusi.

Usulan lain adalah dengan membunyikan lonceng. Lonceng menghasilkan suara nyaring yang bisa menjangkau banyak orang. Akan tetapi, para sahabat kembali tidak setuju. Membunyikan lonceng adalah kebiasaan kaum Nasrani untuk memanggil jamaahnya. Ada juga yang mengusulkan meniup terompet dari tanduk kambing, namun cara ini identik dengan ritual kaum Yahudi.

Para sahabat sangat berhati-hati. Mereka tidak ingin meniru tradisi kaum lain. Mereka mendambakan sebuah identitas dan syiar yang murni Islam. Akhirnya, usulan dari Umar bin Khattab r.a. mulai membuka jalan. Beliau menyarankan untuk menunjuk seseorang yang bertugas menyerukan panggilan sholat. Rasulullah SAW pun menyetujui ide ini. Namun, pertanyaannya masih tersisa: “Seruan seperti apa yang harus diucapkan?”

Petunjuk dari Langit Melalui Mimpi yang Nyata

Allah SWT menjawab kegelisahan kaum Muslimin dengan cara yang indah. Jawaban itu datang melalui mimpi seorang sahabat bernama Abdullah bin Zaid r.a. Mimpi tersebut terasa begitu nyata dan meninggalkan kesan mendalam. Abu Dawud mengisahkan bahwa Abdullah bin Zaid r.a meriwayatkan sebagai berikut:

“Ketika cara memanggil kaum muslimin untuk sholat dimusyawarahkan, suatu malam dalam tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya apakah ia ada maksud hendak menjual lonceng itu. Jika memang begitu aku memintanya untuk menjual kepadaku saja.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Orang tersebut malah bertanya,” Untuk apa ? Aku menjawabnya,”Bahwa dengan membunyikan lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim untuk menunaikan sholat.” Orang itu berkata lagi,”Maukah kau kuajari cara yang lebih baik ?” Dan aku menjawab ” Ya !”

Lalu dia berkata lagi, dan kali ini dengan suara yang amat lantang , ” Allahu Akbar,Allahu Akbar..”

Lafadz agung itu terus diajarkan dalam mimpi hingga selesai. Kalimat-kalimat tersebut adalah lafadz adzan yang kita kenal hingga hari ini.

Pengesahan Rasulullah dan Lahirnya Muadzin Pertama

Keesokan paginya, Abdullah bin Zaid segera menghadap Rasulullah SAW. Ia menceritakan seluruh detail mimpinya dengan penuh semangat. Mendengar penuturan itu, wajah Rasulullah SAW berseri-seri. Beliau bersabda, “Itu mimpi yang sebetulnya nyata. Berdirilah disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan adzan seperti itu dan dia memiliki suara yang amat lantang.”

Perintah Nabi SAW sangat jelas. Bilal bin Rabah, seorang sahabat yang terkenal dengan keteguhan iman dan suaranya yang merdu serta lantang, dipilih menjadi muadzin pertama. Abdullah bin Zaid pun mengajarkan lafadz adzan kepada Bilal. Tak lama kemudian, gema suara Bilal yang mengumandangkan “Allahu Akbar, Allahu Akbar” untuk pertama kalinya terdengar di seluruh penjuru Madinah.

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Menariknya, saat Bilal mengumandangkan adzan, Umar bin Khattab r.a. datang tergesa-gesa menghadap Nabi SAW. Ia mengaku telah bermimpi hal yang sama persis beberapa malam sebelumnya. Kesaksian Umar semakin menguatkan bahwa petunjuk ini benar-benar datang dari Allah SWT. Nabi SAW pun bersyukur atas karunia besar ini.

Sejak saat itu, kumandang adzan resmi menjadi panggilan suci bagi umat Islam. Ia bukan sekadar penanda waktu, melainkan sebuah syiar agung yang menegaskan kebesaran Allah dan panggilan untuk meraih kemenangan dunia dan akhirat.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement