Sosok
Beranda » Berita » Kyai Marogan: Wali Allah Sang Penggagas Ekonomi Umat dari Palembang

Kyai Marogan: Wali Allah Sang Penggagas Ekonomi Umat dari Palembang

Ilustrasi Kyai Marogan: Wali Allah Sang Penggagas Ekonomi Umat dari Palembang
Ilustrasi Kyai Marogan: Wali Allah Sang Penggagas Ekonomi Umat dari Palembang

SURAU.CO  – Di persimpangan Sungai Musi yang legendaris, tempat peradaban Sriwijaya pernah berjaya, terhampar kisah inspiratif. Seorang ulama besar tidak hanya mengukir sejarah spiritual, ia juga menjadi arsitek kemandirian ekonomi umat. Beliau adalah Kyai Marogan. Namanya tak terpisahkan dari denyut nadi Palembang. Ini nama yang mengingatkan kita: dakwah sejati melampaui mimbar dan pengajian. Dakwah meresap hingga ke sendi-sendi kehidupan, termasuk urusan perut dan kesejahteraan.

Masagus H. Abdul Hamid bin Masagus H. Mahmud lahir pada tahun 1811 Masehi. Ia tumbuh di lingkungan Kesultanan Palembang Darussalam. Saat itu, cengkraman kolonialisme Belanda mulai terasa. Di masa penuh tantangan ini, umat Islam sering terpinggirkan secara ekonomi dan sosial. Kyai Marogan hadir sebagai anomali, membawa harapan baru. Ia bukan hanya seorang fakih yang mumpuni atau mursyid tarekat yang memimpin ribuan murid. Ia juga seorang pebisnis ulung. Ia melihat potensi ekonomi sebagai landasan tegaknya martabat umat.

Asal Nama dari Muara Ogan

Nama “Marogan” memiliki makna ganda. Ini adalah penanda geografis sekaligus penanda dakwah. “Marogan” bukan gelar kebangsawanan atau keagamaan. Nama ini merujuk pada lokasi tempat tinggal dan pusat dakwah beliau, yaitu di Muara Sungai Ogan. Sungai Ogan, anak Sungai Musi yang penting, menjadi jalur transportasi dan perdagangan vital di Palembang.

Masyarakat kemudian luas mengenalnya sebagai “Kyai dari Muara Ogan” atau “Kyai Marogan”. Nama itu begitu lekat dengan daerah tersebut. Di sana, beliau mendirikan rumah, pusat mengajar, dan masjid utamanya. Nama ini menjadi identitas eratnya. Ini juga mencerminkan bagaimana ia berinteraksi langsung dengan masyarakat sekitar Muara Ogan. Mereka adalah para pedagang, petani, dan nelayan yang melintasi sungai-sungai tersebut. Jadi, nama Marogan bukan sekadar penunjuk tempat. Ini adalah simbol kedekatan ulama dengan kehidupan nyata umat. Dakwah dan ekonomi berjalan beriringan.

Jejak Sang Saudagar Dakwah: Dari Perahu ke Mimbar

Kisah Kyai Marogan sebagai saudagar dakwah adalah bagian paling memukau dari riwayat hidupnya. Sejak belia, ia sudah terbiasa mengarungi Sungai Musi, urat nadi perekonomian Palembang kala itu. Ia menggunakan perahu dagangnya. Ini bukan sekadar mencari nafkah. Perjalanan itu adalah ladang dakwah. Konon, perahunya tak pernah sepi dari majelis ilmu dadakan. Di sela transaksi jual-beli hasil bumi atau kebutuhan pokok, Kyai Marogan selalu menyempatkan diri berdiskusi agama. Ia membahas akhlak dan prinsip syariat dalam bermuamalah.

KH. Abdullah Umar Al-Hafidz: Sosok Ulama Penjaga Al-Qur’an dari Semarang

Kejujuran, amanah, dan keadilan adalah harga mati dalam setiap transaksinya. Ia meyakini, kekayaan haram tidak akan membawa berkah. Bahkan bisa menghancurkan. Pendekatan ini membuatnya disegani. Ia terkenal bukan hanya sebagai pedagang. Ia juga menjadi penasihat spiritual dan mediator yang adil. Keuntungan bisnisnya tidak ia gunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi. Justru sebaliknya, keuntungan tersebut menjadi modal utama untuk mewujudkan impian besar: membangun sebuah masjid.

Masjid Kyai Marogan: Monumen Ekonomi Umat

Puncak kegigihan Kyai Marogan dalam menggabungkan spiritualitas dan ekonomi adalah berdirinya Masjid Kyai Marogan yang ikonik. Masjid ini bukanlah hasil sumbangan besar para dermawan, apalagi dana pemerintah kolonial. Ini adalah mahakarya yang lahir dari tetesan keringat dan kecerdasan ekonomi seorang ulama. Seluruh biaya pembangunannya beliau tanggung sendiri dari keuntungan usaha dagangnya.

