Opinion
Beranda » Berita » Krisis Iklim dan Tanggung Jawab Manusia Sebagai Khalifah Fil Ardh

Krisis Iklim dan Tanggung Jawab Manusia Sebagai Khalifah Fil Ardh

Ilustrasi krisis iklim
Ilustrasi krisis iklim

Surau.co – Udara terasa kian panas. Jadwal hujan yang ada di buku-buku sekolah, tak lagi bisa menjadi rujukan. Di pesisir utara Jawa, air laut menelan garis pantai sedikit demi sedikit, membuat sebagian rumah saudara-saudara kita tenggelam. Sebagian lainnya, terancam tenggelam dan seolah hanya menunggu giliran

Perubahan iklim yang dulu terasa seperti wacana akademik atau jargon aktivis lingkungan, kini terasa kian nyata. Kekhawatiran ini, bahkan telah mengetuk pintu rumah kita. Merayap lewat tagihan listrik yang membengkak karena AC yang tak henti menyala sepanjang waktu.

Di pasar, harga pangan perlahan melonjak. Sebagian, konon dipengaruhi gagal panen akibat cuaca. Dalam kekacauan ini alam ini, peringatan Islam terdengar sayup-sayup. Padahal, jika kita mau menoleh ke dalam, khazanah Islam menyimpan banyak tuntunan tentang pentingnya menjaga bumi.

Memaknai Kembali Tugas Khalifah Fil Ardh

Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia untuk memimpin bumi atau dalam bahasa agama disebut khalifah fil ardh. Makna khalifah atau pemimpin, memuat juga tanggung jawab ekologis. Manusia bukan pemilik bumi, melainkan wakil Allah untuk merawat segala ciptaan-Nya.

Dalam Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin ar-Razi, tugas khalifah adalah menjaga keseimbangan bumi, bukan mengeksploitasi. Ar-Razi menafsirkan peran manusia sebagai penjaga harmoni antara makhluk, bukan penguasa yang merusak. Sehingga aktivitas merusak ekologis, sejatinya adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah tersebut.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Sayangnya, dalam praktiknya, manusia justru sering menjadi pelaku utama perusakan iklim itu. Ironisnya, dalam konteks Indonesia, organisasi keagamaan juga tergiur dengan ide ini. Saya tidak perlu menyebut ormas mana saja yang dimaksud. Karena anda sudah mengetahuinya. Dalilnya untuk kemajuan umat. Meski kita perlu bertanya, umat yang mana? Apakah rakyat yang setiap tahun menjadi korban banjir masuk dalam definisi umat?

14 abad yang lalu, Allah sudah memperingatkan masalah ini dalam wahyunya. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan dalam surat Ar-Rum ayat 41. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh ulah tangan manusia…”

Ayat ini merupakan sindiran, kritik tajam sekaligus peringatan spiritual bagi kita manusia. Bahwa bencana alam bukan semata takdir dari langit, tetapi juga akibat dari tindakan manusia yang tidak amanah. Khususnya mereka yang rakus mengekspoitasi alam.

Isu Krisis Iklim Minim Masuk Masjid

Sayangnya, isu lingkungan jarang menjadi tema dalam ceramah-ceramah keagamaan di masjid. Ulama, lebih banyak khutbah dengan bicara soal dosa pribadi, tapi luput dari dosa kolektif terhadap bumi. Mungkin, dosa lingkungan dianggap bukan masalah umat yang mendesak. Atau bisa jadi karena tak semua ustaz atau da’i memiliki literasi ekologi yang memadai.

Padahal, krisis lingkungan adalah ancaman nyata yang melintasi sekat agama. Dan seharusnya, Islam bisa menjadi suara moral yang kuat dalam meresponsnya. Bukankah Islam mengajarkan bahwa merusak satu pohon sama nilainya dengan menyakiti makhluk Tuhan? Ini kezaliman yang harus dilawan.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Masjid tidak hanya tempat ibadah, tapi seharusnya juga menjadi pusat kesadaran ekologis. Jika belum sanggup mengusir escavator di lereng hutan, bisa memulainya dengan sederhana. Misalnya mengganti botol plastik dengan galon isi ulang, menggunakan panel surya untuk menerangkan, atau mengadakan khutbah Jumat tentang krisis iklim.

Islam tidak kekurangan sumber daya spiritual dan teologis untuk menjadi agama yang ramah lingkungan. Yang kurang adalah kesadaran kolektif umatnya. Dalam doa-doa kita, kita sering memohon surga yang mengalir sungai di bawahnya. Tapi, bagaimana mungkin kita pantas mendapatkan itu, jika tak bisa menjaga bumi yang kita pijak hari ini?

Gaya Hidup Ramah Alam ala Nabi

Kita juga perlu menteladani betul Nabi Muhammad. Bukan hanya dalam cara membangun hubungan dengan Allah, melainkan juga dengan alam. Sebagai contoh, nabi dikenal sebagai pribadi yang hemat air, bahkan saat berwudu yang notabene untuk ibadah sekalipun.

Dalam praktik hidupnya, Nabi juga menunjukkan gaya hidup minimalis. Memanfaatkan kembali barang-barang, mengonsumsi secukupnya, dan menganjurkan menanam pohon sebagai amal jariah. Jika prinsip-prinsip ini dihidupkan dalam kehidupan Muslim modern, niscaya umat Islam bisa menjadi pelopor gaya hidup berkelanjutan.

Tapi alih-alih demikian, banyak komunitas Muslim justru ikut terseret dalam arus konsumtif. Baju lebaran ganti tiap tahun, gadget baru setiap rilis, makanan terbuang setelah pesta. Ini sudah saatnya kita ubah, untuk kecukupan anak cucu kita.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Folly Akbar, Alumni Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Ponpes Tarbiyatul Banin, Kramat, Cirebon

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement