SURAU.CO – Dalam khazanah Islam, nama Ibrahim bin Adham dikenal sebagai seorang sufi yang agung. Ia terkenal karena kezuhudan dan sifat wara’-nya, yaitu sikap sangat berhati-hati terhadap hal-hal yang syubhat, apalagi yang haram. Namun, sebuah peristiwa luar biasa menunjukkan betapa tipisnya batasan antara ibadah yang diterima dan yang tertolak. Kisah sebutir kurma Ibrahim bin Adham ini menjadi cerminan abadi tentang betapa pentingnya kehalalan rezeki dalam setiap sendi kehidupan seorang hamba.
Perjalanan spiritual ini dimulai usai Ibrahim bin Adham menyempurnakan ibadah hajinya di Mekkah. Sebelum melanjutkan perjalanan mulia menuju Masjidil Aqsa di Palestina, ia memerlukan bekal. Ia pun singgah di sebuah lapak sederhana dekat Masjidil Haram. Seorang pedagang tua melayaninya dengan ramah. Ibrahim membeli satu kilogram kurma untuk menemaninya di jalan.
Sebutir Kurma yang Belum Halal
Pedagang itu menimbang kurma dengan teliti. Setelah selesai dan terbungkus, pandangan Ibrahim tertuju pada sebutir kurma yang tergeletak di dekat timbangan. Ia membuat sebuah asumsi sederhana. Ia mengira kurma itu adalah bagian dari yang sudah ia beli. Tanpa berpikir panjang, Ibrahim memungut kurma itu lalu memakannya. Perutnya kini terisi sebutir kurma. Ia pun langsung memulai perjalanannya yang panjang menuju Al-Aqsa.
Empat bulan berlalu dalam perjalanan yang melelahkan. Akhirnya, Ibrahim bin Adham tiba di tanah suci Al-Aqsa. Ia menemukan sebuah tempat yang tenang untuk beribadah. Lokasinya berada di sebuah ruangan di bawah Kubah Sakhra yang ikonik. Di sana, ia tenggelam dalam shalat dan doa. Ia mencurahkan seluruh jiwa raganya kepada Sang Pencipta dengan kekhusyukan yang mendalam.
Kurma Penghalang Doa
Di tengah keheningan ibadahnya, sebuah dialog gaib mengusik pendengarannya. Dua malaikat sedang bercakap-cakap tentangnya.
“Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan ALLAH SWT,” kata malaikat yang satu.
“Tetapi sekarang tidak lagi. Doanya ditolak karena 4 bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat mesjidil haram,” jawab malaikat yang satu lagi.
Dada Ibrahim bin Adham terasa sesak. Tubuhnya terhenyak mendengar percakapan itu. Seluruh ibadahnya selama empat bulan terakhir terasa sia-sia. Shalatnya, doanya, dan semua amalan lainnya mungkin tidak bernilai di sisi Allah. Semua itu hanya karena sebutir kurma yang bukan haknya. Dengan hati yang hancur, ia beristighfar, “Astaghfirullahal adzhim.”
Perjalanan Mencari Kehalalan
Tanpa menunda waktu, ia segera berkemas. Tujuannya kini bukan lagi Al-Aqsa, melainkan kembali ke Mekkah. Ia harus menempuh perjalanan berat itu sekali lagi. Tujuannya hanya satu: menemukan pedagang tua itu dan meminta kehalalan atas sebutir kurma yang telah masuk ke tubuhnya.
Setibanya di Mekkah, ia langsung menuju lokasi tempat ia membeli kurma. Namun, pemandangan di sana sudah berbeda. Sosok pedagang tua itu tidak ada. Sebagai gantinya, seorang anak muda yang kini berjualan di sana.
“4 bulan yang lalu saya membeli kurma disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang ?” tanya Ibrahim.
“Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma,” jawab anak muda itu.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un,” ucap Ibrahim lirih. Harapannya untuk meminta maaf secara langsung telah pupus. “Kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan?”
Ibrahim kemudian menceritakan seluruh peristiwa yang dialaminya. Ia menjelaskan bagaimana sebutir kurma telah menjadi penghalang antara dirinya dan Allah. Anak muda itu mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Nah, begitulah,” kata Ibrahim mengakhiri ceritanya. “Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa izinnya?”.
“Bagi saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatas nama kan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya,” jawab anak muda itu bijaksana.
Tantangan baru muncul di hadapan Ibrahim. Ia harus menemui sebelas ahli waris lainnya. “Dimana alamat saudara-saudaramu? Biar saya temui mereka satu persatu.”
Dengan berbekal alamat, dimulailah perjalanan penebusan dosa Ibrahim bin Adham. Ia mendatangi satu per satu rumah ahli waris. Lokasi mereka berjauhan dan sulit dijangkau. Namun, tekadnya lebih kuat dari semua rintangan. Akhirnya, setelah usaha yang gigih, ia berhasil mendapatkan keikhlasan dari kedua belas ahli waris.
Doanya Makbul Kembali
Empat bulan kemudian, Ibrahim bin Adham kembali berada di bawah Kubah Sakhra. Ia kembali beribadah di tempat yang sama. Suasana terasa berbeda. Tiba-tiba, ia kembali mendengar suara dua malaikat yang pernah didengarnya.
“Itulah Ibrahim bin adham yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain,” kata salah satu malaikat.
“O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas.”
Kisah sebutir kurma Ibrahim bin Adham ini memberikan pelajaran agung. Makanan atau rezeki yang masuk ke dalam tubuh kita memiliki dampak langsung pada kualitas spiritual kita. Oleh sebab itu, berhati-hatilah dengan apa yang kita konsumsi. Sudahkah semuanya halal? Jika ragu, lebih baik tinggalkan. Karena setitik noda haram dapat menodai lautan ibadah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
