SURAU.CO – Apakah partai politik (parpol) di Indonesia boleh menjalankan bisnis? Pertanyaan ini kembali muncul setelah sejumlah elite politik dan pejabat pemerintah mengusulkan legalisasi aktivitas bisnis untuk parpol. Wacana ini langsung memicu pro dan kontra. Di tengah tingginya biaya politik dan minimnya pendanaan yang pastl, usulan tersebut memang terlihat menjanjikan. Namun, benarkah solusi ini tepat? Ataukah justru menjadi jalan masuk bagi masalah baru?
Latar Belakang Munculnya Gagasan
Selama ini, peraturan di Indonesia secara tegas melarang parpol untuk berbisnis. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 membatasi sumber dana hanya dari iuran anggota, sumbangan pihak ketiga, dan bantuan negara. Sayangnya, iuran dan kontribusi bersifat fluktuatif dan tidak bisa diandalkan. Akibatnya, sebagian besar bantuan parpol sangat bergantung pada negara.
Misalnya, pada Pemilu 2024, pemerintah hanya mengalokasikan dana sekitar Rp1.000 per suara kepada parpol. PDIP menerima sekitar Rp25 miliar, Golkar Rp23 miliar, dan Gerindra Rp20 miliar. Angka tersebut memang terlihat besar di atas kertas, namun jumlahnya terasa sangat kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan operasional instansi yang menjangkau hingga tingkat kabupaten dan kota. Apalagi jika harus menanggung biaya kampanye nasional dan daerah sekaligus.
Melihat kondisi tersebut, sejumlah tokoh mulai menggulirkan ide agar parpol bisa mengelola usaha sendiri. Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar, menyatakan bahwa organisasi kemasyarakatan (ormas) saja kini bisa mengelola tambang melalui UU Minerba. Ia pun bertanya, “Mengapa partai politik tidak bisa?” Ia juga menyinggung Jerman, negara yang sudah lama membolehkan parpol memiliki badan usaha.
Dukungan Mulai Muncul
Sejumlah tokoh partai terlihat antusias menyambut gagasan ini. Bendahara Umum PKS, Mahfudz Abdurrahman, menilai bahwa parpol yang menjalankan bisnis bisa mengurangi ketergantungan terhadap oligarki—kelompok elite pemilik modal yang kerap menjadi penyekong dana utama partai. Dengan memiliki usaha sendiri, partai berpotensi menjadi lebih mandiri dan bebas dalam mengambil sikap politik.
Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani, juga menyatakan dukungannya terhadap gagasan tersebut. Namun sayangnya, ia belum memberikan penjelasan secara rinci.
Tapi Kritik Juga Tak Kalah Keras
Meski terlihat menarik, banyak kalangan menyuarakan kekhawatiran terhadap ide ini. Mereka mengingatkan bahwa parpol bukanlah perusahaan. Tugas utama mereka adalah melakukan pendidikan politik, menyuarakan aspirasi rakyat, serta mencetak pemimpin berkualitas—bukan mencari keuntungan finansial.
Jika parpol sibuk berbisnis, fokus bisa bergeser. Alih-alih membela kepentingan rakyat, partai malah sibuk mengelola usaha dan mengejar keuntungan. Lebih berbahaya lagi, potensi konflik kepentingan bisa mencuat. Bayangkan jika pejabat publik dari partai tertentu juga ikut terlibat dalam pengelolaan bisnis milik partainya—bukan tidak mungkin mereka menyalahgunakan kekuasaan demi keuntungan sendiri.
Korupsi Masih Jadi Ancaman Serius
Satu hal yang membuat wacana ini semakin dianggap berbahaya adalah fakta bahwa korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) tahun 2024, Indonesia hanya mendapat skor 37 dari skala 100 dan menduduki peringkat ke-99 dari 180 negara. Skor ini menunjukkan bahwa praktik korupsi masih merajalela dan menjadi ancaman besar dalam sistem politik kita.
Bandingkan dengan Jerman yang disebut sebagai contoh. Negara itu mendapat skor 75 dan ada di peringkat ke-15 dunia. Jadi, membandingkan Indonesia dengan Jerman dalam hal ini terasa tidak pas.
Data sepuluh tahun terakhir pun tidak jauh berbeda. Rata-rata skor CPI Indonesia tetap berada di angka 37. Artinya, yang artinya korupsi masih jadi masalah serius. Dalam situasi seperti ini, memberikan kewenangan bisnis kepada parpol justru dianggap berisiko besar.
Jalan Tengah atau Jerat Baru?
Gagasan memperbolehkan parpol menjalankan bisnis seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki sistem keuangan politik secara menyeluruh, bukan justru menormalisasi praktik-praktik yang berisiko. Hal yang lebih mendesak adalah mendorong transparansi keuangan partai, memperkuat demokrasi internal, dan memutus ketergantungan terhadap oligarki.
Memang, membiarkan parpol mencari sumber dana secara mandiri melalui jalur bisnis terdengar logis di tengah kebutuhan politik yang kian tinggi. Namun, tanpa pengawasan ketat dan sistem antikorupsi yang kuat, langkah ini sangat berisiko. Kita tentu tidak ingin melihat demokrasi berubah menjadi pasar kekuasaan, di mana partai lebih sibuk berdagang daripada melayani rakyat.
Oleh karena itu, sebelum melegalkan bisnis parpol, negara perlu membenahi dulu fondasi politiknya—mulai dari transparansi, integritas, hingga sistem akuntabilitas yang kokoh. Jangan sampai solusi yang ditawarkan justru menjadi bumerang bagi demokrasi yang sedang kita bangun dengan susah payah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
