Politik
Beranda » Berita » Kerentanan Sistem Presidensial di Tengah Fragmentasi Politik Indonesia

Kerentanan Sistem Presidensial di Tengah Fragmentasi Politik Indonesia

Kerentanan Sistem Presidensial di Tengah Fragmentasi Politik Indonesia

SURAU.CO – Sejak era reformasi, Indonesia memilih sistem pemerintahan presidensial. Namun, satu pertanyaan besar pun terus menggantung: apakah sistem ini cocok jika diterapkan secara bersamaan dengan sistem multipartai seperti yang kita miliki saat ini?

Pertanyaann ini muncul bukan tanpa dasar. Peneliti kenamaan, Scott Mainwaring (1993), menemukan bahwa mayoritas negara demokratis yang stabil justru menerapkan sistem parlementer, bukan presidensial. Dari 31 negara demokratis yang ia teliti, hanya empat negara yang stabil meski menerapkan sistem presidensial. Sementara itu, tetap memilih sistem parlementer yang lebih fleksibel terhadap dinamika politik multipartai.

Titik Lemah Sistem Presidensial Multipartai

Salah satu tantangan terbesar dalam sistem presidensial multipartai terletak pada sulitnya membentuk dukungan mayoritas di parlemen. Dalam sistem presidensial, rakyat memilih langsung presiden. Namun, ketika partai pendukung presiden tidak memiliki kekuatan mayoritas di parlemen, kebijakan eksekutif kerap terhambat atau bahkan ditolak.

Di Indonesia, kombinasi presidensialisme dan multipartai menciptakan kompleksitas tersendiri karena kesulitan koalisi antarpartai. Kendati partai presiden memenangkan pemilu, bukan berarti ia otomatis mengantongi dukungan mayoritas di legislatif. Banyaknya partai yang ikut serta dalam pemilu membuat tidak ada satu pun partai yang mampu meraih suara secara mutlak. Oleh karena itu, presiden harus “berbagi kekuasaan” dan membangun koordinasi dengan partai-partai lain untuk menjalankan pemerintahan.

Membangun Presidensialisme yang Kokoh

Bagaimana cara memperkuat sistem presidensial agar tetap kokoh di tengah sistem multipartai?

Begini Pengangkatan Raja, Amir, dan Khalifah dalam Islam

Pertama, presiden harus membangun basis dukungan politik yang kuat di parlemen—minimal 50 persen atau mendekati mayoritas. Untuk mewujudkan hal ini, Presiden perlu membangun partai yang solid, baik secara permanen maupun temporer sesuai isu kebijakan.

Kunci keberhasilannya terletak pada munculnya figur “Coalition President”, yaitu presiden yang menyadari pentingnya menggandeng partai-partai lain demi efektivitas pemerintahan. Presiden seperti ini bersedia berkompromi dan menggunakan perangkat kekuasaan eksekutifnya—seperti hak mengangkat menteri dan menyusun anggaran—untuk mewujudkan kerja sama politik yang sehat.

Kedua, para aktor politik harus mengedepankan sikap kompromistis dalam menghadapi konflik. Semakin besar perbedaan ideologi antarpartai, semakin sulit membangun kesepakatan. Namun, jika para elite menunjukkan kedewasaan politik dan mau duduk bersama demi rakyat, mereka akan  menemukan jalan tengah.

Sistem Sudah Terbukti? Belum tentu

Menariknya, meskipun teori menilai sistem presidensial-multipartai sebagai sistem yang rentan, Indonesia berhasil menjalankannya selama lebih dari dua dekade tanpa krisis besar antara eksekutif dan legislatif. Sejak pemilu langsung mulai digelar pada tahun 2004, sistem ini berjalan relatif stabil.

Hanan (2012) menyebutkan tiga indikator untuk mengukur keberhasilan sistem pemerintahan: stabilitas demokrasi, minimalnya kebuntuan antara eksekutif dan legislatif, dan kinerja pemerintahan. Dalam aspek ketiga tersebut, Indonesia masih mampu menjaga keseimbangan.

Menemukan Kembali Ruh Kesalehan Santri di Era Politik Identitas

Salah satu faktor pendukungnya adalah mekanisme pembahasan dan persetujuan bersama dalam penyusunan undang-undang dan anggaran. Pemerintah dan DPR sama-sama harus menyetujui kebijakan strategis. Sekalipun DPR menolak rancangan anggaran, pemerintah masih bisa menjalankan program dengan memakai anggaran tahun sebelumnya. Mekanisme ini berfungsi sebagai “rem darurat” agar pemerintahan tetap berjalan.

Selain itu, meski partai presiden tidak selalu dominan, partai-partai besar sering membentuk koalisi supermayoritas. Para elit politik menyadari bahwa kompromi menjadi kunci utama menjaga stabilitas. Walau belum sepenuhnya ideal, situasi ini menunjukkan bahwa sistem presidensial tetap dapat berfungsi dengan baik selama dijalankan oleh aktor-aktor politik yang beritikad baik.

Belajar dari Masa Lalu, Menyusun Masa Depan

Namun, kita tak boleh lengah. Stabilitas selama dua dekade terakhir tidak menjamin masa depan akan terus berjalan mulus. Koalisi yang terbentuk hanya demi bagi-bagi kekuasaan tanpa memperhatikan kualitas bisa menjadi bumerang. Jika kompromi politik hanya melayani elit dan mengabaikan rakyat, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan dan sistem legitimasi bisa runtuh secara perlahan.

Mengganti sistem bukanlah jawaban utama; yang mendesak adalah memperbaiki praktik politik yang dijalankan. Selain itu, perlu dilakukan penataan sistem kepartaian agar pemilu tidak melahirkan terlalu banyak partai yang justru menyulitkan pembentukan pemerintahan yang efektif.

Indonesia harus merawat sistem presidensial ini dengan hati-hati. Jangan biarkan kepentingan sempit dan sikap politik yang belum matang merusaknya. Negara ini membutuhkan presiden yang kuat, parlemen yang kritis namun konstruktif, serta rakyat yang sadar akan pentingnya demokrasi yang sehat.

Khutbah Pentingnya Politik dalam Islam: Membangun Peradaban Berkeadilan

Pada akhirnya, kekuatan sistem pemerintahan tidak hanya bergantung pada desain konstitusional di atas kertas, tetapi bergantung pada bagaimana seluruh elemen bangsa menjalankannya dengan tanggung jawab dan kesadaran akan masa depan bersama.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement