Surau.co – Akhir pekan adalah saat-saat yang menyenangkan. Namun di ujung harinya, kerap muncul rasa gelisah. Sebab, senja di Minggu sore adalah penanda akan datangnya hari Senin. Hari di mana kita akan memulai pekan yang panjang untuk kembali bertemu akhir pekan.
Bagi sebagian orang, Senin hanyalah nama hari. Namun bagi kelas pekerja, Senin lebih dari itu. Ia momok yang meresahkan. Ia datang dengan alarm yang memanggil tumpukan pekerjaan yang tak ada ujungnya. Kontras dengan suasana pagi pada satu atau dua hari sebelumnya.
Para ahli, menjelaskan fenomena ini sebagai Monday Blues. Ini merupakan fenomena realitas sosial tentang ketakutan akan hari Senin.
Faktor Fisiologi
Kepada Huffpost, seorang neuropsikolog Amerika Serikat Sanam hafeez menilai ada faktor fisiolog dalam fenomena ini. Masalah utamanya adalah pekerja kerap tidur lebih lama dari biasanya saat akhir pekan. Hal itu berakibat pada terganggunya ritme yang biasa berlangsung sepanjang pekan.
Di sisi lain, setelah dua hari yang penuh kebebasan di akhir pekan, senin kita kembali terkungkung pekerjaan. Situasi itu membuat senin terasa berat untuk dilalui.
Dalam konteks keluarga, senin juga menandai dimulainya sekolah untuk anak-anak. Hal itu juga memberi tekanan tambahan bagi orang tua.
Faktor Tidak mencintai Pekerjaan
Selain persoalan fisik dan psikologis, Monday blues juga gambaran dari kelelahan struktural para pekerja yang menjalani hidup dalam siklus yang nyaris tanpa jeda. Kecemasan terhadap Senin, kerap kali menjadi indikator dari sistem kerja yang tidak manusiawi.
Dalam sistem kapitalisme modern, produktivitas menjadi tolok ukur utama nilai seseorang. Maka, akhir pekan bukanlah masa pemulihan, melainkan waktu menabung energi untuk kembali “bertarung” di hari kerja.
Work Life Balance Masih Jauh dari Harapan
Kampanye untuk melawan tekanan kerja berlebihan sudah terjadi. Kelompok ini kerap menggaungkan konsep “work-life balance” atau kerja dan hidup yang seimbang. Namun, dalam praktiknya sangat sulit direalisasikan. Terlebih di Negara berkembang seperti Indonesia.
Dengan sistem kerja yang berat, banyak pekerja yang justru membawa pekerjaan ke rumah, baik secara fisik maupun mental. Maka, tak heran jika Senin menjadi simbol kembalinya keterasingan dari diri sendiri.
Sebagian kecil perusahaan, mulai menyadari dampak psikologis dari pola kerja konvensional dengan mencoba mengubah pendekatan. Misalnya dengan fleksibilitas jam kerja, sistem kerja hibrida, bahkan ide empat hari kerja dalam seminggu mulai didiskusikan.
Sayangnya, sistem itu baru terjadi di Negara maju. Sementara di Indonesia, hal itu masih jauh dari harapan. Mayoritas pekerjaan harus dilakukan dengan cara konvensiomal. Pekerja juga tidak memiliki kuasa untuk menuntut sistem yang lebih adil.
Mengatasi Monday Blues
Seberat dan seburuk apapun sistem kerja, pada akhirnya kita harus tetap melalui hari senin itu. Oleh karenanya, ada sejumlah pendekatan yang bisa dilakukan guna mengurangi trauma berat pada hari senin.
Mengutip dr. Kevin Adrian dari alodokter, hal pertama yang perlu disiapkan adalah meningkatkan mood. Cara itu dapat ditempuh dengan memastikan akhir pekan diisi dengan kegiatan yang menyenangkan. Mod yang baik bisa membuat tubuh dan pikiran lebih rileks.
Selain upaya mental, kita juga dituntut untuk mempersiapkan fisik sebaik mungkin. Misalnya dengan berolahraga yang membuat kondisi tubuh lebih fit, serta makan makanan sehat dan makanan peningkat mood seperti cokelat.
Bila memungkinkan, kita perlu menghindari pekerjaan besar di hari Senin. Hal ini dapat mencegah rasa khawatir di akhir pekan. Kebiasaan ini juga bisa melatih kita memiliki manajemen waktu yang baik.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
