Opinion
Beranda » Berita » Kebebasan Berpendapat atau Kebebasan Menghina?

Kebebasan Berpendapat atau Kebebasan Menghina?

Ilustrasi Kebebasan Berpendapat
Ilustrasi Kebebasan Berpendapat

SURAU.CO-Kebebasan berpendapat atau kebebasan menghina menjadi perdebatan hangat di era media sosial. Banyak pihak mengklaim hak untuk berbicara sebagai bentuk ekspresi, tetapi sering kali melupakan batasan moral dan hukum. Padahal, kebebasan berpendapat atau kebebasan menghina bukanlah dua hal yang identik. Ketika seseorang menyuarakan opininya, apakah ia sedang membangun diskusi atau justru menyerang martabat orang lain?

Batas Kebebasan dan Etika dalam Berpendapat

Kebebasan berbicara memang menjadi hak asasi manusia. Konstitusi Indonesia menjaminnya melalui Pasal 28E UUD 1945. Namun, hak itu tidak berdiri tanpa batas. Setiap kebebasan menuntut tanggung jawab. Ketika seseorang mengkritik dengan kata kasar, menyerang pribadi, atau menyebarkan kebencian, ia telah keluar dari ruang kebebasan dan masuk ke wilayah penghinaan.

Dalam praktiknya, sulit memisahkan opini dari emosi. Seseorang mungkin menyampaikan pandangan politik, tetapi karena ketidaksukaan yang kuat, ia menambahkan ejekan atau fitnah. Akibatnya, pesan utama tenggelam, dan yang tersisa hanyalah kebisingan.

Pengalaman Dunia Nyata: Saat Kritik Menjadi Serangan

Beberapa tokoh publik pernah mengalami serangan pribadi yang dikemas dalam bentuk opini. Seorang aktivis sosial di Jakarta mengungkapkan kritik terhadap kebijakan transportasi publik. Namun, balasan yang datang bukan dialog sehat, melainkan ejekan terhadap latar belakang keluarganya.

Ia mengaku tidak terkejut, tetapi menyayangkan bahwa ruang publik kini dipenuhi oleh komentar-komentar kasar yang menyamar sebagai opini. Ia berkata, “Kritik itu sehat, tapi bukan berarti bebas menghina.”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Kondisi ini menciptakan ketakutan tersendiri. Banyak orang akhirnya memilih diam, bukan karena tak punya pendapat, tetapi karena tidak ingin menjadi sasaran caci maki.

Antara Undang-Undang dan Norma Sosial

Indonesia memiliki beberapa aturan hukum yang mengatur ekspresi publik. UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) Pasal 27 ayat 3 melarang penghinaan dan pencemaran nama baik di media elektronik. Selain itu, KUHP juga memuat pasal-pasal tentang penghinaan, termasuk terhadap pejabat dan institusi negara.

Namun, pelaksanaannya tidak selalu konsisten. Sebagian kasus berjalan hingga ke meja hijau, sebagian lainnya berhenti di mediasi. Di sinilah pentingnya norma sosial. Masyarakat perlu memahami bahwa tidak semua yang “bebas diucapkan” pantas disebarluaskan.

Di banyak negara, termasuk Prancis dan Jerman, hukum membatasi ujaran kebencian, terutama terhadap kelompok minoritas. Kebebasan di sana bukan berarti bebas tanpa batas, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab.

Media Sosial: Arena Baru yang Rawan Disalahgunakan

Media sosial membuka ruang ekspresi luas, tetapi juga menciptakan tantangan baru. Di platform seperti Twitter dan TikTok, seseorang bisa menyampaikan komentar tanpa identitas jelas. Anonimitas ini memicu keberanian untuk berkata kasar.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Kebebasan berpendapat kini mudah berubah menjadi kebebasan menghina. Algoritma platform cenderung menyebarkan konten kontroversial, karena lebih banyak menarik perhatian. Hal ini mendorong orang untuk berbicara lebih keras, lebih tajam, dan kadang melewati batas.

Seorang mahasiswa komunikasi di Yogyakarta pernah mengadakan survei kecil. Ia menemukan bahwa lebih dari 60% responden tidak membaca utuh sebuah unggahan sebelum ikut berkomentar. Sebagian besar langsung menilai dari judul atau potongan video. Akibatnya, komentar yang muncul justru memperkeruh, bukan memperjelas.

Tanggung Jawab Moral: Bijak dalam Menyuarakan Pendapat

Kebebasan tidak berarti seseorang boleh melukai orang lain dengan kata-kata. Setiap ucapan membawa dampak, baik langsung maupun tidak. Islam sendiri mengajarkan agar ucapan seorang Muslim membawa manfaat. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nilai ini sejalan dengan prinsip universal: berbicara dengan adab. Dunia butuh diskusi, bukan pertikaian. Masyarakat maju bukan yang paling lantang berteriak, tetapi yang paling bijak dalam menyampaikan pendapat.

Menjaga Martabat dalam Berpendapat

Kebebasan berpendapat tetap menjadi pilar demokrasi. Namun, kebebasan ini tidak boleh menjadi dalih untuk menyakiti, menghina, atau mempermalukan. Menyampaikan pendapat secara lugas sah-sah saja, tetapi tetap dalam koridor etika, akal sehat, dan kepatutan.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Jika ruang publik dipenuhi oleh hinaan, maka orang-orang cerdas akan pergi menjauh. Sebaliknya, jika kita menjaganya dengan adab dan tanggung jawab, maka gagasan besar akan tumbuh subur.

Mari kita jaga agar kebebasan tetap menjadi sarana membangun, bukan alat meruntuhkan. (Hendri Hasyim)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement