SURAU.CO – Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia menyambut Tahun Baru Hijriyah. Kita menggunakan kalender ini untuk menandai puasa, hari raya, dan berbagai ibadah penting lainnya. Namun, tidak semua dari kita mengetahui bagaimana kalender ini pertama kali terbentuk. Sejarah penetapan penanggalan Hijriyah adalah cerminan dari kecerdasan dan semangat musyawarah para sahabat Nabi. Kisah ini berawal dari sebuah kebutuhan praktis di masa kekhalifahan Umar bin Khattab.
Masalah Administrasi yang Memicu Inovasi
Pada masa awal Islam, kaum Muslimin belum memiliki sistem penanggalan tahun yang baku. Mereka biasa menandai waktu dengan mengacu pada peristiwa besar yang terjadi. Misalnya, ada tahun yang disebut “Tahun Gajah” (Amul Fil) atau “Tahun Fajar” (Amul Fajar). Cara ini cukup efektif untuk komunitas kecil. Namun, seiring berkembangnya negara Islam, masalah pun mulai muncul.
Pemicunya adalah sebuah surat dari Abu Musa Al-Asy’ari, gubernur Bashrah saat itu. Beliau mengirimkan surat kepada Khalifah Umar bin Khattab yang menyoroti sebuah kebingungan. Beliau berkata:
“Surat-surat dari Anda telah kami terima, namun surat-surat itu tidak memiliki penanda tahun. Kami menerima sebuah dokumen yang tertulis bulan Sya’ban, namun kami tidak tahu ini Sya’ban tahun ini atau tahun kemarin?”
Masalah ini sangat krusial dalam administrasi negara. Tanpa penanda tahun yang jelas, surat perintah, perjanjian, dan pencatatan utang menjadi ambigu. Menanggapi hal ini, Khalifah Umar segera mengumpulkan para sahabat terkemuka untuk mencari solusi.
Musyawarah Menentukan Titik Awal Sejarah
Umar bin Khattab menunjukkan kepemimpinan yang luar biasa. Beliau tidak memutuskan sendiri, melainkan membuka ruang diskusi. Dalam musyawarah itu, muncul beberapa usulan mengenai peristiwa apa yang layak menjadi titik nol atau tahun pertama kalender Islam.
Beberapa sahabat mengusulkan tahun kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Ada pula yang menyarankan tahun wafatnya beliau. Sebagian lain mengusulkan tahun diangkatnya beliau menjadi seorang Rasul. Setiap usulan memiliki argumen yang kuat. Namun, Ali bin Abi Thalib memberikan sebuah pandangan yang cemerlang dan diterima oleh semua.
Ali mengusulkan agar titik awal kalender Islam adalah peristiwa Hijrah Nabi Muhammad ﷺ dari Mekah ke Madinah. Usulan ini sangat jenius karena Hijrah bukan sekadar perpindahan fisik. Peristiwa ini adalah tonggak yang memisahkan antara periode dakwah di Mekah (fase kebenaran ditekan) dan periode pembentukan negara di Madinah (fase kebenaran ditegakkan).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan alasan di balik pilihan ini:
“Mereka menjadikan hijrah sebagai patokan karena hijrah adalah momentum yang memisahkan antara al-haq (kebenaran) dan kebatilan.”
Para sahabat pun sepakat. Hijrah adalah momen paling tepat. Peristiwa ini menandai lahirnya masyarakat Islam yang berdaulat dan tegaknya syariat secara kaffah.
Mengapa Dimulai dari Bulan Muharram?
Setelah menyepakati Hijrah sebagai patokan tahun, muncul pertanyaan berikutnya. Bulan apa yang seharusnya menjadi awal dari kalender baru ini? Lagi-lagi, musyawarah menjadi jalan keluar. Ada yang mengusulkan bulan Ramadhan, karena ia adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an. Ada juga yang mengusulkan Rabi’ul Awal, bulan ketika Nabi tiba di Madinah.
Namun, Utsman bin Affan memberikan usulan lain yang tak kalah brilian. Beliau menyarankan agar tahun baru dimulai dengan bulan Muharram. Alasannya sangat kuat dan logis.
Pertama, meskipun Hijrah terjadi di bulan Rabi’ul Awal, niat dan tekad untuk berhijrah muncul setelah beberapa sahabat melakukan Baiat Aqabah. Peristiwa baiat ini terjadi pada bulan Dzulhijjah. Bulan yang datang setelah Dzulhijjah adalah Muharram. Jadi, Muharram adalah gerbang yang membuka lembaran baru pasca komitmen besar tersebut.
Kedua, Muharram adalah bulan ketika kaum Muslimin baru saja menyelesaikan salah satu rukun Islam terpenting, yaitu ibadah haji di bulan Dzulhijjah. Memulai tahun setelah menyempurnakan ibadah besar terasa sangat pas. Atas dasar itu, semua sahabat akhirnya setuju untuk menetapkan Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender Hijriyah.
Dengan demikian, sejarah penanggalan Hijriyah mengajarkan kita tentang pentingnya musyawarah, visi, dan memilih momentum yang sarat makna sebagai penanda identitas sebuah umat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