Pembangunan masjid ini dimulai pada tahun 1870-an dan selesai pada tahun 1876. Lokasinya ia pilih strategis, di tepi Sungai Ogan yang bermuara ke Sungai Musi. Ini membuatnya mudah dijangkau masyarakat dari berbagai penjuru, termasuk para pedagang yang melintas. Pemilihan lokasi ini semakin menguatkan korelasi nama “Marogan” dengan aktivitas dan keberadaan beliau yang sentral di area tersebut. Masjid ini bukan sekadar tempat salat. Ia didesain sebagai pusat peradaban mini: tempat ibadah, pusat pendidikan agama, tempat musyawarah masyarakat. Yang tak kalah penting, masjid ini adalah simbol kemandirian ekonomi umat.

Dengan berdirinya masjid ini, Kyai Marogan ingin mengirim pesan jelas. Umat Islam mampu membangun kemandirian tanpa harus bergantung pada pihak lain. Ini berlaku bahkan di bawah tekanan penjajah. Masjid ini adalah bukti nyata: syariat Islam tidak hanya mengatur ibadah mahdhah. Ia juga mengatur muamalah yang menopang kehidupan duniawi, mengarah pada kebahagiaan ukhrawi.

Mursyid Tarekat dan Pejuang Kebangkitan

Selain kiprahnya sebagai saudagar dan pembangun masjid, Kyai Marogan juga dikenal sebagai mursyid Tarekat Sammaniyah yang berpengaruh. Ia memiliki ribuan murid dan pengikut yang tersebar hingga ke berbagai pelosok Sumatera Selatan. Majelis zikir dan pengajian beliau selalu ramai. Ini menjadi oase spiritual bagi masyarakat yang haus akan ilmu dan ketenangan batin.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Pengajian Kyai Marogan tidak hanya berisi zikir dan wirid. Beliau selalu menekankan pentingnya solidaritas sosial, persatuan umat, dan semangat juang. Secara halus, melalui ceramah-ceramahnya, Kyai Marogan menanamkan jiwa perlawanan terhadap penindasan. Ia juga menekankan pentingnya menjaga identitas keislaman di tengah gempuran budaya asing. Semangat inilah yang banyak murid dan pengikutnya warisi. Mereka kelak turut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Kyai Marogan wafat pada tahun 1901 Masehi. Ia meninggalkan warisan yang tak ternilai. Makam beliau terletak di kompleks Masjid Kyai Marogan. Kini, itu menjadi salah satu destinasi ziarah penting di Palembang. Ribuan orang dari berbagai daerah datang untuk bertawasul dan mengambil berkah dari sosok ulama kharismatik ini.

Teladan Abadi untuk Generasi Kini

Di era modern yang serba cepat ini, krisis ekonomi dan ketimpangan sosial kian merajalela. Kisah Kyai Marogan menjadi lebih relevan dari sebelumnya. Beliau adalah prototipe ulama transformatif. Ia tidak hanya sibuk di mihrab, tapi juga turun langsung ke pasar. Ia berinteraksi dengan problematika umat. Kyai Marogan menunjukkan: kekayaan sejati bukanlah menumpuk harta. Kekayaan sejati adalah memanfaatkan harta untuk kemaslahatan umat.

Semangat Kyai Marogan mengajarkan kita beberapa poin penting:

  1. Integrasi Agama dan Ekonomi: Ekonomi syariah bukan sekadar teori. Ia bisa menjadi tulang punggung pembangunan peradaban yang kokoh.
  2. Kemandirian Umat: Penting sekali membangun kekuatan ekonomi internal umat. Ini agar mereka tidak mudah diombang-ambingkan oleh kekuatan eksternal.
  3. Kedermawanan Berbasis Produktivitas: Infak dan sedekah tidak harus selalu menunggu kelebihan harta. Itu justru bisa tercipta melalui usaha produktif dan profesional.
  4. Ulama Sebagai Motor Penggerak: Ulama memiliki peran strategis. Tidak hanya membimbing spiritual, tapi juga memimpin pemberdayaan sosial dan ekonomi umat.

Kisah Kyai Marogan adalah lentera yang terus menyala di tepi Sungai Musi. Ini mengingatkan kita: kekuatan umat tak hanya diukur dari banyaknya masjid yang berdiri. Ia juga diukur dari kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan semangat juang yang tak pernah padam. Semoga spirit beliau terus menginspirasi kita semua. Jadilah muslim yang tak hanya saleh secara ritual, tapi juga bermanfaat secara sosial dan ekonomi.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement