Opinion
Beranda » Berita » Jejak Istilah Kufah dalam Kitab Al-Jurumiyah

Jejak Istilah Kufah dalam Kitab Al-Jurumiyah

Jejak Istilah Kufah dalam Kitab Al-Jurumi

Kitab Al-Jurumiyah merupakan salah satu karya nahwu paling terkenal dalam tradisi Islam. Disusun oleh Ibn Ajurrum dari Maroko, kitab ini menjadi rujukan penting bagi pembelajaran ilmu tata bahasa Arab, khususnya di pesantren-pesantren Indonesia. Meskipun ringkas, kitab ini menyimpan kedalaman isi dan menjadi saksi pengaruh dua madrasah besar dalam dunia nahwu: Basrah dan Kufah.

Mari menelusurinya lebih lanjut, Al-Jurumiyah lebih dekat dengan mazhab Kufah. Hal ini kita dapat melihat dari sejumlah istilah dimana Ibn Ajurrum menggunakannya dalam menyusun struktur nahwu di kitabnya.

Baca juga: Menghidupkan Warisan Ilmu: Kajian Kitab Ar-Risalah Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah

Sekilas tentang Madrasah Kufah

Madrasah Kufah adalah salah satu mazhab utama dalam pengembangan ilmu nahwu. Berbeda dengan Basrah yang lebih filosofis dan normatif, Kufah mengedepankan pendekatan empiris, mengandalkan bukti kebahasaan dari syair-syair Arab Badui yang fasih. Pendekatan ini menjadikan istilah-istilah yang digunakan mazhab Kufah lebih fleksibel dan terikat pada kenyataan linguistik yang hidup.

Holilulloh (2020) dalam penelitiannya mengungkap bahwa:

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

“Terdapat tujuh istilah utama dalam Al-Jurumiyah yang memperlihatkan kecenderungan kuat Ibn Ajurrum terhadap pendekatan Kufah.”

Tujuh Istilah Khas Madrasah Kufah dalam Al-Jurumiyah

1. Al-Khafd, bukan Al-Jarr

Ibn Ajurrum menggunakan istilah al-khafd untuk menyebut harakat kasrah pada isim. Ini para ulama Kufah memakai istilah ini Kufah. Sebaliknya, ulama Basrah menyebutnya al-jarr.

2. Al-Maf‘ul alladzi lam yusamma fa‘iluh, bukan Na’ib al-Fa‘il

Istilah ini dipakai untuk menyebut objek dalam kalimat pasif. Mazhab Basrah menyebutnya na’ib al-fa‘il. Penggunaan istilah panjang ini menunjukkan pendekatan deskriptif khas Kufah.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

3. Fi‘l Amr sebagai Majzum

Fi‘l amr dalam Al-Jurumiyah disebut sebagai fi‘l majzum. Padahal, menurut Basrah, fi‘l amr bersifat mabni (tetap). Ini menunjukkan perbedaan pandangan yang cukup mendasar.

4. Kayfama sebagai Amil Jawazim

Madzab Kufah mengkategorikan kata tanya kayfama sebagai salah satu alat jazm (āmil jawāzim) dalam kitab ini. Mazhab Basrah tidak menggolongkannya ke dalam kategori ini.

5. Alif dan Lam sebagai Tanda Isim

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Dalam kitab ini, Ibn Ajurrum menyebut alif dan lam sebagai tanda isim. Bagi Basrah, mereka menganggap alif-lam sebagai bagian dari hukum nahwu, bukan penanda identitas kata.

6. An-Na‘at, bukan As-Shifah

Ibn Ajurrum memakai istilah na‘at untuk menyebut keterangan sifat. Basrah lebih suka menggunakan istilah ṣifah. Perbedaan ini menandakan adanya orientasi terminologi yang berbeda.

7. Al-Asma’ Al-Khamsah, bukan Al-Asma’ As-Sittah

Kitab Al-Jurumiyah menyebut lima isim khusus: abuka, akhuka, hamuka, fuka, dan dzū mal. Versi Basrah menambahkannya menjadi enam (memasukkan juga hanuka). Ini mempertegas bahwa Jurumiyah mengikuti tradisi Kufah. Baca juga: Kitab Matan Al-Jurumiyah: Kenali Pengarang, Manfaat, dan Isinya

Bahasa sebagai Cermin Mazhab

Ibn Ajurrum memilih istilah dalam Al-Jurumiyah bukan tanpa pertimbangan. Ia mencerminkan kecenderungan keilmuan, kecermatan metodologis, dan afiliasi terhadap mazhab tertentu. Dan dalam hal ini, mazhab Kufah menjadi orientasi utama.

itab ini tidak hanya mengajarkan kaidah, tetapi juga memperkenalkan cara pandang tertentu dalam memahami bahasa. Oleh karena itu, Al-Jurumiyah tetap hidup dan relevan hingga kini—bukan semata karena ringkasannya yang padat, melainkan karena ia membawa kedalaman arah berpikir yang khas.

Selain itu, melalui pemilihan istilah yang cermat dan sistematis, Ibn Ajurrum berhasil menjembatani antara pemahaman praktis di lapangan dan kedalaman teoritis dalam tradisi keilmuan. Dengan kata lain, ia tidak hanya menyusun kitab gramatika biasa, melainkan menyuguhkan model berpikir yang menyatu dengan karakter keilmuan Islam klasik.

Lebih lanjut, Al-Jurumiyah menjadi bukti nyata bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Sebaliknya, bahasa adalah warisan intelektual yang mengandung nilai, mencerminkan pola pikir, serta merefleksikan budaya ilmiah suatu generasi. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika kitab ini senantiasa dijadikan rujukan, bahkan di era modern sekalipun.

Terlebih lagi, di lingkungan pesantren, Al-Jurumiyah terus memainkan peran penting sebagai pintu masuk pertama bagi para santri dalam menyelami samudra ilmu nahwu yang sangat luas. Dengan demikian, kitab ini tidak hanya menjadi materi pelajaran awal, tetapi juga menjadi fondasi dalam membentuk pola pikir logis, runtut, dan bernilai.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement